Oleh Luh De Suriyani
Rena Margalia, 19, “ditahan” selama dua minggu oleh RS Bhakti Rahayu di Jalan Gatot Subroto Denpasar karena belum melunasi pembayarannya. Karena tak kunjung mendapat solusi agar Rena bisa pulang, suaminya, Dedi Mustain, 20 memutuskan mencari bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rabu.
LBH Bali yang menemui manajemen RS Bhakti Rahayu gagal mencapai kesepakatan atas situasi yang menurut LBH berkategori penyanderaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ini.
“Ini termasuk penyanderaan karena menghilangkan hak seseorang mendapat kebebasan. Polisi saja harus minta ijin pada pengadilan untuk menahan seseorang. Kenapa malah institusi rumah sakit sendiri melakukan penahanan pada pasien,” ujar Agung Dwi Astika, Direktur LBH Bali.
Menurut Agung, masalah ini termasuk perdata karena menyangkut utang piutang. Semestinya menurut Agung, RS bisa mencari solusi dengan cara membuatkan surat utang dengan jaminan akan dipidanakan jika tak memenuhi kewajiban.
Apalagi saat ini, Rena dalam keadaan hamil dan sangat tertekan secara psikologis karena tak diperbolehkan pulang.
Agung menambahkan LBH masih berusaha mengusahakan penyelesaian secara kekeluargaan dengan RS Bhakti Rahayu, sebelum melaporkan kasus ini ke kepolisian, yang direncanakan Kamis besok.
Dedi Mustain menceritakan ikhwal penahanan istrinya ini karena tidak mampu melunasi sisa pembayaran operasi usus buntu.
Pada 18 Januari, Rena mendadak mengeluh sakit perut, lalu dibawa ke RS Bhakti Rahayu. Sampai di sana, dokter yang merawat, dr I Made Winarta, spesialis kebidanan ini meminta dilakukan operasi segera karena kondisi darurat.
“Istri saya dinyatakan kista dan harus dioperasi. Perkiraan biaya waktu itu sekitar Rp 6 juta rupiah. Walau saya tidak punya uang, tapi saya menyanggupi karena istri kesakitan,” ujarnya di kantor LBH Bali.
Dua hari setelah operasi, pada 21 Januari, Rena diperbolehkan pulang. Saat membayar di kasir RS, Dedi kaget karena harus membayar sekitar Rp 11 juta.
“Waduh, saya kaget setengah mati. Saya hanya bawa uang Rp 5 juta setelah pinjam pada banyak orang. Katanya istri saya operasi usus buntu dan ada tambahan biaya. Hal ini sama sekali tidak pernah dikonfirmasikan sebelumnya,” turu Dedi yang baru sebulan di Bali dan berdagang martabak ini.
Berhari-hari Dedi mencari bantuan dana, tapi tak berhasil. Sementara istrinya tidak diperbolehkan pulang dan juga tak mendapat pelayanan seperti makanan dan perawatan di RS Bhakti Rahayu.
Sejumlah tetangganya kemudian berinisiatif menemui dokter yang merawat untuk mendapat keringanan biaya namun keputusan berada di manajemen RS Bhakti Rahayu. Karena menemui jalan buntu, Dedi disarankan mencari bantuan di LBH Bali.
Manajemen RS Bhakti Rahayu yang ditemui di kantornya mengatakan belum bisa memberikan keterangan karena tengah upacara adat. “Benar, ada pasien dengan kasus itu, tapi pimpinan saya belum bisa memberi keterangan,” ujar Ni Putu Susanti, staf humasnya.
Menurut LBH Bali, pihak RS bisa mengijinkan Rena pulang jika ada surat miskin dari Provinsi bukan kepala desa. “Rena dan suaminya tidak mungkin mendapat surat miskin karena belum memiliki KTP Bali,” tukas Agung.
Sementara itu Rena yang ditemui di kamarnya mengaku sudah tak tahan tinggal di RS lebih lama lagi. “Saya juga takut keluar kamar karena nanti dikira mau kabur. Saya mau melunasi tapi tolong kasi waktu karena kami tidak punya keluarga di Bali,” ujarnya. [b]