Pemilihan umum (Pemilu) menjadi perhelatan lima tahun sekali yang selayaknya dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. “Pemilu untuk semua” merupakan semangat utama yang mendasari hadirnya tulisan ini. Memilih dan dipilih adalah hak warga negara yang senantiasa harus terpenuhi. Maka dari itu, diperlukan berbagai instrumen pendukung yang dapat memfasilitasi seluruh partisipasi.
Harapannya, Pemilu bisa menjadi pesta demokrasi yang inklusif. Mempertanyakan tentang Pemilu yang inklusif, apakah Pemilu sudah benar-benar memfasilitasi penyandang disabilitas untuk dapat menggunakan hak yang dimiliki? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari simak sejenak sebuah kisah pengalaman dari Yayasan Pendidikan Dria Raba.
Yayasan Pendidikan Dria Raba merupakan lembaga pendidikan yang memfasilitasi pendampingan pada anak-anak disabilitas sensorik netra. Yayasan Pendidikan Dria Raba menaungi Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Denpasar dan asrama.
Yayasan ini mendampingi anak-anak disabilitas sensorik netra dengan rentang umur 8 – 20 tahun. Selain itu, penyandang disabilitas sensorik netra di luar rentang umur tersebut tetap dibantu oleh Yayasan Pendidikan Dria Raba. Saat ini, terdapat 35 anak penyandang disabilitas sensorik netra yang didampingi oleh yayasan ini.
Dalam konteks Pemilu, penyandang disabilitas sensorik netra tentunya memerlukan fasilitas pendukung untuk dapat menggunakan hak suaranya. Menjadi kewajiban penyelenggara Pemilu untuk ambil andil dalam penyediaan fasilitas yang diperlukan. Sosialisasi mengenai mekanisme pemilihan berkali-kali dilakukan oleh pihak penyelenggara Pemilu. Namun, saat tiba hari pemilihan, apa yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kadek Agus Marjaya, pengajar di Yayasan Dria Raba yang juga merupakan penyandang disabilitas sensorik netra, menceritakan pengalamannya ketika memilih pada Pemilu 2014 dan 2019. Pemuda yang akrab dipanggil Agus ini berasal dari Kabupaten Buleleng dan saat ini merantau ke Denpasar. Pada tahun 2014 lalu, ia menggunakan suaranya di Buleleng dengan pendampingan orang tua. Namun, pada Pemilu 2019, Agus mendapatkan sebuah pengalaman tidak menyenangkan yang menyebabkan dirinya dan beberapa temannya, yang juga merupakan penyandang disabilitas sensorik netra, tidak dapat menggunakan hak suara.
Saat itu, ia dan teman-temannya mendapatkan informasi bahwa pemilih yang berasal dari luar daerah diizinkan memilih dengan membawa KTP ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) terdekat mulai pukul 12.00 – 13.00 WITA. Agus dan teman-temannya berusaha memanfaatkan kesempatan tersebut dan datang ke TPS dengan sarana ojek online. Saat sampai di TPS, berbagai alasan muncul. Mulai dari TPS penuh, surat suara yang habis, hingga petugas TPS yang tidak dapat menyediakan pendamping.
“Ketika hari-H kita ingin menggunakan hak pilih kita, kita dioper ke sana dioper ke sini dengan alasan yang tidak karu-karuan, alasan KPU penuh, tidak bisa kita menyediakan pendamping bagi rekan-rekan disabilitas sensorik netra,” ungkap Agus. Bahkan, dua sampai tiga kali Agus dan teman-temannya dipindahkan ke TPS yang berbeda pada hari itu. Akhirnya, ia dan teman-temannya harus kembali dengan rasa kecewa karena tidak berhasil menggunakan hak pilihnya.
Berbeda dengan Agus, Yuki, penyandang disabilitas sensorik yang juga menjadi dampingan Yayasan Dria Raba, berhasil memanfaatkan hak pilihnya pada Pemilu 2019 lalu. Yuki sudah memiliki KTP Denpasar dan sudah terdata sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Denpasar. Pada Pemilu 2019, ia melakukan pemilihan dengan didampingi oleh orang tuanya.
Bukannya tanpa masalah, saat melakukan pencoblosan, Yuki menuturkan bahwa alat bantu berupa huruf Braille tidak digunakan dan dirinya tetap mengantre seperti masyarakat pada umumnya tanpa adanya prioritas. “Nggak makek yang kayak gitu (alat bantu Braille) di tempat saya,” jelas Yuki. Untuk dapat mencoblos pilihannya, Yuki berkomunikasi dengan orang tuanya dan meminta agar tangannya diarahkan pada calon yang ingin dipilih.
Permasalahan tidak berhenti sampai di sana. Pada Pemilu 2024, muncul permasalahan terkait dengan status pindah memilih yang dikeluhkan oleh Ibu Dayu Pradnyani, Pendamping di Yayasan Dria Raba. Bu Dayu menuturkan bahwa sejak satu tahun lalu, berkali-kali pihak kelurahan dan KPU datang untuk menanyakan data anak-anak dampingan yayasan yang akan memilih pada Pemilu serentak tahun ini.
Akan tetapi, mendekati hari pemilihan, belum ada tindak lanjut dari pihak kelurahan maupun KPU terkait dengan pindah memilih untuk anak-anak dampingannya. “Setahun yang lalu kalo nggak salah itu dari KPU, dari kelurahan itu dateng terus meminta data semua. Saya tenang-tenang sudah mungkin sudah akan ada yang membantu. Eh, H-14 saya kemarin itu, satupun ndak ada yang dateng dari KPU untuk menanyakan, untuk menindaklanjuti lagi,” ujar Bu Dayu. Dengan kondisi yang demikian, Bu Dayu berinisiatif untuk bertanya kepada lurah setempat dan diarahkan untuk mengurus sendiri perpindahan memilih tersebut ke KPU Kota Denpasar. Minimnya informasi serta bantuan dari kelurahan dan pihak KPU turut disesalkan oleh Bu Dayu.
Di akhir percakapan, Agus, Yuki, dan Bu Dayu menyampaikan harapan yang sama untuk Pemilu 2024. Mereka berharap agar pihak KPU dapat mendata secara pasti penyandang disabilitas yang memiliki hak pilih, mendesain administrasi khusus yang dapat mempermudah akses penyandang disabilitas, menyediakan pendamping di TPS yang dapat dipercaya netralitasnya, serta menyediakan dan menggunakan alat bantu berupa huruf Braille.
Selain itu, pendampingan yang intensif serta pelayanan yang maksimal sampai di hari pemilihan juga menjadi aspek yang tidak kalah penting untuk dilakukan agar penyandang disabilitas, khususnya disabilitas sensorik netra, dapat tetap menggunakan hak suaranya.
Ditemui pada kesempatan yang berbeda, Gede John Dharmawan, Anggota KPU Provinsi Bali Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM, menyampaikan bahwa pada Pemilu 2024 ini, aksesibilitas penyandang disabilitas menjadi satu perhatian khusus KPU.
Hal tersebut diimplementasikan dalam bentuk penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung di TPS seperti pengadaan papan bidang miring pada tangga sehingga dapat dilalui kursi roda, kursi dan antrean prioritas, pengadaan alat bantu huruf Braille, serta pemindahan TPS jika penyandang disabilitas terdaftar di TPS yang berada di lantai tingkat.
Untuk mewujudkan seluruh penyediaan fasilitas ini, KPU menganggarkan dana pembuatan TPS yang sesuai. John juga menambahkan bahwa selain pengadaan sarana fisik, anggota KPPS yang bertugas di masing-masing TPS juga diberikan pelatihan agar bisa menjadi pendamping bagi pemilih disabilitas.
Upaya untuk menuju Pemilu yang inklusif memang memerlukan usaha ekstra. Pemaknaan bahwa satu suara sangat berharga harus terus didengungkan. Tidak memandang siapapun dan dalam kondisi apapun, setiap warga negara Indonesia tetap memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Pada akhirnya, harapan besar selalu mengarah pada perubahan sistem menuju arah yang lebih baik, agar permasalahan-permasalahan sebelumnya tidak terulang kembali dan “Pemilu untuk semua” dapat diwujudkan.