Garam itu aneh. Letaknya di sisi kanan kiri lidah.
Beda dengan rasa manis yang bisa dirasakan hanya dari ujung lidah, rasa asin garam bisa dinikmati setelah makanan masuk ke dalam mulut. Yang lebih unik dari garam adalah ketepatan komposisinya saat digunakan.
Jumlah garam yang digunakan harus tepat. Jika berlebih maka dia jadi pahit jika kurang dia jadi hambar.
Garam tidak bisa disingkirkan dari daur hidup manusia. Bahkan tubuh kita sendiri menghasilkan garam. Tidak percaya? Coba cicipi keringat teman di sebelah yang lagi sibuk dengan ponselnya. Hanya karena tubuh menghasilkan garam bukan berarti kita bisa menambahkan keringat dalam masakan. Lagi pula harga garam tidak semahal kuota internet 1G.
Belakangan ini saya kena syndrome universal, dimana saya akan mengagungkan alam semesta lebih dari agung itu sendiri.
Garam merupakan produk pertanian pesisir. Material utamanya diambil dari air laut yang stoknya berlimpah. Apalagi di era pemanasan global seperti hari ini, air laut akan semakin banyak. Laut menjadi muara bagi semuanya. Bahkan unsur bumi dibawa melalui sungai untuk ditabung dilaut.
Unsur-unsur tanah yang larut dalam air yang keluar ke permukaan melalui mata air (dan sumur bor) mengalir melalui sungai, bercampur dengan unsur manusia (keringat, kencing, air mata) berkumpul di laut. Lalu dengan usaha petani, air laut ini dijemur (tanpa sunblock) di bawah matahari dan perlahan memadat menjadi kristal-kristal garam.
Hal itu membuat saya berpikir garam merupakan kristalisasi alam semesta.
Tetapi sayangnya garam sebagai kristalisasi alam semesta yang dibuat oleh para petani garam ini kemudian dihadapkan dengan garam beryodium. Menggunakan penyakit gondok sebagai kondisi akibat yang kekurangan yodium dan kondisi lain kekurangan yodium seperti retradasi mental membuat masyarakat beralih harus mengonsumsi garam beryodium. Siapa yang mau terkena penyakit gondok atau memiliki anak dengan retradasi mental.
Strategi menggunakan ketakutan publik untuk mengubah pola konsumsi memang selalu jitu. Apalagi jika ketakutan itu disuarakan oleh lembaga kesehatan, semakin maknyoslah itu. Padahal saya sendiri lupa apa di kampung saya ada yang menderita gondok. Padahal lokasinya bisa dibilang di gunung.
Kita tidak boleh curiga apalagi menuduh tenaga kesehatan dengan garam beryodiumnya sebagai biang keladi berkurangnya minat publik pada garam lokal. Mereka hanya bermaksud baik memberikan informasi mengenai penyakit gondok dan memasarkan produk garam beryodium.
Oh tidak saya salah. Tenaga kesehatan tidak memasarkan garam beryodium, tetapi memberi pencegahan kekurangan yodium, dan konsumsi garam yodium yang dibuat pabrik meningkat.
Saya akan singkirkan garam beryodium karena selain kebutuhan yodium tidak banyak-banyak amat hanya 150 mikro gram perhari dan banyak bahan makanan lain (selain garam pabrikan yang mengandung yodium) yang juga mengandung yodium seperti rumput laut, bayam, stroberi dan lain lain.
Menyingkir dari garam beryodium saya bertemu dengan nasehat dokter untuk mengurangi konsumsi yang asin-asin ketika menemukan tensi saya yang tinggi dan sumber asin yang utama adalah garam.
Desakan Pariwisata
Bagi Amed di Karangasem tidak dibutuhkan nasehat dokter untuk mengurangi garam. Bahkan tidak hanya konsumsi produksi garam Amed pun telah dikurangi secara drastis. Pengurangan ini akibat minat penduduk menjadi petani garam yang menurun serta bagaimana lahan bertani yang semakin berkurang akibat desakan pembangunan akomodasi wisata.
Amed menjadikan pesona alam terutama panorama bawah laut sebagai identitas wisata mereka dengan mengesampingkan tradisi penghidupan secara turun temurun menjadi petani garam. Sehingga ketika wisatawan semakin ramai, pembangunan akomodasi wisata semakin menggila maka profesi yang awalnya menjadi identitas mereka pun terhimpit.
Garam secara turun temurun merupakan komoditi yang dihasilkan di wilayah ini. Bahkan Raja Karangasem pun meminta upeti kepada penduduk Amed berupa garam.
Petani garam kini hanya 20 orang dari jumlah 200an orang lima tahun lalu. Dengan sebagian dari itu hanya merupakan petani penggarap yang lahannya dimiliki pihak lain yang kapan saja bisa dijual untuk memenuhi desakan kebutuhan akan uang atau rengekan anak yang minta kendaraan baru.
Kenyataan berkurangnya lahan pertanian (kepemilikan lahan) dan petani garam di Amed terjadi ketika garam Amed mendapatkan pengakuan indikasi geografis. Sebuah pengakuan garam Amed sebagai hak atas kekayaan intelektual. Pengakuan atas keunikan dan kekhasan produk garam Amed yang didasarkan pada letak geografis dan cara petaninya (faktor manusia) membuat garam Amed.
Pengakuan indikasi geografis garam Amed ini merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Amed khususnya serta warga Bali pada umumnya. Karena, satu lagi keunikan dan kekhasan budaya Bali diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang.
Sayangnya pengakuan ini didapat ketika petani garam dalam ancaman kepunahan. Bayangkan saja jika dalam lima tahun sekitar 180an orang beralih profesi dan hektaran lahan pertanian garam menghilang maka garam Amed tidak akan bertahan sampai 5 tahun.
Pengakuan keunikan dan kekhasan rasa garam Amed yang didapat dari sertifikat indikasi geografis ini hendaknya bisa dijadikan momentum bagi Amed membangun identitas Amed. Identitas yang selama ini tergantung dari panorama bawah laut dan bangkai kapal Jepang sangatlah riskan mengingat bagaimana perubahan kondisi alam yang bisa sewaktu-waktu merusak terumbu karang. Selain itu, semakin menggeliatnya wilayah-wilayah lain di Indonesia dengan panorama bawah laut yang lebih indah dari Amed bisa memebuat para turis meninggalkan desa ini.
Citra Baru
Sebelum hal itu terjadi Amed harus menyiapkan diri dengan membangun citra baru. Sebuah citra sebagai wilayah yang memiliki kebudayaan dan tradisi memproduksi garam khas dan unik dalam rasa.
Identitas baru ini bisa dibangun dari kesadaran penduduk Amed, kesadaran untuk mempromosikan garam mereka, menjaga originalitas garam mereka dan tidak melakukan pengoplosan hanya untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah dengan cepat. Semua garam yang dijual di Amed baik itu sebagi souvenir maupun sebagi konsumsi merupakan garam Amed.
Saat mereka tidak bangga dengan garam mereka sendiri dan masih melakukan pengoplosan garam, maka tanpa disadari mereka sedang melakukan pemusnahan kekayaan intelektual mereka sendiri.
Pembangunan kesadaran ini hendaknya tidak hanya diambil oleh petani garam. Mereka sudah kebingungan di antara lahan yang kian terjepit dan musim kian tidak menentu yang mengajaukan waktu bertani. Upaya membangun strategi pemasaran untuk bisa semakin menonjolkan keunikan dan kekhasannya harus dilakukan oleh desa adat.
Kenapa desa adat? Bukankah mereka sudah sibuk ddengan ritual dan upacara?
Desa adat adalah lembaga yang berpedoman pada tradisi budaya dan adat yang telah berlangsung secara turun temurun. Kenyataan jika tradisi di Amed tidak hanya seputar ritual keagamaan. Ada juga tradisi yang sudah diakui sebagai kekayaan intelektual, tradisi bertani garam.
Sungguh disayangkan jika desa adat hanya gigih menjaga tradisi ritual keagamaan tetapi lalai dan membiarkan garam Amed sebagai produk intelektual punah.
Kekuatan desa adat sebagai lembaga yang dipatuhi anggotanya tidak dapat disangsikan lagi. Kehebatan tersebut bisa dilihat dari bagaimana sebuah desa adat bisa menutup jalan nasional atau jalan protokol untuk pelaksanaan upacara ritual mereka. Lalu kenapa kekuatan ini tidak dipakai untuk menata pembangunan akomodasi pariwisata di wilayah Amed?
Aturan itu misalnya hotel atau vila wajib menyediakan beberapa persen lahannya sebagai areal bertani garam. Atau mengatur bagaimana setiap restoran dan hotel harus menggunakan produk garam Amed. Atau bahkan menggunakan laba pura (tanah milik pura) tertentu yang dekat pantai sebagai areal pertanian garam.
Menjadikan pertanian garam sebagai identitas baru dalam promosi wisata juga hendaknya harus dilakukan. Pilihan Bali sebagai pulau yang hanya bergantung pada industri pariwisata hendaknya juga dimanfaatkan. Desa Tenganan Pegeringsingan dan Panglipuran berhasil melakukannya. Mereka menjadikan adat istiadat dan budaya mereka sebagai meteri utama promosi wisata, yang membuat tradisi mereka tetap terjaga.
Dana Desa
Peran inilah yang harus diambil oleh desa dinas, sebagai lembaga pemerintah. Petani garam dan warga Amed juga harus mulai mengakses dana desa. Hal ini penting sehingga dana tersebut tidak habis hanya terfokus untuk pembangunan infrastruktur yang akan hancur dan setiap tahun diperbaharui.
Dana desa ini selayaknya digunakan untuk meningkatkan geliat perekonomian di desa. Geliat perekonomian ini bisa dilakukan dengan mendorong peningkatan produksi dan pemasaran produk desa dalam hal ini garam Amed. Peningkatan geliat perekonomian dan perlindungan kekayaan intelektual secara bersamaan.
Penyelamatan garam Amed harus dilakukan dengan menjadikan garam Amed identitas masyarakat Amed. Juga dengan membuat garam ini menjadi memiliki nilai ekonomi yang membuat para karyawan vila dan hotel kembali mengisi paling-palung pohon kelapa dengan air laut. Juga membuat pemuda pemudi Amed yang sedang keluar desa lalu berkenalan dengan lawan jenis atau bertemu calon mertua bangga menjawab pertanyaan standar “Dari mana asalnya?” dengan “dari Amed, desa penghasil garam yang khas”. Jawaban yang lebih gagah dari pada “dari Amed tempat bangkai kapal Jepang”.
Penyelamatan garam Amed tidak bisa hanya dilakukan dengan mengundang bupati dan gubernur untuk berfoto dan mengabaikan peran adat untuk melindungi kekayaan intelektual mereka. Karena seperti biasa pejabat bupati dan gubernur hanya akan “nyongkokin tain kebo”.
Tekanan baru juga akan muncul jika rencana pemerintah provinsi untuk membangun pelabuhan barang di Amed untuk mengurangi beban Pelabuhan Padang Bai. Jika rencana ini terealisasi pilihan lapangan kerja yang menjanjikan uang cepat akan semakin banyak sehingga pilihan menjadi petani garam Amed mungkin tidak lagi terlintas di kepala.
Garam Amed sebagai kekayaan intelektual Amed bernilai ekonomis sedang bertarung dengan waktu yang membawa laju pembangunan akomodasi industri wisata dan juga rencana pembangunan pelabuhan barang di Teluk Jemeluk, Amed.
Peduduk Bali di luar Amed pun sebenarnya punya kewajiban sama untuk menjaga garam Amed tetap ada, seperti menjaga ogoh-ogoh yang usianya jauh lebih muda dari garam Amed. Mulai menggunakan garam Amed atau pergi keAmed tidak hanya untuk piknik melihat bangkai kapal, tetapi pergi untuk melihat tradisi pertanian garam seperti kebanyakan berbondong-bondong ke Tenganan di saat acara Mageret, atau pergi ke Ubud untuk menikmati sawah sambil makan ayam betutu sambil selfie dengan hastag jaen idup di Bali (enak hidup di Bali). Hidup di Bali tidak bakalan enak tanpa garam.
Pernah dengar pepatah sayur tanpa garam untuk menunjukkan rasa hambar. Seperti itlah juga yang terjadi jika garam Amed punah. Amed tanpa garam, HAMBAR.. Wilayah tanpa identitas. [b]