Matahari masih malu untuk memunculkan diri, embun masih menempel, seolah menyetubuhi rerumputan. Udara dingin dengan aksiran tipis kabut. Beberapa perempuan dengan besek di kepala bergegas, menyusuri tepi jalan, meniti batas antara aspal yang menutupi batu kancing dan rerumputan yang mengigil.
Sebuah pagi di sasih sadha tahun Saka 1943, sasih yang bagi para kutun pundukan (kutu pematang, mungkin bisa merujuk petani) adalah masa sulit untuk mencari rumput bagi ternak. Berarti juga periode panen kacang tanah akan berlangsung cepat. Karena dibantu oleh petani sekitar yang berkeinginan mendapat batang tanaman kacang tanah untuk pakan sapi peliharaaan mereka.
Menyusuri temaram pagi yang dingin, perjalanan berhenti sebuah pertigaan. Peteluan Babakan (simpang tiga Babakan) begitu titik ini sering disebut. Pertigaan di wilayah banjar Babakan, persimpangan antara jalur utama jalan raya menghubungkan Kota Amlapura dengan Besakih, dengan sebuah jalan ke arah utara menuju beberapa dusun seperti: Babakan, Lusuh, Seledumi, dan sekitarnya.
Peteluan Babakan memiliki sebutan lain. Tenten Babakan, sebutan yang lebih sering dipakai terutama ketika obrolan menyangkut transaksi jual-beli.
Dua orang lelaki duduk di emperan sudut sebuah warung, tepat berada di bawah nyala lampu. Sebuah warung yang telah memulai aktivitas hariannya. Salah seorang terlihat masuk ke dalam warung, beberapa saat kemudian keluar dengan sebatang rokok yang menyala. Melangkah menghampiri rekannya yang masih setia duduk, menungu truk yang melintas.
“Numbas lanjaran siki, (beli rokok satu),” kata saya begitu masuk ke dalam warung yang kini semakin kecil dan begitu rendah. Entah karena saya yang membesar, atau warung ini memang mengecil, entahlah.
Seorang perempuan tua menoleh, sebuah topi menutupi rambut putih yang kemungkinan kian menipis terkikis waktu. Mengambil sebungkus dan menyerahkannya setelah menanyakan merk rokok yang saya inginkan.
Jro Bisma, demikian wanita tua itu biasa dipanggil, sosok yang dengan setia masih menjaga dan mengidupkan warungnya.
Pagi itu, ada sebuah pertanyaan yang tidak saya dapatkan. “Sane pidan mantuk (kapan pulang)”, sebuah pertanyaan yang biasanya selalu saya dapatkan ketika berbelanja di warung Jro Bisma.
Beberapa sepeda motor diparkir di sekitar warung. Ibu-ibu saling berpapasan, yang satu menuju ke timur bergegas menuju arah Pasar Selat sementara yang lain membelakangi matahari, melangkah menuju rumah. Beberapa perempuan masih terlihat nyuun sok (menjungjung besek) yang berisi belanjaan dari pasar, sementara beberapa yang lain menenteng tas belanjaan.
Sebuah warung sederhana dari bambu masih kosong, sementara di seberang sebelah barat jalan, toko-toko masih menutup dirinya.
Beberapa kendaraan melintas, lampu kendaaan yang harus terus menyala masih terlihat jelas, membuat pejalan kaki menjadi siluet yang kemudian mereka tinggalkan.
Udara dingin dan pertanyaan yang tertinggal dalam kepala mengahasilkan sebuah keputusan untuk masuk kembali ke dalam warung. Memesan segelas kopi dan menyalakan sebatang rokok.
Tenten, sebuah Bahasa bali yang biasa merujuk pada sebuah tempat orang berjualan dan area di mana beberapa orang melakukan transaksi jual beli. Skupnya lebih kecil dari pasar (peken).
Tenten Babakan dahulu merupakan sebuah lokasi yang memuat beberapa warung, mulai dari makanan lokal, hingga kebutuhan dapur. Mulai dari alat pertanian hingga alat tulis. Mulai dari kopi sampai racun tikus.
Tidak ada banyak yang berubah, dua buah bangku panjang, buah meja yang dijejali beragam produk dan toples yang berjajar. Sebuah rak menempel di dinding, memuat beraneka ragam barang. Mungkin butuh 3-5 halaman jika ingin menyebutkan barang-barang yang dijual di warung Jro Bisma.
“Daweg gestokke sampun driki, sekuale kantun meraab sumi, dari sejak pristiwa gestok (tahun 1965-66) sudah di sini, hanya saja masih beratapkan jerami,” ungkap Jro Bisma, menceritakan kepan dia mulai berjualan di tenten Babakan.
Saat itu jalur jalan raya masih rusak dan situasi yang masih sepi. Masih dalam ingatannya bagaimana situasi mencekam ketika masa itu. “Jro, mantuk, ngudiang dimargine kali mangkin (jro pulang, ngapain jam segini masih di jalan),” Jro Bisma menirukan hardikan yang yang diterimanya ketika memutuskan masih berjualan pada masa itu. Hardikan yang masih membekas dan tidak mudah untuk dilupakannya.
Pada masa itu dia masih hanya menjual beberapa perlengkapan rumah tangga seperti sok dan lumpian (besek dan tampar dari anyaman bambu). Jro Bisma menjadi warung yang menjual perlengkapan rumah tangga, sementara warung yang lainnya adalah warung bumbu-bumbu dapur.
“Yen dagang base-base, dadong Pputu jak dadong Punia-ne. Mangkin sampun melinggihang sami. (Kalau penjual bumbu ada nenek putu dan nenek punia, namun kini sudah meninggal),” lanjutnya.
Sebelah barat menghadap ke selatan merupakan lokasi warung dadong Punia, sementara dadong Putu di sebelah barat jalan menghadap ke timur. Lebih lanjut Jro Bisma menceritakan bagaimana situasi tenten Babakan.
Selain keberadaan para penjual, yang menarik yang dahulu bisa dilihat dengan mudah di tenten Babakan adalah beberapa penyadang. Penyadang berasal dari kata nyadang,yang bisa diartikan mencegat. Mereka biasanya akan mencegat isin sok (sisi besek) yang biasanya berupa hasil pertanian.
Hasil pertanian yang biasa dibawa bisa berupa gabah, bisa juga kacang tanah, terkadang cengkeh, cabai, bawang merah atau bawang putih. Alat ukur yang dipakai pun beragam, rontong untuk gabah, ceeng dan catu (menggunakan batok kelapa) untuk beras, gelas untuk cengkeh, gebeng (sikat) untuk ketela rambat, bawang merah, dan bawang putih. Hasil dari penjualan isin sok inilah yang kemudian ditukar menjadi barang belanjaan.
***
Matahari sudah mulai tinggi, mendatangi tenten Babakan tanpa membawa gagapan, oleh-oleh seolah merupakan sebuah kekeliruan besar. Sebuah warung mungil, berada di sisi sebelah timur warung Jro Bisma telah menggelar barang dagangannya.
Lontong, lempog dan blabur. Tiga pilihan makanan yang biasa menjadi oleh-oleh dari pasar Selain beberapa bentuk makanan lain di pasar yang lebih besar.
Lontong merupakan bahasa yang biasa di gunakan di lingkungan Desa Adat Selat untuk menyebut tipat cantok, makanan bali yang terdiri dari ketupat dan sayuran (biasanya kecambah atau kacang panjang. Dicampur dengan bumbu kacang.
Sementara lempog merupakan kue yang terbut dari bahan ketela pohon yang diparut dan dikukus, kemudian disajikan dengan kelapa parut dan gula merah yang dicairkan. Blabur, mirip dengan lempog hanya saja berbahan dasar beras sehingga lebih lembut.
“Dumun nak ngelajur ked kangin driki, nak care peken driki (dahulu berjajar di sini sampai ke timur, sudah seperti pasar),” Bu Nengah bercerita sambil membungkus lontong dengan harga Rp3.000 tiap bungkusnya.
Tenten Babakan pernah menjadi sebuah pasar kecil, bahkan sampai membuat petugas pasar pernah memungut retribusi pada penjual di tenten Babakan.
“Dadong Ngendek simalune san medagang lempog badeng driki, suud dadong ngendek, nyeledi tiang muruk ngadep lempog jak belabor (nenek Ngendek yang pada awalnya berjualan lempog hitam disini, saya menggantikan untuk belajar berjualan lempog dan belabor,” Bu Nengah menceritakan kehadirannya di tenten Babakan. Menyebutkan nama penjual pendahulunya yang tentunya tidak sempat saya temukan.
Bu Nengah juga menceritakan keputusannya untuk kini berjualan lontong diambil setelah penjual lontong sebelumnya, mbok Ngantia, sudah berhenti berjualan.
Tahun 1990an hingga awal 2000 bisa menjadi titik akhir keramaian tenten Babakan. Satu persatu warung reot dan ditinggalkan. Kini hanya menyisakan dua oarng, Jro Bisma dengan warung serba adanya dan Bu Nengah dengan warung lempog-blabur dan lontongnya. Bertahan dan menjaga areal itu tetap menjadi tenten Babakan, di tengah semakin berjamurnya toko dengan roling door.
Jejak-jejak mereka yang pernah berjulan dan atau nyadang kini telah tertutup oleh timbunan sampah. Dipenuhi timbunan endapan selokan yang diangkat dan kemudian diletakkan serampangan dan seenaknya.
Tenten Babakan merupakan sebuah titik kecil dengan peranan besar. Pada masa di mana jarak adalah sebuah jeda yang membentang dan usaha untuk melampauinya adalah usaha yang memakan waktu. Ketika situasi dan inisiatif untuk mendekatkan transaksi ke pinggir dan tidak terfokus pada satu titik, pasar (besar) Selat.
Waktu bergulir, jalan berlubang sudah diaspal. Lapisan pertama, lapisan kedua, lapisan ketiga dan terus makin halus makin meninggi. Meninggalkan dasar warung yang tertinggal jauh di bawah.
Kemajuan infrastruktur yang juga diikuti dengan meningkatnya jumlah kendaraan. Mulai dari sepeda gayung yang dengan gesit menghindari lubang, lalu mobil. Beberapa penumpang dengan sabar menunggu bus yang mengantar ke Badung (kini berubah menjadi Denpasar).
Secara lokasi, tenten Babakan berada pada sebuah titik strategis. Perkampungan yang berada di daerah barat seperti Babakan, Umasari (dahulu Umacetra), Padang Aji, bahkan sampai Muncan, akan melawati tenten Babakan ketika hendak ke pasar utama, Pasar Desa Adat Selat. Secara kedinasan, lokasi tenten babakan berada dalam wilayah Desa Pering Sari, Kecamatan Selat, Karangasem. Sedangkan secara Adat, tenten Babakan berada dalam wewidangan (wilayah adat) Desa Adat Selat (Baledan).
Tenten Babakan merupakan simpul ekonomi, ketika transaksi tidak harus terpusat di pusat desa adat Selat, namun bisa bertumbuh di pinggir desa. Babakan bisa menjadi penyokong transaksi jual beli terutama ketika pada masa pasca 1963, erupsi besar Gunung Agung.
Jauh sebelum istilah mini market, ternyata Desa Selat dan atau desa-desa lain sudah memimiliki konsep “mini market”, pasar kecil tanpa ada kepimilikan tunggal. Pasar kecil dengan rantai yang lebih pendek. Tenten Babakan juga berfungsi untuk menyalurkan hasil pertanian, tidak seperti mini market kekinian yang bertugas menyalurkan produk-produk antah berantah ke desa.
Bahkan warung Jro Bisma bisa jadi adalah bentuk awal dari waserda (warung serba ada), mulai dari ketela hingga sabit bahkan topi anyam yang biasa digunakan petani melalui terik matahari. Dari tembakau sisig hingga rokok bermerk. Dari boreh hingga obat penurun panas. Dari telur ayam kampung hingga mie instan. Apapun, silahkan ditanya, ada.
“Nak jamane sampun kene mangkin (jamannya sudah seperti ini sekarang),” Bu Nengah bergumam, sambil meletakkan daun pisang di dalam kertas minyak untuk membungkus barang jualannya.
Keberadaan tenten Babakan pada akhirnya harus bertarung dengan laju jaman ketika jarak dipangkas oleh kendaraan yang kini berhamburan, oleh warung-warung kecil yang kini mulai bertebaran. Pandemi yang datang juga berpengaruh pada penjualan mereka, serangkaian pembatasan untuk berkumpul.
Mungkin bisa disiasati dengan menghidupkan kembali tenten-tenten yang sebelumnya pernah ada. Selain untuk memecah keterpusatan sirkulasi uang yang hanya terjadi di satu titik juga memberikan kesempatan bagi titik-titik lain untuk muncul secagai lokasi transaksi, sehingga perputaran uang (sekecil apapun) bisa menyebar.
Entah sudah berapa lama Tenten Babakan hadir, jika peristiwa gestok sudah berusia 50an tahun, maka tentunya usia tenten Babakan lebih tua dari pada itu. Sebuah simpul kecil ekonomi yang coba dipertahankan oleh dua perempuan sepuh. Bertahan sambil harus beradaptasi, dari daun sente ke kantung plastik, dari daun pisang ke kertas minyak.
Bangunan tenten yang biasanya menggunakan bambu tentu saja tidak sekuat batuan candi, hal yang membuat tapak-tapak warung bisa dengan mudah dipenuhi rimbunan semak dan kemudian berubah menjadi lokasi timbunan sampah selokan. Sementara ingatan akan tenten terhimpit laju informasi yang berlari liar. Terhimpit selera yang berubah seiring sugesti iklan yang menyusup di sela-sela genggaman.
Setiap pagi Jro Bisma masih memulai hari dengan membuka pintu warung, lalu menata barang-barang dagangannya. Di saat yang sama kita masih terlelap setelah semalam lelah memilih barang yang dijajakan di gawai oleh penjual online.
Setiap hari Bu Nengah masih bisa bertanya, “Aji kude ungkusang tiang, driki nak kari dadi meli aji duang tali (di sini masih bisa berbelanja dua ribu rupiah),” menyampaikan bahwasanya lontong-lempog dan Blabur masih bisa didapatkan dengan harga Rp2.000 sementara di saat yang sama dua ribu rupiah sering kali raib di area parkir.
Inilah sua sosok perempuan sepuh yang masih menjaga sebuah simpul kecil dari relasi ekonomi dan juga sosial desa. Simpul yang perlahan ditimbun oleh semak belukar dan himpitan sampah produk dari antah berantah. Sebuah simpul yang tidak pernah dianggap sebagai potensi untuk menggerakan denyut ekonomi kota. Untuk mempertemukan petani dengan produknya dengan pembelinya.
Sebuah simpul yang hanya akan dikenang lewat ingatan yang rentan terputus dan hilang, dan dari sebuah foto yang sekelebat lewat di media sosial.