Oleh Andi Anjastana dan Cahyadi

Kadek Ari Cahyadi merasa tertarik ketika melihat pakaian Tari Lawang yang dikenakan oleh penarinya. Ia kemudian mencoba untuk mengenakannya. Sedangkan pada saat itu Cahyadi sama sekali belum pernah belajar menarikan tari Lawang tersebut.
Saat menggunakan pakaian itu, tiba-tiba ada salah satu tetua yang kerauhan. Dalam kerauhan tersebut dinyatakan bahwa jika pakaian tari Lawang sudah digunakan, maka harus segera ditarikan. Kemudian Cahyadi langsung meminta maaf dan akhirnya berjanji akan menarikannya nanti pada saat Saba Kuningan.
Tari Lawang adalah salah satu tarian sakral yang ada di Desa Tigawasa. Tidak sembarangan orang boleh menarikannya. Tarian ini hanya dilakukan oleh warga dadia yang mengampu tugas untuk menarikan tari tersebut yang dikenal dengan juru lawang.
Tari ini sederhana, dilakukan dengan mengibaskan tangan kanan dan tangan kiri yang dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali. Kemudian diiringi oleh alunan gambelan yang dilakukan oleh warga dadia juru gemblung yang bertugas untuk menabuh. Biasanya penarinya laki-laki yang dilakukan secara bergantian. Seorang penari akan mulai datang ke pura saat gambelan lawang dibunyikan, kemudian ia akan menari seorang diri. Setelah satu penari selesai, ia akan kembali ke rumah dadia dan seorang penari lawang yang lain akan ke pura.
Hal itu terus dilakukan secara bergantian sampai upacara selesai. Tarian ini dilakukan saat saba desa yang bertepatan dengan hari raya Galungan Nadi. Galungan Nadi adalah ketika hari raya galungan dan juga kuningan jatuh pada saat penanggal atau hari setelah tilem (bulan mati). Di Desa Tigawasa ada lima dadia yang bertugas pada saat upacara adat yang disebut Panca Datu.
Panca Datu terdiri atas Juru Lawang yang bertugas untuk menarikan tari sakral Lawang, Juru Gemblung bertugas untuk megambel, Juru Gambuh bertugas menarikan tari baris, Juru Sudamala membuat tirta penyudamala dan Juru Pasek bertugas untuk masekin.
Saba bukan hanya kegiatan persembahyangan, tetapi juga wadah untuk seluruh warga desa berkumpul dan bersilahturahmi. Selain tari Lawang, ada juga bebacolan yaitu orang-orang yang berpakaian aneh dan lucu. Para bacol ini biasanya akan membuat sebuah lelucon yang membuat seluruh warga yang sedang berkumpul di pura tertawa. Semakin malam biasanya akan banyak warga yang dating karena tertarik untuk melihat tari Lawang dan juga aksi para bacol yang mengundang tawa setiap orang yang menyaksikannya. Saat saba berakhir, biasanya ditandai dengan acara memokmokan yaitu para penari Lawang dan juru gemblung berkeliling desa dan menari di depan sanggah para tetua desa.

“Upacara Saba Galungan ini sangat sakral dan penting untuk dilaksanakan, karena jika pada saat Hari Raya Galungan yang bertepatan dengan penanggal itu tidak dilaksanakan, masyarakat Desa Tigawasa percaya bahwa akan terjadi musibah besar di desa,” tutur tetua juru lawang Desa Tigawasa, I Putu Suastika.
Tarian ini dipercaya bias menolak bala atau petaka. Saat tari lawang ini ditarikan, akan muncul ketenangan dan kedamaian pada masyarakat Desa Tigawasa. Saba Galungan atau Kuningan Nadi dapat tidak dilaksanakan ketika keluarga atau dadia yang bertugas sebagai penari sakral ini sedang dalam keadaan cuntaka, seperti ada kematian.
Tarian sakral Lawang ini boleh dilakukan oleh semua dadia juru lawang. Para penari akan terus menjadi penari Lawang sampai tua. Tidak ada batasan usia untuk menarikan tarian ini. Saat ini ada tujuh orang penari, tetapi ketika dipentaskan akan dilakukan oleh satu orang penari saja saat di pura. Sedangkan penari yang lain akan menunggu di rumah juru lawang untuk menunggu giliran. Tari ini akan dilakukan selama dua hari terus menerus ditarikan sampai upacara selesai.