“Jangan berbuat dan berperilaku buruk. Nanti apa?”
“Dosa…,” jawab para peserta Pasraman Kilat serempak menjawab pertanyaan Anik Sintia Dewi, mahasiswa yang jadi guru di Pasraman Kilat tersebut. Pasraman dilangsungkan di sekolah SMP Swadhaya Seni Ukir, Penarungan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Mendung pun tak menghalangi keceriaan anak SD ini. Wajah anak-anak Sekolah Dasar kelas 4, 5, dan 6 itu cerah. Mereka mengikuti Pasraman Kilat, rangkaian dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) angkatan VIII 2011 mahasiswa Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar. Saya ikut bersama mahasiswa lain ikut KKN ini.
Para mahasiswa mengaku sedikit canggung dan malu ketika para peserta pasraman mulai berdatangan. Mereka mengaku deg-degan untuk menjadi guru pengajar pada pasraman tersebut. Ya, karena harus mengajar dan menjadi guru yang patut digugu dan mau ditiru. Tentunya bukan perkara gampang.
Seperti anak sekolah dasar lainnya, anak-anak dari empat Sekolah Dasar, yaitu SDN 1, SDN 2, SDN 3 dan SDN 4 Desa Penarungan memang tidak terlalu sulit dikoordiniri. Mereka mengabsens sendiri dan membawa peralatan ini itu selama kegiatan pasraman berlangsung. Sikap lugu begitu khas. Tatapan mata yang polos layaknya anak-anak SD lainnya. Mereka manggut-manggut ketika diminta.
Tegang dan Malu
Ketika anak-anak ini memasuki ruangan, mereka kelihatan tegang. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin terbesit dengan mata pelajaran sehari-hari yang sulit. Atau guru mata pelajaran killer mereka takuti. Atau memang benar-benar masih malu kepada mahasiswa yang akan mengajari mereka. Wajarlah baru pertama kali.
Acara kemudian dilanjutkan dengan perkenalan panitia KKN. Tak sedikit panitia yang grogi di hadapan para anak-anak SD. Anak SD lho.. Ada teman sebaya KKN yang salah tingkah ketika menyebutkan nama dan alamat mereka tinggal. Mungkin efek samping disaksikan puluhan peserta Pasraman.
Usai itu, materi dimulai dengan memberikan ajaran-ajaran dasar mengenai agama Hindu. Suasana nampak sangat formal dan kaku. Salah satu teman yang memberikan materi mencoba mencairkan suasana. Dia mencoba membuka ruang untuk anak-anak yang baru kenal dengan kami, mahasiswa KKN, selang beberapa menit kemudian.
Anik Cintya Dewi, salah satu panitia KKN sekaligus pengajar berusaha mencairkan suasana, meskipun ketika akan berkenalan dengan peserta pasraman dia terlihat sedikit canggung. Pemaparan materi diawali dengan sentuhan humor dan diwarnai gerakan lucu.
Mahasiswa semester VII Jurusan Pendidikan Agama Hindu ini, begitu lihai dan cepat menguasi kelas. Begitu hangat dan akrab. Bahasa tubuh yang pas, sesuai denan contoh-contoh yang dipaparkaan pada materi “Panca Srada”, ajaran dasar untuk menumbuhkankembangkan keyakinan dan kepercayaan mengenai agama Hindu, khususnya anak usia dini.
Anik, panggilan gadis berusia 21 tahun itu. Cara mengajarnya begitu disukai anak-anak. Terlihat dari mimik wajahnya yang begitu kental bak seorang guru profesional. Ternyata benar. Dia memang guru di SD 1 LukLuk dan SMK Kesehatan Mengwi.
“Pertama memang susah mengajar anak SD. Untuk itu kita harus menggunakan bahasa yang mudah dicerna. Jangan ketinggian dan jangan sampai ia tidak mengerti dengan bahasa kita,” ujarnya usai mengajar.
Ia menilai peserta pasraman yang mayoritas terdiri dari anak SD kelas 6 cukup antusias dan menilainya disiplin dalam mengikuti pelajaran yang diberikan.
“Saya bangga bisa mentransfer ilmu kepada mereka. Mudah-mudahan bisa diimplementasikan dalam kehidupan mereka,” harap gadis ayu yang memiliki hobi membaca sejarah perkembangan agama Hindu tersebut.
Gaya Mengajar
Tibalah saat yang ditunggu. Akhirnya giliran saya memberikan materi mengenai Catur Guru, empat guru yang harus dihormati dalam Ajaran Agama Hindu. Catur Guru terdiri dari Guru Swadyaya yaitu penghormatan kepada sang Guru tertinggi( Tuhan Yang Maha Esa), Guru Rupaka yaitu Guru yang mendidik di rumah (Orang Tua), Guru Pengajian yaitu Guru yang mengajar di sekolah, dan Guru Wisesa yaitu pemerintah.
Saya rasa materi itu tidaklah terlalu sulit bagi sekelas mahasiswa. Bahkan, saya baru mempelajarinya saat mengajar pagi. Campah bukan, mentang-mentang ngajarin anak SD! Mulai memberikan materi memang sedikit canggung.
Mencoba meniru gaya mengajar ala Anik ternyata lumayan sulit dan merepotkan. Selang beberapa menit, anak-anak sedikit mulai “gerah”. Ada yang mulai bermain, ngobrol dengan teman sebaya, bahkan terbahak lepas entah apa yang mereka tertawakan.
Sedikit mengerutkan kening. Namun berusaha lagi menguasai kelas, agar terkontrol, lagi-lagi gagal. Mengulanginya lagi, mencoba untuk memberikan feed back dengan menanyakan apa yang sudah saya jelaskan, namun gagal lagi. Mereka hanya termangu dan terdiam. Anak yang menjawab pun itu-itu saja.
Para peserta pasraman mulai menampakkan kejenuhan. Hal inilah yang paling sulit dihadapi. Apalagi ini pengalaman pertama kali mengajar anak SD. Berbeda dengan materi pertama yang dibawakan Anik, mereka nampak antusias dan suasana kelas nampak hidup. Untuk menggairahkan meraka pun, saya harus bertingkah konyol dengan banyolan yang tak biasa harus dilakukan. Mau apalagi? Memang harus menyesuaikan dengan kebutuhan anak SD.
Ternyata betul. Bukan hal gampang untuk mengajar anak SD apalagi ketika titik jenuh sudah menghampiri. Maka bersiaplah untuk mengurus energi, menghibur dan merayu mereka agar biasa seperti sedia kala. Yah, semangat lagi untuk mendengarkan.
Pantesan saja para guru terus ngeluh agar gajinya dinaikkan. Ternyata pekerjaanya tidaklah semudah seperti yang dibayangkan. [b]
saya sudah silaturahmi ke sekolah dasar saya dulu, ketemu guru-guru yang berjasa mendidik saya. saya sumbangkan sepeda motor ke masing-masing guru yang bisa saya temui. total 9 sepeda motor saya sumbangkan. ada yang ingin mengikuti jejak saya? terima kasih bapak dan ibu guru 🙂
mau, tapi bukan dalam bentuk materi(motor),soalnya masih menadah sama ortu.