
Hasil perhitungan luas Ruang Terbuka Hijau Publik (RTH Publik) di Kota Denpasar saat ini seluas 405,06 Ha atau sekitar 3,21 persen dari total luas wilayah kota. Angka tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam regulasi.
I Wayan Agus Bhara Dhiva mengaku tak kaget mengetahui minimnya RTH Publik di Kota Denpasar khususnya Sanur, tanah kelahirannya. “Sebenarnya nggak kaget karena di Sanur udah mulai berkurang, pesat banget pembangunan sekarang tanahnya mulai di kavling,” tuturnya. Lelaki yang akrab disapa Bhara ini adalah salah satu anak muda yang bergabung di Sungai Bahari, sebuah organisasi peduli keadaan pantai hingga sungai.
Imbas pembangunan yang pesat di Sanur, menurut Bhara mempersulit anak-anak muda Sanur bermain layang-layang. “Semakin sedikit orang main layang-layang karena dipersulit lah istilahnya untuk bermain layang-layang, harus bikin tegakan (penyangga-red) tali,” jelas Bhara. Penyangga tali layangan berbentuk seperti carang pohon berbentuk ketapel. Bhara mengungkapkan, tali layang-layang harus melintang sempurna agar tidak mengenai rumah warga.

Bermain layang-layang di pantai juga tak memungkinkan. Hanya saat festival layang-layang bagi Bhara waktu paling pas bermain layang-layang tanpa hambatan, sebab pantai khusus dipergunakan untuk melayangan. Namun, tak seluruh pantai layak menjadi lokasi melayangan, termasuk Pantai Mertasari yang jadi langganan festival atau lomba layangan. “Kalau Mertasari sulit karena ada galian,” keluhnya.
Menurut Bhara, Mertasari sekarang memiliki kubangan yang sangat luas dan dalam. “Kenapa sih dibuat gede banget ada lubang, kenapa nggak disamaratakan gundukannya biar nggak ada kubangan,” keluh Bhara. Kegelisahan Bhara terhadap menipisnya ruang terbuka menuntunnya aktif dalam Sungai Bahari. Salah satu kegiatan yang dilakukannya adalah membersihkan dan merawat sungai. “Endapan sungai itu semakin lama semakin tinggi, kita gali dan ada sampah kita bersihkan,” ungkapnya.

Kini Bhara dan relawan Sungai Bahari lainnya senantiasa aktif melakukan serangkaian kegiatan pelestarian laut, pantai, hingga sungai. Bhara juga melakukan edukasi budidaya terumbu karang kepada anak-anak sekolah dasar. Lelaki jurusan Teknologi Informasi ini berharap agar tanah di Sanur tak hanya menjadi bangunan megah. Kedepannya, Bhara berencana memperdalam budidaya tanaman cabai. “Aku sejak dulu konsen dengan alam karena dari dulu sudah diajak bertani sama bapak,” ungkapnya
Rencana Pemenuhan RTH Publik di Kota Denpasar

Isu RTH yang kembali naik di Kota Denpasar. Menurut Wayan Robi Engagement Officer dari WRI Indonesia, semua berawal atas kesepakatan Kota Denpasar bergabung dalam inisiatif City for Forest di tahun 2022. City for Forest adalah asosiasi beberapa kota di dunia yang memiliki komitmen untuk melakukan pendekatan berbasis alam dalam perencanaan pembangunan di kotanya. “Kebetulan City for Forest di Indonesia itu merupakan salah satu inisiatif WRI Indonesia, kebetulan WRI Global merupakan pemrakarsa dari City for Forest juga,” jelas Robi.
Robi menjelaskan, WRI Indonesia yang melakukan pendampingan di Kota Denpasar bertanggung jawab terhadap beberapa hal. Seperti misalnya dalam pengelolaan tata cara ruangnya, termasuk di dalamnya bagaimana membuat perencanaan RTRW yang berdasarkan pendekatan berbasis alam. Pendampingan ini dilakukan bersama organisasi Kembali Berdaya yang diwakili I Gede Sughiarta. Menurut Robi, Kembali Berdaya telah memiliki dampak nyata dalam mengelola lahan terlantar yang dapat dijadikan RTH.
Ada beberapa jenis lahan yang tergolong RTH Publik di Kota Denpasar. Eka lestari, Fungsional Penata Ruang Ahli Muda Dinas PUPR Kota Denpasar mengungkapkan RTH Publik Kota Denpasar telah tertuang dalam Perda Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2021 Tentang RTRW Kota Denpasar. “RTH Publik yang tergambar di peta pola ruang seluas 199 ha (hektare) yang terdiri atas rimba kota, taman kota, pemakaman dan jalur hijau jalan,” jelas Eka.
Ada perbedaan luas RTH antara rencana peta pola ruang RTRW dan eksisting seperti data di atas. Dalam pola ruang lebih sedikit sekitar 50%.
Perda tersebut menyebutkan bahwa pengembangan RTH publik minimal 20 persen, sedangkan pengembangan RTH secara keseluruhan termasuk RTH privat yaitu 30 persen dari luas wilayah kota. Pengembangan ini harus sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya.
Sedangkan, jenis lahan berpotensi menurut Eka dapat dihitung sebagai RTH publik kota berdasarkan kesepakatan dan MOU seluas 1792,12 ha. Lahan berpotensi itu diantaranya RTH Tahura, Potensi RTH Kawasan Pangan Pertanian Berkelanjutan (KP2B) dan kawasan perlindungan setempat.
Menurut I Gede Sughiarta perwakilan dari Kembali Berdaya ada kekhawatiran tersendiri jika kawasan KP2B menjadi RTH Publik. “Sawah bisa jadi kawasan RTH publik, cuman masalahnya kalau jadi RTH publik kan dia bisa akses ke sawah. Nah yang punya lahan gimana, misal orang melayangan, keliling di sawah, foto-foto, mau terima nggak?” papar Gede.
Ia mencontohkan salah satu lokasi, yaitu Subak Teba Majalangu yang berlokasi di Kesiman Kertalangu. Gede mengamati, kawasan sawah tersebut telah menjadi lokasi wisata edukasi tentang subak. Permasalahan muncul saat masyarakat yang ingin membangun wantilan sebagai lokasi untuk edukasi, tidak diizinkan. Alasannya, karena lahan subak itu tergolong kawasan pertanian murni KP2B yang tidak boleh dibangun apapun.
Kekhawatiran lainnya, kawasan KP2B khususnya persawahan di Denpasar mengalami penurunan. Selama 5 tahun belakangan, Denpasar kehilangan 494 hektare lahan pertanian. Penurunan ini diakibatkan alih fungsi lahan yang amat pesat. “Kalau prosesnya (proses penerapan RTH ) masih lama, kalau alih fungsi hanya hitungan hari saja kan? Udah mulai berubah cepat sekali, apalagi di daerah sini,” jelas Sughiarta.
Butuh Sinergi

Pemenuhan RTH Publik di Kota Denpasar menurut Sughiarta membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Ia mencontohkan, dalam penetapan suatu lahan menjadi RTH publik, kewenangan memetakan lahan dimiliki Dinas PUPR. Sedangkan, kualitas RTH publik amat ditentukan oleh jenis pepohonan yang ditanam.
Namun pengelolaan RTH melibatkan banyak unit pemerintah dengan tupoksi masing-masing. “Saat dikonversi kelihatan rapat tapi sebenarnya sedikit tegakkan tanamannya,” ungkap Sughiarta. Ini kewenangan DLHK. Demikian juga pada lahan pertanian dengan kewenangan dinas pertanian menentukan jenis tanaman yang hidup di suatu lahan.
Sedangkan perawatan pohonnya, dilakukan unit lain, agar RTH lestari. Tak hanya memperhatikan jenis pohon yang ditanam, bagi Sughiarta amat penting menciptakan RTH privat di ruang-ruang aktivitas di pemukiman.
Gerakan yang dibangun Kembali Berdaya adalah salah satu contoh RTH privat di Denpasar. “Gerakan kami di Kebun Berdaya kami mengkonversi lahan kosong jadi kebun, dari lahan kosong yang gak tau pemiliknya siapa kami tanami tanaman pangan untuk kebutuhan sekitar,” ujar Sughiarta. Namun, lahan kosong itu harus disetujui terlebih dahulu oleh pemilik lahan. Sughiarta menyarankan agar desa adat bersangkutan menyusun pararem (aturan pelaksana setingkat desa adat-red) untuk melindungi masyarakat yang berinisiatif menghijaukan lahan tak terurus.
Selain pararem, perhatian pemerintah terhadap pemenuhan RTH adalah suatu keharusan. Bagi Sughiarta, kewenangan dinas terkait yang saling berkaitan bukanlah halangan tapi keunggulan untuk berkolaborasi. Pihak Pemerintah Kota Denpasar mengupayakan pemenuhan RTH salah satunya melalui MoU terhadap lahan yang berpotensi sebagai RTH.
“Pemerintah dalam menetapkan kawasan tertentu sebagai RTH publik jika lahan tersebut bukan merupakan lahan milik pemerintah, harus didasarkan atas MOU atau kesepakatan bahwa lahan tersebut tidak dialihfungsikan,” jelas Eka. Jangka waktu lahan tersebut agar tidak dialihfungsikan selama kurun waktu 20 tahun.
Bagi Robi, pada akhirnya pemenuhan RTH di Kota Denpasar tidak hanya sebatas pada ketetapan angka di regulasi. “Kalau 20 persen sebagai civil society itu ga penting, yang penting kenyataannya yang kita rasakan lingkungan kita. Setiap kita jalan kaki di trotoar teduh, ini kan hanya angka yang sebenarnya bisa dipenuhi minggu depan,” jelas Robi.
Lelaki yang turut bergabung dalam relawan Sungai Bahari ini menambahkan, keutamaan dari persoalan pemenuhan RTH di Kota Denpasar melalui aksi nyata menciptakan dan merawat RTH. Terpenuhinya RTH bagi Robi dapat ditelaah melalui dampak yang dihasilkan.
Ia mencontohkan, pendekatan berbasis alam yang diaplikasikan ke RTH, dikatakan berhasil apabila dapat mencapai tujuan. Salah satunya mampu memitigasi bencana seperti banjir, kekeringan, maupun tanah longsor. Robi mengusulkan melibatkan berbagai stakeholder dengan alur atas ke bawah maupun sebaliknya bawah ke atas.