Oleh Ni Komang Erviani
Ketika demam perubahan iklim melanda masyarakat Indonesia dengan aksi tanam sejuta pohon, masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, justru kebingungan mencari lahan kosong untuk ditanami. Aturan adat desa setempat ternyata sudah mengatur konservasi lingkungan sejak abad ke-11. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro pun dibangun untuk mengurangi penggunaan bahan baker fosil.
Hamparan sawah luas dengan bukit menghijau di baliknya, langsung menyapa ketika memasuki perbatasan Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali. Tak ada satu pun pemukiman warga di sekitarnya. Hanya sebuah bangunan mungil berukuran 2 x 3 meter, tampak berdiri kokoh di atas sebuah saluran irigasi milik Subak Tenganan. Subak merupakan sebutan untuk sistem saluran irigasi sawah tradisional di Bali.
Sebuah generator listrik yang digerakkan oleh putaran turbin dari aliran air subak, terlihat memenuhi bangunan mungil yang didominasi bahan kayu. “Listrik yang dihasilkan di sini, kami pakai untuk menggerakkkan penggilingan beras. Jadi, padi yang dihasilkan desa kami, bisa langsung kami olah jadi beras,” begitu Mangku Wayan Widya, tokoh Desa Adat Tenganan Pegringsingan, menjelaskan detil alur kerja Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) itu.
Mikro hidro merupakan pembangkit listrik tenaga air skala kecil yang ramah lingkungan. Teknologi sederhana yang mengubah aliran air menjadi listrik tersebut, kini coba diterapkan warga masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan untuk menggerakkan penggilingan beras di desa mereka. “Semoga dengan begini, masyarakat desa kami tidak perlu lagi beli beras. Jadi kami bisa menikmati beras hasil panen di sawah sendiri,” harap Mangku Widya.
Pembangunan PLTMH oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan, memang bukan tanpa alasan. PLTMH dibangun atas kesadaran masyarakat akan perubahan kehidupan sosial dan ekonomi yang mereka jalani. “Kami menyadari ada yang janggal. Kami punya sawah seluas 255 hektar, tetapi semua warga kami beli beras di luar desa,” terang Wakil Kelihan Adat Desa Tenganan Pegringsingan, Nyoman Sadra. Kelihan adat merupakan sebutan bagi tokoh pemimpin desa di Bali.
Dijelaskan Sadra, masyarakat Tenganan dulunya hidup dari sawah desa seluas total 255 hektar. “Bahkan dulu kami semua di sini punya lumbung padi, untuk menyimpan hasil panen. Seluruh hasil panen kami gunakan untuk konsumsi sendiri,” kenang Sadra. Namun kini, lumbung-lumbung padi milik warga tak lagi berfungsi. “Sekarang, semua warga beli beras di luar desa. Di swalayan atau toko-toko,” terang Sadra. Masyarakat kini terpaksa membeli beras, karena hasil panen dari sawah mereka dijual dalam bentuk gabah. Tak cuma itu. Beralihnya mata pencaharian penduduk ke bidang pariwisata, membuat sawah-sawah mereka digarap oleh warga desa tetangga dengan sistem bagi hasil.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan masyarakat adat Tenganan, lahan sawah desa seluas 255 hektar dapat menghasilkan sedikitnya 500 ton beras setiap kali panen. Namun dengan sistem bagi hasil yang belakangan diterapkan masyarakat, desa adat mendapat hasil yang jauh lebih kecil. Di tahun 2006 misalnya, desa hanya menerima 266 ton beras. Sadra memperkirakan, dari total panen yang seharusnya mereka terima pada tahun 2006, masyarakat desa mengalami kerugian total Rp. 300 juta. “Ditambah lagi, hampir semua masyarakat harus mengeluarkan uang untuk membeli beras,” keluh Sadra.
Penggilingan beras mikrohidro diharapkan menjadi solusi untuk membangun kembali swasembada beras di Tenganan, dengan cara yang tetap ramah lingkungan. Itu sebabnya, selip beras digerakkan dengan tenaga listrik yang tidak membutuhkan bahan bakar fosil. PLTMH hanya memanfaatkan sumber daya air dari sungai yang melintasi desa, Sungai Buhu. Debit air sungai Buhu yang cukup besar, yakni 350 liter/detik, kini bisa menghasilkan sedikitnya 12.500 watt listrik untuk menggerakkan alat penggilingan beras. Program PLTMH dibuat masyarakat desa Tenganan atas dukungan Yayasan Wisnu, Global Environmental Facilities-Small Grannt Programs (GEF-SGP), Jaringan Ekowisata Desa, Bank Indonesia (BI), dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Desa Adat Tenganan Pegringsingan memang tergolong satu dari sedikit desa di Bali, bahkan mungkin Indonesia, yang punya kepedulian terhadap masalah lingkungan. Jauh sebelum masyarakat dunia berteriak tentang pemanasan global, desa yang terletak di bagian timur pulau Bali ini sudah mengatur pelestarian lingkungannya dalam awig-awig (aturan) desa. Aturan desa jelas mengatur peruntukan lahan dari total 917 hektar wilayahnya. “Itu sebabnya, luas sawah desa tetap 255 hektar sejak dulu. Tidak pernah berkurang. Kami tidak pernah mengalihkan fungsi lahan di sini,” ujar Sadra bangga.
Keseluruhan tanah di Desa Tenganan adalah milik desa adat, walaupun atas nama perorangan atau kelompok. Pengelolaan tanah diatur jelas dalam aturan desa, terutama untuk mempertahankan keberadaannya dan kepemilikannya. Masyarakat Tenganan tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar Tenganan. Hal inilah yang menyebabkan luas wilayah Tenganan saat ini masih sama seperti pada abad ke-11 silam. Dalam aturan desa juga tegas disebutkan bahwa desa adat memiliki hak ngerampag, hak mengambil hasil bumi di tanah milik pribadi.
Sederet aturan lainnya, juga tetap dipegang erat masyarakat di desa yang kini menjadi desa wisata budaya itu. Pohon yang ada di wilayah Tenganan misalnya, tak boleh ditebang sembarangan, bahkan untuk pohon yang tumbuh di tanah milik pribadi. Terutama untuk pohon nangka, tehep, kemiri, pangi, cempaka, dan durian. Bahkan untuk memetik hasilnya, warga hanya dihasilkan mengambil buah yang jatuh setelah matang di pohon. Jika pohon-pohon tersebut tumbang, maka kayunya akan secara otomatis menjadi milik desa. Kayu tersebut nantinya bakal digunakan untuk membuat atau memperbaiki fasilitas umum. Karena sudah menjadi aturan, maka semua bentuk pelanggaran bakal dikenai sanksi adat. Dapat berupa teguran, dikucilkan atau bahkan dikeluarkan dari desa.
Aturan ketat Desa Tenganan, membuat desa ini tetap terjaga kelestarian alamnya. Bahkan ketika masyarakat Indonesia heboh-heboh dengan aksi tanam sejuta pohon, nmasyarakat Tenganan tak lagi menemukan lahan kosong untuk bertanam. “Kita tidak tahu lagi harus tanam pohon di mana,” ujar Sadra. Permukiman penduduk tetap terjaga tanpa mengganggu lahan hutan dan persawahan. “Jadi jelas, masyarakat Tenganan sudah melakukan konservasi lingkungan sejak abad ke-11. Mereka tidak perlu ikut aksi tanam sejuta pohon, karena mereka sudah menjaga pohon-pohon yang ada sejak dulu,” ujar I Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu.
Pembangunan selip beras bertenaga mikrohidro diharapkan bisa menjadi bentuk lain dari upaya konservasi lingkungan di Tenganan. Diakui Suarnatha, dana yang diperlukan untuk membangun selip beras mikrohidro tersebut tak sedikit, mencapai hampir Rp. 400 juta. “Tapi kita harus lihat manfaatnya. Ini bukti upaya pelestarian lingkungan yang nyata dari masyarakat Tenganan dengan kearifan lokalnya,” tegas Suarnatha. Masyarakat Tenganan membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menyelamatkan alam dari kerusakan lingkungan.
[Tulisan ini dimuat Harian Seputar Indonesia, 4 Desember 2007]