Teks Eka Prasetya, Foto Luh De Suriyani
Tim medis di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, akan menjajagi metode baru dalam pemberian vaksin anti rabies (VAR). Metode ini diyakini mampu menekan biaya pembelian VAR hingga 50 persen.
Metode yang kini tengah dilirik oleh para tim medis di RS Sanglah adalah metode pemberian VAR dengan metode intradermal, atau vaksinasi di bawah jaringan kulit korban gigitan anjing. Sebelumnya, RS Sanglah hanya menggunakan metode intramuskular atau vaksinasi di jaringan otot penderita.
Menurut Sekretaris Tim Penanggulangan RS Sanglah, dr. IGB Ken Wirasandhi, MARS. metode intradermal ini merupakan hasil dari kunjungan kerja (kunker) yang telah dilakukan di India sekitar tiga pekan yang lalu. Selama ini, India memang dikenal dengan negara yang kasus gigitan anjing maupun rabiesnya masih cukup tinggi.
Di negara yang terletak di kawasan Asia Selatan itu, metode intradermal ini ternyata tergolong efektif dan efisien. Sehingga tim medis memutuskan untuk menggunakan metode yang serupa di Indonesia, khususnya Bali.
Dijelaskan oleh dr. Ken, selain India, metode intradermal ini juga telah diterapkan di Thailand dan Filipina. “Di tiga negara itu pola ini efektif untuk dilaksanakan. Karena ras antara warga Indonesia dengan warga ketiga negara itu sama, kami yakin di Indonesia juga akan berhasil,” ujar Ken yang ditemui di RS Sanglah, Sabtu (27/11) lalu.
Untuk memastikan keberhasilan metode intradermal ini, Rumah Sakit Sanglah bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud) akan melakukan pemantauan kepada para pasien yang menggunakan metode intradermal ini. Metode anyar ini efektif mulai diberlakukan di RS Sanglah, mulai Senin (29/11).
Khusus untuk metode intradermal, tim medis akan melakukan vaksinasi terhadap 20 orang karyawan RS Sanglah yang tidak memiliki riwayat gigitan anjing. Selain itu, tim medis juga akan melakukan vaksinasi dengan metode intramuskular terhadap 20 orang masyarakat yang menjadi korban gigitan anjing.
Nantinya kedua metode ini akan dibandingkan satu sama lain oleh tim peneliti dari FK Unud. “Kami akan pantau selama 28 hari kedepan para penerima VAR ini. Mana yang lebih bagus pembentukan anti-bodinya, apakah intradermal atau intramuskuler. Kami pantau secara intens di lab biomolekuler FK Unud,” papar dokter yang juga sempat melakukan kunker ke India beberapa waktu.
Lebih Efisien
Ken meyakini juga metode intradermal ini jauh lebih efisien daripada menggunakan metode intramuskular yang telah digunakan sejak dua tahun terakhir ini. Meski lebih sulit dilakukan, namun dosis yang digunakan untuk satu kali pemberian vaksin jauh lebih efisien ketimbang metode intramuskular.
Vaksinasi dengan menggunakan metode intradermal ini juga diberikan lebih intens daripada metode intramuskular. Jika metode intramuskular hanya diberikan sebanyak tiga kali kepada seorang korban gigitan anjing, maka metode intramuskular diberikan sebanyak empat kali terhadap seorang korban gigitan.
Selama ini metode intramuskular diberikan pada hari pertama, hari ketujuh, dan hari ke-21. Sementara metode intradermal diberikan pada hari pertama, hari ketiga, hari ke-14, dan hari ke-28.
Meski lebih intens diberikan, metode intradermal ini lebih efisien. Karena dalam sekali pemberian vaksin, korban gigitan anjing hanya diberikan sebanyak 0,2 cc. Artinya untuk empat kali vaksinasi (vaksinasi lengkap), tim medis hanya menghabiskan 0,8 cc VAR saja.
Sedangkan pada metode intramuskular, seorang korban gigitan anjing bisa menghabiskan hingga 4 cc atau 4 ampul VAR. Padahal satu ampul VAR harganya bisa mencapai Rp 150.000.
“Paling tidak pemerintah bisa menghemat pengeluaran untuk pembelian VAR hingga setengahnya. Alokasi dana untuk pembelian VAR masih bisa digunakan untuk kegiatan lain,” kata Ken.
Efek Samping
Meskipun lebih efisien, tim medis di RS Sanglah tidak menutup mata terhadap kemungkinan terjadinya efek samping dari pemberian VAR dengan metode intradermal ini. Namun efek samping yang timbul tidak terlalu ekstrim, dan hanya berkisar pada munculnya demam saja.
Efek samping yang timbul memang tidak seekstrim pemberian serum anti rabies (SAR). Pemberian SAR sendiri dapat menimbulkan alergi yang berkepanjangan bagi penerimanya.
Pemberian metode intradermal ini juga menuntut paramedis untuk mengetahui riwayat medis penerima VAR. Sebab, penerima VAR dengan metode intradermal ini tidak boleh mengkonsumsi obat untuk penyakit malaria, atau obat-obatan yang mengandung steroid.
“Kalau pasien yang akan diberikan mengkonsumsi obat-obatan itu, bisa timbul reaksi lain. Jadi hanya bisa diberikan dengan metode intramuskular saja,” kata Ken.
Pemberian vaksin dengan metode intramsukular ini juga berlaku apabila tim medis mengalami kesulitan dalam memberikan vaksin dengan metode intradermal. “Kalau sudah dua atau tiga kali gagal atau merasa sulit, langsung saja gunakan intramuskular,” tandasnya.
Untuk diketahui, vaksinasi dengan metode intradermal ini terbukti berjalan efektif di sejumlah negara di Benua Asia, seperti India, Filipina, dan Thailand. Khusus untuk India, vaksinasi dengan metode intradermal ini diberikan kepada warga yang memiliki resiko gigitan anjing cukup tinggi, seperti anak kecil, penggembala ternak, tukang pos, dan petugas atau peneliti di laboratorium. [b]