Teks oleh Yayasan Wisnu, Foto Anton Muhajir
Bali dinilai akan menghadapi tantangan lingkungan yang makin berat di tahun mendatang.
Terlebih terkatung-katungnya pembuatan Perda Tata Ruang Wilayah Kabupaten di sejumlah tempat. Karena itu empat desa di empat kabupaten membuat gebrakan dengan membuat studi tata ruang wilayahnya sendiri, untuk diserahkan pada pemkab sebagai bentuk keterlibatan warga.
Keempat desa itu adalah Banjar Kiadan-Pelaga di Badung, Banjar Dukuh-Sibetan-Karangasem, Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Karangasem, serta Desa Lembongan di Klungkung. Keempat daerah itu sudah membuat pemetaan desa dan akan diseminarkan mulai awal minggu ini.
Pertama adalah seminar Banjar Kiadan Plaga pada 14 Februari ini di Balai Subak Sari Boga, Kiadan Pelaga, Petang. Lalu disusul desa-desa lainnya. “Semua hasil tata ruang dari warga ini akan disampaikan ke Gubernur dan diseminarkan di Wantilan DPRD Bali sebagai bentuk desakan penyelamatan Bali,” ujar I Made Japa, Kelian Dinas Desa Kiadan.
Ia mengatakan banyak sekali tantangan yang dihadapi warga masalah tata ruang yang harus diatur dengan spesifik. Misalnya desa adat Kiadan dihadapkan pada kenyataan sebanyak 1,29% lahan (palemahan) sudah dimiliki orang luar, yakni seluas 3,12 ha. Sementara hanya 1,94% lahan yang tidak boleh dijual, yakni seluas 4,69 ha dalam bentuk tanah pekarangan desa.
“Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, maka desa adat kiadan membutuhkan perluasan zona permukiman. Ini yang harus segera diatur. Kalau tidak, kawasan ini bisa kacau,” tambah I Made Japa soal desanya yang menjadi daerah resapan air di Bali. Pelaga salah satu kawasan yang menyuplai air ke hilir, atau Bali selatan yang kemudian dinikmati hotel dan resor mewah. Bahkan debit air untuk pengairan sawah di kawasan Badung utara ini sudah turun sejak tahun 1999.
Ekosistem di Desa Kiadan juga mulai perlu mendapat perhatian serius, mengingat jenis dan jumlah keanekaragaman hayati (tumbuhan dan hewan – termasuk burung) semakin berkurang, drainase, sanitasi dan sampah terutama plastik belum dikelola dengan baik.
Masalah serupa juga dialami tiga desa lainnya. Padahal keempatnya adalah kawasan desa wisata dan perlu rencana pelestarian secepatnya. Dari berbagai fakta sosial itu, sejak beberapa tahun lalu warga di keempat daerah sudah mulai membuat ancang-ancang peta desa dan kemudian tata ruang wilayah dalam bentuk keputusan-keputusan desa seperti Perarem.
“Perarem soal kearifan lokal atau melindungi desa dari kerusakan lingkungan adalah salah satu pilihan yang bisa dilakukan oleh desa adat,” jelas Prof I Wayan Windia, ahli hukum adat Bali dari Universitas Udayana. Menurut Windia, Bali butuh gerakan yang cepat dan benar-benar ikhlas melindungi desa adat dan lingkungannya. Terlebih di tengah tarik menarik kepentingan dalam Perda Tata Ruang saat ini.
“Keempat warga desa membuat tata kelola wilayahnya karena mereka sendiri yang paling tahu kondisi desanya,” ungkap Ir I Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan dan transformasi sosial, dan bekerja sama dengan 4 desa adat di Bali itu sejak akhir tahun 1999.
Secara substansial gagasan pengaturan penataan ruang di tingkat desa tersebut telah berjalan dan dilaksanakan, namun secara formal belum diajukan baik ke tingkat kabupaten maupun kecamatan.
Tata ruang ala warga ini dihubungkan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi Bali yang sudah disahkan pada akhir Agustus 2009. Gagasan untuk mengajukan usulan-usulan masyarakat ini didasarkan pada alas hukum yang diberikan oleh negara melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelibatan masyarakat dalam penataan ruang, yakni PP No. 68 tahun 2010 tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang.
Menurut ketentuan, peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah kabupaten sedang memproses pengesahan Ranperda RTRW Kabupaten, di mana dalam kesempatan inilah masyarakat memiliki hak untuk terlibat di dalamnya.
Tidak hanya sebatas melalui wakil-wakil rakyat di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, namun juga terlibat langsung secara aktif menyampaikan gagasan dan usulan kepada dinas yang membidangi. Dalam PP itu pemerintah diwajibkan memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada masyarakat tentang proses penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Melalui media komunikasi, melakukan sosialisasi mengenai perencanaan tata ruang, menyelenggarakan kegiatan untuk menerima masukan dan memberikan tanggapan kepada masyarakat (Pasal 16 PP No. 68 Tahun 2010).
Saat ini Perda RTRWP Bali No 16 Tahun 2009 sedang diprotes sebagian bupati di Bali karena dinilai menyulitkan investor masuk. Misalnya soal permintaan revisi jarak sempadan pantai yang ditetapkan 100 meter dan daerah steril 2-5 kilometer dari pura.