Pukul 6 pagi. Petugas kebersihan mulai berdatangan. Mereka lalu mebersihkan areal yang menjadi tanggung jawabnya. Beberapa kios yang menjual oleh-oleh khas Bali mulai bersiap menyambut pembeli.
Pagi itu suasana daerah tujuan wisata (DTW) Tanah Lot, Tabanan terlihat normal seperti hari-hari sebelumnya. Tanah Lot merupakan obyek wisata unggulan Kabupaten Tabanan sekaligus primadona pariwisata Pulau Bali.
Sektor pariwisata masih menjadi penggerak utama ekonomi Bali. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari hingga September 2011 jumlah wisatawan mancanegara mencapai 2.103.950 orang. Kunjungan wisatawan domestik rata-rata 47.000 orang per bulan. Tingginya angka kunjungan wisatawan memberikan peluang dan tantangan tersendiri bagi pengelolaan objek-objek wisata yang ada di Bali.
Objek wisata dituntut bisa memberikan rasa nyaman dan aman bagi wisatawan tanpa mengesampingkan kepentingan penduduk lokal. Begitu pula seharusnya dengan Tanah Lot. Namun, tempat wisata tersohor ini sedang mengalami konflik.
Konflik bermula dari sistem pengelolaan Tanah Lot. Sistem ini memengaruhi sistem bagi hasil atas pendapatan daerah tujuan wisata (DTW) Tanah Lot. Hal yang juga pernah terjadi pada 1999 silam.
Selama ini DTW Tanah Lot dikelola tiga pihak, yaitu Pemerintah Kabupaten (Pemda) Tabanan, Desa Adat Beraban, dan pihak swasta yaitu CV Ari Jasa Wisata. Kontrak pengelolaan ketiga pihak tersebut berlaku pada 1 Juli 2000 hingga 19 April 2011. Hal ini sesuai Surat Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Objek Wisata Tanah Lot No:01/HK/2000 tertanggal 30 Juni 2000.
Negoisasi
Selama kontrak pengelolan tersebut warga Desa Beraban merasa kurang mendapatkan proporsi pembagian hasil yang pantas. Hal itu mendorong warga melakukan negoisasi sistem dan proporsi bagi hasil saat kontrak pengelolaan berakhir. Negoisasi diawali dengan aksi demo warga Beraban di kantor Bupati Tabanan pada awal April 2011.
Sejak berlangsung demo pertama kali pada April hingga saat ini, konflik pengelolaan DTW Tanah Lot sudah berlangsung selama delapan bulan. Dalam rentang waktu tersebut DPRD Kabupaten Tabanan membentuk panitia khusus (Pansus) Tanah Lot. Pansus Tanah Lot pada bulan Agustus 2011 bahkan sempat melakukan studi banding ke Candi Prambanan dan Candi Borobudur utuk mengetahui sistem pengelolaan kedua obyek wisata tersebut.
Setelah delapan bulan melalui proses negosiasi, konflik pengelolaan DTW Tanah Lot berujung kesepakatan bahwa DTW Tanah Lot hanya dikelola dua pihak yaitu Pemkab Tabanan dan Desa Adat Beraban.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam perjanjian kerja sama antara Pemkab Tabanan dan Desa Pakraman Beraban nomor 358/DPBRB/XI/2011 tentang Daya Tarik Wisata Tanah Lot. Dalam kesepakatan itu Pemkab Tabanan mendapat 60 persen penghasilan setelah dipotong biaya operasional dan Desa Pekraman Beraban Mendapat 40 persen.
Bagian 40 persen Desa Pekraman Beraban tersebut akan dibagi lagi dengan rincian; Desa Adat Beraban 24 persen, Pura Tanah Lot 7,5 persen, desa pakraman se-Kecamatan Kediri 4,5 persen, dan pura sekitar 4 persen. Kontrak kerjasama tersebut berlaku selama 15 tahun atau hingga tahun 2026.
I Made Suadi salah seorang warga Beraban menyatakan kurang puas dengan proporsi bagi hasil tersebut. Namun, dia menerima keputusan tersebut dengan catatan ada evaluasi selama perjalanan kontrak kerja sama. Suadi menambahkan, terkatung-katungnya penyelesaian konflik yang hampir satu tahun telah menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Misalnya, status dan nominal pendapatan selama konflik pengelolaan yang hampir setahun.
Apakah konflik selesai di situ? Tidak. Pada Kamis 24 November 2011 lalu sekitar 200 orang pemuda dan warga melakukan aksi demo penolakan SK Bupati no 1/BP/DTWTL/11/2011. SK ini menunjuk I Ketut Toya Adnyana, SP sebagai manajer operasional dan I Wayan Sudiana, SE sebagai wakil manajer operasional daerah tujuan wisata (DTW) Tanah Lot.
Sekitar 30 pemuda itu menemui bendesa adat beraban dr. I Wayan Arwata MM. Aksi berlanjut kekantor desa. Saat rapat bendesa adat dengan 15 kelian adat, pemuda yang berkumpul semakin ramai bergabung. Mereka menunggu di depan kantor desa sambil berdiskusi mengenai pengelolaan Tanah Lot.
Sampai pukul 10 malam warga dan pemuda masih menunggu bendesa adat menemui dan memberi penjelasan. Utusan pemuda, Ketua Karang Taruna Gapera I Made Putra Wijaya ikut dalam rapat bendesa untuk menyampaikan aspirasi pemuda yaitu menolak SK tersebut sebelum mekanisme penunjukan manajer operasinal jelas. Keputusan dikembalikan ke banjar-banjar.
Aksi massa berakhir setelah bendesa adat membacakan surat pernyataan penundaan SK bupati sampai ada keputusan rapat desa adat.
Transparansi
Secara mudah dapat kita lihat bahwa konflik yang terjadi disebabkan karena kurangnya transparansi dalam pengelolaan DTW Tanah Lot. Warga hanya mengetahui hasil/kebijakan yang diambil tanpa dilibatkan dalam proses. Warga Beraban hanya disosialisasikan hasil keputusan bagi hasil tanpa disertai alasan-alasan logis.
Padahal, mengetahui alasan sebuah kebijakan publik yang diambil merupakan hak warga. Hak akses warga terhadap informasi secara khusus diatur dalam Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Sesuai tujuan UU KIP pasal 3 huruf a salah satu tujuan UU KIP adalah menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
Setelah warga mengetahui alasan kebijakan publik yang diambil diharapkan warga dapat berpartisipasi dalam kebijakan tersebut guna mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Merujuk pada (Surat Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Objek Wisata Tanah Lot No:01/HK/2000 tertanggal 30 Juni 2000) struktur Badan Pengelolaan DTW Tanah Lot sebagai berikut:
Adapun struktur operasional pengelolaan seperti di bawah ini.
Namun, sampai tulisan ini dibuat, warga yang saya temui mengakui tidak mengetahui bagaimana struktur badan pengelolaan dan struktur operasional sesuai dengan surat perjanjian baru. Tetapi, sudah keluar SK penunjukan Manajer operasional yang baru. Tentu saja Warga Beraban merasa “kecolongan”.
Warga Beraban bisa memanfaatkan momentum konflik ini untuk mendorong transparansi dalam mekanisme dan sistem pengelolaan Tanah Lot. Sehingga ke depannya, tidak terulang konflik seperti saat ini dan tahun 1999 lalu. UU KIP bisa menjadi amunisi perlawanan warga untuk memperoleh haknya.
Info lebih lengkap tentang UU KIP bisa diakses di Sloka Institute. [b]
Semoga jalan terbaik datang dari segala penjuru dan Tanah Lot tetap aman dan Lestari
Pura tanah lot, adalah bagian dari struktur sosial, ekonomi, budaya dan spiritual Tabanan. Menurut saya mengurai “konflik” tanah lot, harus dimulai dari pemahaman struktur dari hulu ke hilir. Tanah lot adalah simbul kehidupan bersama Rakyat Tabanan, Bali dan seterusnya. “Sikut (Angga)” Tabanan harus kita pahami kembali.
Bukan karena mereka tak mengerti struktur, sejarah dan fungsi religius dari Tanah Lot. Bukankah struktur, sejarah dan fungsi religius itu hanyalah bentukan kultural yang berarti bisa dengan mudah dicarikan pembenaran oleh masing-masing kelompok??.
Konflik ini semata-mata hanyalah persoalan perebutan lahan ekonomi. Tidak lebih. Konflik ini bersumber dari nafsu terendah manusia yakni keinginan mereguk kenikmatan duniawi yang dipenuhi dari konsumsi benda-benda material. Itu berarti, konflik ini hanya akan tuntas, jika semua pihak yang merasa dirinya pantas terlibat, mengatasi nafsu-nafsu terendah yang kini menguasai mereka.
+_+ struktur apa itu? *kejang-kejang*