Jumat, 19 Agustus 2011. Aktivis lingkungan dan mahasiswa yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali dan Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali kembali melakukan aksi penolakan Bali International Park (BIP). Aksi kali ini cukup unik karena menggunakan layang-layang sebagai media penyampai pesan penolakan BIP.
Massa menerbangkan layang-layang di lapangan Renon depan kantor Gubernur Bali. Layang-layang tersebut berukuran 2 meter bergambar Raksasa Kalarawu yang memakan bulan bergambar pulau Bali. Ekornya sepanjang 11 Meter bertuliskan “TOLAK BIP”.
Simbolisasi itu menggambarkan tingkah laku investor yang brutal dalam membangun mega proyek dan tidak peduli terhadap pelestarian lingkungan bali ke depan. Selain itu, massa juga menerbangkan puluhan layang-layang kecil yang bertuliskan tolak BIP. Menurut Haris, Humas aksi, tujuan aksi ini untuk mempertegas penolakan terhadap BIP.
“Proyek ini terbukti melanggar peraturan agraria dan membebani daya dukung ekologis Bali yang semakin rapuh,” ujarnya.
Proyek BIP ini rencananya akan dibangun di atas 280 hektar lahan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikuasai PT. CTS (Citratama Selaras) sejak tahun 1994. Namun, lahan tidak pernah dikelola sesuai dengan izin lokasinya.
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA)) dan PP 11/2010, tindakan penelantaran tanah selama lebih dari 17 tahun itu haruslah diberi sanksi pencabutan hak atas tanah karena merugikan negara dan menghalangi masyarakat untuk mengakses kesejahteraan. Namun, bukan sanksi pencabutan hak yang didapat oleh PT. CTS. Mereka malah mendapat instruksi dari pemerintah pusat untuk mempercepat pengalihan hak pada PT. Jimbaran Hijau (JH) selaku penggarap proyek BIP.
Belum Sah
Di tengah upaya pemerintah pusat mempercepat pembangunan BIP, Gubernur Bali pada tanggal 24 Juni 2011 mengeluarkan rekomendasi tentang persetujuan pengalihan hak atas tanah PT. Citratama selaras kepada PT. Jimbaran Hijau selaku pengembang proyek BIP. Ternyata rekomendasi persetujuan pengalihan hak atas tanah yang dikeluarkan Gubernur Bali berbuntut masalah di kemudian hari.
Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Badung, Tri Nugraha1, peralihan tanah PT CTS kepada PT JH belum sah secara yuridis. Sehingga terindikasi dapat merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah.
Seharusnya dibuatkan akte jual-beli di PPAT dan membayar Pajak Penghasilan (PPH) & Pajak Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPHATB) yang menurut BPN Badung sebagaimana dilansir oleh media extremepoint.com2 berjumlah sekitar Rp 20 milyar rupiah.
Atas dasar itulah Bupati Badung, AA. Gde Agung, hingga kini bertahan menolak pemberian izin megaproyek BIP selama persoalan agraria ini belum tuntas.
Sikap berpegang teguh pada peraturan ini ternyata dipandang pemerintah pusat sebagai hambatan dalam memuluskan proyek BIP. Menbudpar Jero Wacik berupaya menekan Bupati Badung dengan mengirim surat “sakti”. Wacik minta agar Bupati Badung mempercepat izin dan tidak mempermasalahkan status tanah proyek BIP.
Menghadapi tekanan dari pemerintah pusat, Bupati Badung tetap bertahan dan berpedoman sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Haris, Humas Aksi menyatakan Sikap Bupati Badung ini patut diapresiasi karena tetap konsisten berpedoman pada hukum sekalipun harus bertentangan dengan keinginan pemerintah pusat. “Sikap ini seharusnya ditiru oleh Gubernur Bali agar jeli dan tidak mudah diintervensi pemerintah pusat dalam mengeluarkan rekomendasi,” tegas Haris.
Melarang
Massa Aksi juga mempertanyakan kapasitas Gubernur Bali dalam rekomendasi persetujuan pengalihan hak atas tanah dari PT. CTS ke PT. Jimbaran Hijau, di mana pengalihan hak atas tanah ternyata masih bermasalah secara hukum agraria.
BIP sendiri merupakan megaproyek yang menambah beban lingkungan dengan rencana awal pembangunannya berupa 23 wisma presiden, hotel dengan 200 kamar, convention hall.
Berdasarkan perhitungan Walhi Bali, kebutuhan rata-rata air bersih untuk bangunan awal BIP adalah minimal 669.000 liter air bersih per harinya. Hal ini setara dengan kebutuhan sekitar 4.500 orang penduduk Kuta selatan atau setara 669 KK. Jumlah tersebut belum terhitung kebutuhan air dalam proses pembangunan fasilitas pelengkap BIP lainnya.
Belum lagi persoalan limbah dan sampah yang dihasilkan sehingga bisa dipastikan akan menambah beban lingkungan yang makin menumpuk.
Ketika massa menerbangkan layang-layang di lapangan renon, Protokoler kompleks pemerintahan melalui pengeras suara melarang massa menerbangkan layang-layang di Lapangan Renon tanpa alasan jelas.
Walaupun begitu, massa tetap menerbangkan puluhan layang-layang kecil bertuliskan “Tolak BIP” di atas langit renon. “Pelarangan ini bukti bahwa pemerintah berupaya menutup telinga terhadap kritik kebijakan yang dijalankannya,” pungkas Haris. [b]