Teks Yayasan Wisnu, Foto Anton Muhajir
Warga empat desa di Bali akan menawarkan tata ruang versi warga sendiri untuk menyelamatkan desa dari kemungkinan eksploitasi industri pariwisata dan menjaga alam.
Warga yang tergabung dalam Forum Tim tata ruang desa tersebut memandang perlunya masyarakat berperanserta dalam penyusunan kebijakan tata ruang yang bersumber dari kearifan setempat. Demi melengkapi usulan tersebut, warga dari tiga kabupaten tersebut, menggandeng sejumlah ahli dari kalangan akademisi dan praktisi multi disiplin ilmu ketataruangan.
Hal ini terangkum dalam diskusi para ahli tentang Mengembalikan Kedaulatan Ruang Komunitas, di Yayasan Wisnu, Senin (27/9) di daerah Kerobokan, Badung.
Keempat desa yang bersepakat memetakan tata ruangnya sendiri adalah Desa Adat Kiadan Pelaga, Badung, Banjar Adat Dukuh Sibetan dan Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Karangasem, serta Desa Adat Lembongan di Klungkung.
Empat ahli yang mendampingi warga dan mendorong kedaulatan tata ruangnya sendiri ini adalah Dr. Ni Luh Kartini, seorang pakar pertanian organik; Prof I Wayan Windia, ahli hukum adat Bali; I Ketut Sumarta, budayawan dan sekretaris jenderal Majelis Utama Desa Pekraman; serta AA. Ngurah Made Arwata, planolog senior di Bali.
Para pakar ini tak hanya berperan sebagai tim pendamping masyarakat, namun lebih jauh lagi, keempatnya sendiri adalah pribadi yang meyakini bahwa usulan masyarakat yang didasarkan pada kearifan nilai setempat, mutlak diperjuangkan sebagai bentuk pelibatan masyarakat dalam pembangunan bali.
“Saat ini membuat pura dengan menjual tanah, padahal dulu membuat pura supaya tanah tidak dijual,” sindir AA. Ngurah Made Arwata.
Para ahli dalam diskusi berpendapat bahwa Bali dalam kondisi mutakhir, sangat krodit, baik dalam implementasi ketegasan pengaturan tata ruang, konflik adat, penguasaan tanah oleh investor, dan lainnya.
“masyarakat di Kawasan hulu saat ini merasa tidak mendapatkan perlindungan nasional dan daerah dalam hukum positif, padahal kearifan tradisional sangat menghormati daerah hulu. Desa juga sedang mengalami kemeng (kebingungan/syok) terhadap perubahan yang terjadi. Jika sudah terjadi alih kepemilikan tanah, tidak ada yang bisa mengatur alih fungsi,” ujar Ketut Sumarta.
Menurutnya, pemerintah tidak melakukan proteksi untuk daerah-daerah hulu padahal daerah ini yang menjaga ketersediaan air sebagai pusat hutan, penyangga, dan lainnya. Ia mencontohkan, Desa Adat Kiadan Pelaga, Badung yang diwajibkan sebagai daerah jalur hijau namun tak mendapat perlakuan layaknya daerah penyangga kebutuhan hilir. Malah, daerah hilir seperti Kuta dan Nusa Dua yang terus disuntik dana sampai over eksploitasi.
Prof Windia menyebut, berbagai bentuk peraturan dapat dipergunakan untuk menegaskan berlakunya hukum tata ruang usulan masyarakat ini, untuk jika tata ruang versi rakyat dari satu di antaranya adalah disahkan menjadi perarem (peraturan adat sejajar dengan awig-awig) di desanya masing-masing.
“Masyarakat dapat menetapkan zonasi kawasan di daerahnya, misalnya tempat mana yang ditengetkan dan wilayah mana yang bisa dijadikan daerah budidaya. Biar investor dan pemerintah tidak bisa sembarangan mengatur. Harus warga sendirilah yang menentukan peruntukkan ruangnya,” katanya.
Sementara dari sisi pertanian, menurut Luh Kartini, sistem pertanian saat ini yang menjadi masalah adalah penggunaan kimia, terutama untuk padi. “Saat ini rata-rata petani mengatakan dirinya miskin. Mengapa melanggar aturan karena alasan ‘perut’,” ujarnya.
Kartini yang dikenal sebagai pengembang pupuk kascing ini menambahkan, perlu ada perencanaan untuk ekonomi kreatif. Alasan melakukan segala hal adalah untuk mengisi perutnya, sementara dari pertanian mereka tidak bisa berharap sehingga senang pada investor.
“Ironisnya, saat ini laba pura juga sudah digadaikan. Hal yang perlu didorongkan misalnya membuat biogas dan perlindungan atas mata air. Contohnya di Nyuh Kuning dan Desa Kerta di Gianyar. Bagaimana sistem pertanian terpadu bisa memberikan pendapatan yang lebih tinggi,” tambah Kartini.
Dalam diskusi ini, terangkum kemungkinan ada dua konsep model tata ruang wilayah versi warga. Yakni tata ruang untuk wilayah di hulu dan hilir. “Diharapkan masukan dari desa ini bisa dimasukkan dalam ranperda atau detail tata ruang di kabupaten,” kata I Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu.
Para ahli menghimbau setiap desa di Bali perlu membuat peta wilayahnya, bukan orang luar yang membuat. Peta rona lingkungan harus mereka yang membuat, misalnya dalam penempatan pura, daerah pengembangan industri, pertanian, pemukiman, dan lainnya.
Apalagi Bali sudah mempunyai peraturan induk RTRWP. Tata ruang yang dibuat oleh bupati, menurut Suarnatha harus mengacu ke RTRWP propinsi, misal untuk sawah abadi dan daerah-daerah yang tidak boleh dibangun. [b]