Karena tulisan saya mengenai klip lagunya Man Angga Nosstress yang berjudul “Ya Kamu”, ada baiknya klipnya ditonton dulu…
Saya banyak memuji klip ini, jujur karena saya menyukainya. Namun, saya juga tidak menampik bahwa pujian-pujian itu ada faktor bias akibat hubungan rekat saya dengan dua pembuat klip ini. Pertama, saya adalah fans berat karya-karya mereka, dan kedua, mereka adalah “orang-orang dekat”.
Hadhi Kusuma adalah adik saya. Hadhi acapkali diajak Nosstress (band idola saya) menggarap video diary mereka. Hadhi termasuk videomaker nekat. Punya satu kamera dan satu komputer yang tak lagi kencang larinya sebagai alat produksi.
Karena terbiasa dalam keterbatasan, maka keistimewaan karya-karya Hadhi tidak terletak pada kualitas gambar atau efek visual yang cenderung menggantungkan diri pada kecanggihan alat, melainkan pada kepiawaian dia merajut dialog, bahasa tubuh dan simbol-simbol yang dia temukan di lapangan ke dalam jalinan kisah.
Bagi Hadhi ide nomer satu, teknologi nomer dua.
Sedangkan Man Angga teman akrab saya sekaligus idola karena dia salah satu dari personel Nosstress. Suaranya merdu, permainan gitarnya ciamik. Lagu-lagu yang dia dendangkan gurih ditelan telinga. Dia juga cerdas, kritis dan lucu, karena itu dia menjadi teman dialog yang asyik.
Kemungkinan besar kami mudah akrab karena ada yang sama. Kakek kami sama-sama hilang ketika peristiwa kekerasan 65 berlangsung. Sudah menjadi kecendrungan bagi anggota keluarga korban 65 yang cepat merasa “bersaudara” ketika bertemu orang senasib.
Personel Nosstress yang gemar melucu di atas panggung ini tidak lagi berstatus lajang. Sekarang dia seorang suami merangkap ayah.
Klip ini adalah “curhat visual” Man Angga tentang kehidupan barunya itu. Agar klip mendekati kenyataan, tak tanggung-tanggung sosok-sosok yang hadir di klip ini adalah orang-orang istimewa di sekeliling Man Angga. Istri, ibu, dan buah hati pertamanya Dhira, yang belum genap berumur setahun muncul di layar selain Man Angga sendiri. Tidak cukup itu saja, rumah tempat keluarga kecil ini berteduh pun menjadi latar klip ini.
Meskipun sosok-sosok yang tampil dalam klip ini bukan kalangan profesional dalam dunia akting, tetapi ekspresi mereka di depan kamera tidak terlihat canggung sama sekali. Hal ini terpancar dari ekspresi wajah penuh kasih istri Man Angga kala memandikan buah hatinya. Kejujuran juga terlihat di klip ini ketika ibu Man Angga nampak tertidur pulas bersama cucu mungilnya.
Hadhi dan Man Angga cerdik menyiasati situasi agar ekspresi jujur orang-orang yang jarang disorot bisa ditangkap lensa kamera. Semua itu dimungkinkan karena Man Angga yang mengambil gambarnya. Memang Hadhi lebih berpengalaman dalam mengambil gambar, tetapi dia tidak mungkin bisa menangkap ekspresi jujur itu. Hadhi adalah “orang asing” yang memiliki keterbatasan mengakses suasana intim keluarga kecil Man Angga.
Ekspresi rasa sayang tak dibuat-buat ini sesuai dengan tema lagu. Lagu ini tentang ketulusan cinta yang sulit diterjemahkan lewat kata-kata.
Di Luar Kebiasaan
Bagi penggemar fanatik Nosstress yang terobsesi melihat lebih dalam dunia idolanya melampaui aksi-aksi panggung, atau pemberitaan di media-media, maka klip ini sedikit tidaknya bisa mengobati. Ada hal-hal di luar “kebiasaan” yang dilakoni Man Angga dalam kesehariannya.
Ibu pada umumnya diidentikan mengambil tugas-tugas domestik dalam pembagian kerja berdasarkan gender, sedangkan kerja kantoran adalah tugas ayah. Kebiasaan-kebiasaan itu tidak hadir di klip ini. Justru Man Angga ditampilkan sebagai ayah yang berada di dalam rumah, mengurus bayinya, dan mencuci pakaian. Sang istri malahan bekerja di luar. Pemandangan ini nampak dalam adegan ketika istrinya pamitan kepada buah hati untuk bekerja.
Klip ini juga mengajak pemirsa melihat dunia sehari-hari musisi di saat mereka menganggur. Jam kerja musisi tidak seperti jam kerja kantoran yang bersifat rutin. Hal itu memungkinkan mereka punya waktu untuk berada di rumah, dan melakukan tugas-tugas domestik. Meski demikian rumah bagi musisi bukanlah semata rumah tetapi “kantor”.
Rumah adalah ruang produksi bagi musisi dalam menciptakan lirik atau nada dan tempat mengasah skill. Fungsi rumah sebagai “kantor” di klip ini terlihat dalam adegan ketika Man Angga membuat lirik lagu, dan munculnya alat produksi Man Angga dalam berkarya yaitu gitar.
Para fans yang sebelumnya membayangkan kehidupan Man Angga berlimpah harta bisa saja terkejut. Sebab, gambaran kehidupan ekonomi Man Angga di klip ini jauh dari dugaan mereka. Visual Man Angga mencuci tanpa mesin cuci dan istrinya yang masih mengendarai sepeda motor ketika pergi meninggalkan rumah tentu jauh dari sisi stereotip glamour kehidupan seorang musisi dengan banyak fans.
Nosstress sampai saat ini berusaha keras menolak tawaran manggung di berbagai even yang disponsori perusahaan rokok. Banyak konser di tanah air yang melibatkan perusahaan-perusahaan rokok sebagai penyandang dana acara, dan mereka bisa membayar mahal para musisi. Nosstress termasuk nyeleneh karena kesempatan untuk hidup lebih mapan dengan cepat dihindarinya. Sepertinya kesederhanaan hidup keluarga kecil Man Angga yang terpancar di klip ini adalah konsekuensi dari idealisme Nosstress.
Lagu “Smoking Kills” yang sering dilantunkan Nosstress ternyata bukan sekadar lagu tapi sikap.
Konsekuensi Idealisme
Kemakmuran yang berjalan pelan sebagai konsekuensi idealisme Nosstress itu sepertinya tak membebani Man Angga sekeluaraga, sekalipun kehadiran Dhira akan menambah beban tanggung jawab mereka. Hal tersebut terlihat dari keceriaan-keceriaan yang menonjol di klip ini.
Saya tak heran sama sekali klip ini kan mengundang sinis selain pujian. Mereka yang sinis bisa jadi menganggap klip ini adalah proyek pencitraan Man Angga. Kesinisan semacam itu wajar saja karena kita terlalu sering dijejali visual-visual pencitraan para petinggi negeri yang seolah-olah bergaya hidup sederhana, padahal serakahnya bukan main.
Sinisme semacam itu sekali lagi wajar sebab nilai-nilai kapitalisme telah menyebar dan diyakini bagaikan “agama”. Hasrat mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya dianggap lumrah, pelit bukan hal buruk lagi justru dianggap sebagai penghematan atau efisiensi, kerakusan dianggap produktif, dan berempati diangggap sebagai pemborosan.
“Time is money” begitu kalimat saktinya. Jadi, mengeluarkan tenaga dan waktu di luar logika cari uang dianggap “malas” atau buang-buang waktu. Tak pelak sikap menolak kesempatan untuk makmur dengan cepat adalah omong kosong belaka. Dalam konteks inilah klip ini bisa menuai kesinisan sebab klip ini menghadirkan hal yang dianggap tak mungkin ada.
Saya tidak mau berpusing-pusing dengan sinisme macam itu. Bagi saya ada hal baik di klip ini yang patut diserap, yaitu pentingnya solidaritas untuk merawat masa depan. Bagi saya, buah hati Man Angga adalah simbol dari “masa depan”. Kesigapan Man Angga, istrinya dan ibunya dalam merawat si kecil yang nampak di klip ini adalah cerminan dari “solidaritas”.
Pemandangan “gotong royong” dalam mencintai “masa depan” di klip ini membawa memori saya ke jalanan, di saat Man Angga bahu membahu bersama rakyat penolak reklamasi Teluk Benoa melakukan aksi di depan kantor pemerintah. Man Angga adalah bagian dari massa penolak reklamasi Teluk Benoa yang konsisten dari awal sampai saat ini. Pemandangan gotong royong massa penolak reklamasi Teluk Benoa di jalanan itu adalah juga pantulan dari gotong royong menyelamatkan buah hati di dalam rumah. Keterkaitan itu yang saya tangkap dari klip ini.
Nyata dan Membadan
Melihat klip ini membuat saya mengerti bahwa jargon “tolak reklamasi demi anak cucu” yang sering diteriakan oleh massa aksi itu bukanlah konsep abstrak. Dia nyata dan membadan.
Oleh sebab itu klip ini mengajak kita melihat situasi dalam rumah yang menggerakan para orang tua untuk ikut berjuang di jalanan. Ada situasi begitu intim yang memompa mereka untuk terus menggelorakan perjuangan. Masuk di akal kemudian perjuangan tolak reklamasi terus berkumandang karena ada orang-orang tercinta yang ingin diberangus masa depannya.
Kehadiran ibu Man Angga di klip ini saat mengaturkan sembah di hadapan kuil sambil mengenakan baju tolak reklamasi Teluk Benoa menegaskan bahwa rencana reklamasi itu meresahkan hingga masuk ke dalam rumah, dan menyentuh orang-orang di sekitar kita.
Terselipnya nilai kesederhanaan, solidaritas, dan perjuangan yang berkelindan dengan warna-warna cerah serta ekspresi keceriaan anggota keluarga dalam merawat si kecil membuat klip ini begitu berkesan. Ada optimisme di sana.
Ketika kapitalisme menghadirkan fantasi bahwa satu-satunya cara untuk survive di masa depan adalah dengan berkompetisi–yang notabene mendaulat si pemilik modal sebagai pemenang– klip ini memberikan perspektif beda yaitu “gotong royong” adalah kunci survive merawat masa depan.
Bagi yang suka visual-visual heroik berselera film aksi Hollywood, maka klip ini kan terlihat terlalu “lembut” secara visual dalam menerjemahkan makna perjuangan. klip ini memang tidak mengambil jalur “keras” seperti itu.
Menggugah dengan kesederhanaan adalah kualitas dari klip ini, dan saya merasakannya. Salut buat Hadhi dan Man Angga. [b]
Terbaik.
Akhirnya ada yang mengapresiasai klip ini dalam bentuk tulisan, kesederhanaan terasa begitu dekat di klip ini. Salut buat Hadhi yang sudah sangat berhasil memvisualisasikan musik Man Angga.
Terima kasih Saylow sudah menonton video clip Ya, Kamu ?
Terima kasih Saylow sudah menonton video clip Ya, Kamu 🙂