Pandemi Covid-19 membuat Isro Ayu Permatasari hidup dalam kenormalan baru yang diterapkan kampusnya.
Sebagai mahasiswa Tuli satu-satunya di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dirinya tak punya masalah soal aksesibilitas sebelum merebaknya Covid-19 pada Maret 2020. Sebab, kampusnya selalu menyediakan akses juru bahasa isyarat maupun juru ketik. Namun, tantangan muncul saat kelas dalam jaringan (daring) selama pandemi ini.
Juru bahasa isyarat serupa dengan penerjemah yang bertugas menjurubahasakan dari bahasa isyarat ke Bahasa Indonesia maupun sebaliknya. Sementara itu, juru ketik merupakan individu yang mengetikkan ucapan lisan dari seseorang ke dalam tulisan sehingga dipahami orang yang Tuli.
Akan tetapi, kini keadaannya berubah. Isro, begitu sapaan akrabnya, harus mengalami kesulitan akses selama kuliah secara daring. “Dulu kesulitannya cuma istilah-istilah hukum yang baru aku tahu, tapi sekarang kuliah online terasa berat,” keluhnya saat dijumpai secara daring pada Kamis, 22 Mei 2021.
Meskipun tersedia juru bahasa isyarat, namun tampilan dari google meet yang terlalu kecil menjadi kesulitan tersendiri bagi Isro. Ia tidak bisa melihat juru bahasa isyarat secara jelas pada layar. Tidak tersedianya fitur closed-caption pada google meet juga membuatnya tidak bisa menggunakan jasa juru ketik.
Persoalan lainnya adalah metode pengajaran berbasis audio. Sebagai seorang Tuli, Isro tidak berkomunikasi secara verbal, melainkan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat, pembacaan gerak bibir dan tulisan.
Maka dari itu, tidak seperti teman-teman lain, Isro butuh waktu lebih lama untuk bisa memahami materi maupun tugas dalam bentuk audio itu. Sebab, juru ketik juga butuh waktu dalam mengerjakan tugasnya mengubah bentuk audio ke dalam bentuk teks. Apalagi, jika materi maupun tugas dalam bentuk audio itu terlalu banyak, juru ketik seringkali kewalahan. “Sebetulnya, tidak apa-apa jika pakai audio asal diberi PPT atau paper materi sebelum kuliah. Jadi, aku bisa baca dan paham. Tapi, itu jarang terjadi,” katanya.
Tak hanya itu, hal-hal teknis seperti koneksi internet yang tidak stabil dan sinyal yang jelek juga menjadi persoalan. Isro merasa kesulitan memahami apa yang disampaikan juru bahasa isyarat ketika koneksi internet mulai tidak stabil.
Oleh karena itu, dirinya berharap pemerintah memberikan kuota gratis pada mahasiswa untuk menunjang perkuliahan daring. Ia juga berharap untuk bisa kuliah tatap muka lagi. Namun, Isro menunjukkan ketidaksetujuannya atas wacana kembalinya kuliah tatap muka pada Juli mendatang. Baginya, kuliah tatap muka sebaiknya dilakukan saat pandemi Covid-19 benar-benar mereda.
Selain masih khawatir dengan penularan virus, ia juga khawatir terkait penggunaan masker. Meskipun sudah tersedia masker transparan yang inklusif bagi Tuli, tapi mudahnya masker itu beruap membuatnya tidak nyaman menggunakannya.
Kendati mengalami tantangan selama perkuliahan daring, tak membuat Isro patah semangat. Ia justru mencari jalan keluar. Bersama teman-teman Tuli lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, ia menginisiasi hadirnya “Panduan Layanan Kelas Daring (Online) untuk Pengajaran dan Mahasiswa Tuli/HOH/Disabilitas Rungu di Perguruan Tinggi”.
Panduan ini pun resmi diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Mei 2020. Kini, tantangannya pada pengimplementasian panduan ini. “Sebagian sudah bagus penerapannya. Sebagian lagi belum terutama di daerah-daerah karena belum mengadvokasikan hak mereka atas akses juru bahasa isyarat,” tutup Isro.
Sama terjadi sekolah luar biasa bagi anak Tuli mengalami hambatan komunikasi melalui daring selama pandemik Covid19