Oleh Juni Antari dan Luh De Suriyani
“Dulu di teba banyak ada pohon buah, apalagi kalau hari raya Nyepi, sedikit beli buah karena sudah panen buah di teba, sekarang banyak pohon di teba tidak mau berbuah, pohon kena virus, teba tidak terurus, jadi tempat pembuangan sampah,” begitu gerutu Ni Wayan Landri berulang apalagi menjelang hari raya.
Landri adalah salah seorang warga di Klungkung yang sering mengenang hasil panen tebanya (kebun belakang rumah) kini tak pernah memberikan hasil apapun. Teba miliknya adalah lahan warisan yang diberikan mertuanya. Sejak dulu, teba itu sudah ditata sedemikian rupa ditanami dengan beragam jenis buah. Landri menceritakan, teba sekitar 6 are itu dulu banyak pohon buah-buahan seperti sentul, boni, mangga, wani, kelapa, ceroring, rambutan, pohon bunga sandat, cempaka, pisang, daun pandan hingga tanaman kecil lainnya.
Hari raya Nyepi menjadi hari-hari ditunggu keluarga Landri sebab pohon-pohon di teba itu akan berbuah dan panen. Tidak ada perawatan khusus yang ia lakukan, tapi sejak dulu seluruh keluarganya menjadikan teba tempat pembuangan sampah. Seperti konsep masyarakat dulu, sampah sengaja dibuang ke teba, kemudian sampah dapat terurai dan menjadi pupuk alami. Selain itu, teba juga menjadi tempat bermain anak-anaknya. Keluarga Landri sangat akrab dan dekat dengan teba itu. Seperti rumah, setiap hari sesekali ia dapat berkunjung ke teba.
Namun, momentum itu berhenti sejak sekitar 15 tahun lalu. Ia dan keluarganya tak lagi akrab dengan tebanya. Tak ada lagi aktivitas berkunjung ke teba. Begitu juga kini, pohon-pohon yang dinanti setiap Nyepi tinggal nama. Satu persatu pohon buah itu mati. Ada yang tinggal dahan, ada yang tumbuh tapi tidak sempurna. Hanya tinggal ranting kering, tak berbuah.
“Sing ade ne dadi panen, sing sanget nyagerang isin teba buin. Telah punyanne ditu virusan (Tidak ada yang bisa dipanen, tidak banyak berharap dengan isi teba lagi. Semua pohon di sana virusan),” katanya.
Hingga saat ini, teba keluarga Landri isinya hanya pohon pisang dan mangga. Itupun tidak ada yang bisa dipanen. Sebab, sekalinya berbuah, buahnya terkena virus. Lebih sering buah gugur sebelum matang. Dari sekian aktivitas di teba yang berhenti, ada satu yang terus berjalan sampai saat ini, yaitu teba menjadi tempat pembuangan sampah.
Jenis sampah yang tak lagi sama seperti dulu (plastik belum populer, sehingga warga buang hanya organik di teba), menyebabkan kondisi teba keluarga Landri kini penuh dengan sampah plastik. Sampah yang dibuang ke tebanya masih tercampur. Sampah itu terus berkumpul, menumpuk namun tidak terurai. Tanpa disadari, tebanya lebih banyak terisi sampah plastik ketimbang pohon atau tanaman. Hingga saat ini teba seluas 6 are itu tidak produktif, bahkan ia sudah menganggap seakan tak memiliki teba lagi.
Kuncinya komitmen memilah sampah
Sedangkan di Banjar Pekarangan, Ngis, Karangasem, ada keluarga Kadek Andari yang beberapa bulan ini sudah membiasakan diri memilah sampah plastik dengan organik agar tidak menumpuk di teba. Awalnya teba di belakang dapur dan sekitar kandang yang cukup luas lebih dari 10 are ini terlihat jorok dengan sampah plastik menyebar di beberapa tempat. Bukan karena ia membuang sampah sembarangan, tapi menumpuk sampah di satu titik, tapi tercampur. Karena ia memiliki banyak ayam yang diliarkan, puluhan ayam inilah tiap hari mengorek tumpukan sampah sampai tersebar ke segala arah.
Kadek Andari merasa kurang nyaman, lalu memulai memisah plastik di karung berbeda. Sedangkan organik ditumpuk di sati titik di teba. Para ayam masih mengorek, namun karena sudah minim plastik, teba jadi tidak terlalu jorok. Apalagi teba ditumbuhi kelapa dan pisang yang rapat. Salah satu penghasilannya selain ternak ayam, sapi, dan babi.
Ia masih memiliki keinginan menanam aneka pangan di teba seperti sayur. Namun karena banyak ternak, beberapa jenis tanaman untuk dimasak di dapur sementara ini diletakkan di depan sanggah (tempat sembahyang) dan halaman dalam rumah.
Di sisi lain, ada dusun yang sudah merevitalisasi tebanya dengan masif, dilakukan banyak warga. Dusun Cemenggaon di Celuk, Sukawati, Gianyar disebut berhasil mengurangi sampah yang dibuang ke TPS atau TPA karena lebih dari 300 KK sudah membuat lubang sedalam sampai 3 meter untuk sampah organik.
Saat berkunjung ke Banjar ini, sudah 350 KK disebut punya 1-3 lubang mirip sumur yang berfungsi sebagai komposter di rumahnya. Volume sampah yang dibuang ke TPST dan TPA pun turun drastis, kurang dari 10% residu yang tidak bisa didaur ulang. Sedangkan sisanya sudah ditabung di bank sampah. Sederhana tapi sangkil mangkus.
Wayan Balik Mustiana, Ketua Badan Pengelolaan Sampah Desa Adat Cemenggoan mengatakan prosesnya dimulai sejak 2017, dari beberapa orang atau lubang dengan biaya swadaya, sampai kini ada di tiap rumah. Warga mendapat dukungan dari sejumlah pihak untuk membuat lubang komposter dengan biaya kurang dari Rp800 ribu per unit ini, salah satunya CSR Pertamina yang mendanai pembuatan 150 unit.
“Desa adat sudah punya Awig awig tentang sampah larangan buang sampah sembarangan dan teba modern sistem Pesan Pede ini sekitar 2019,” katanya. Desa adat juga menyiapkan area komposter untuk sisa organik dari upacara seperti kematian dan odalan.
(Catatan redaksi: berita ini diperbaharui pada 11 September 2022 pada 3 paragraf terakhir setelah tambahan reportase)