Matahari di Bali masih menyapa hangat. Suara burung masih santun terdengar.
Namun, tiba-tiba perasaan geli menghampiri saya. Perasaan ini tidak biasa. Perasaan ingin menghindar, malas berjumpa, bahkan merasa asing.
Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang begitu lain ketika melihat dua orang “bule” melintasi jalan di depan rumah saya. Perasaan ini datang tiba-tiba dan membuat nyeri di dada.
Apa dua “bule” ini pernah membuat saya terluka, sakit hati, atau membuat rasa tidak nyaman? Tidak. Semua itu tidak dilakukannya. Namun, saya sendiri tidak bisa berpaling dari rasa nyeri yang saya rasakan.
Gambaran peristiwa pembunuhan polisi akibat “bule” Amokrane. Warga Bali yang dianiaya “bule” sebab dilarang kencing di sekitar kawasan suci, tiba-tiba melintas.
Bayangan ini semakin nyata ketika gambaran peristiwa pembunuhan polisi di daerah Kuta dengan sadis yang dilakukan pasangan kekasih “bule” akibat mabuk berat membuat nyeri ini semakin tak memandang tuannya.
Apapun motif di baliknya, entahlah.
Saya hanya merasa “bule” ini membuat saya tidak nyaman. Perasaan ini mungkin sedang melanda warga Bali kebanyakan.
Angin Segar
Gaung pariwisata yang mendunia, membuat Bali dipenuhi “bule”. Tidak ada yang bisa menolak kedatangannya. Sebab tidak dimungkiri bahwa Bali hidup dari pariwisatanya. Kedatangan “bule” membawa angin segar bagi perekonomian Bali dan semakin membuat Bali melambung tinggi.
Label internasional yang banyak diburu menjadi fokus pengembangan pariwisata. Melulu soal internasional, perasaan nyeri rakyat kecil kerap menjadi persoalan individu yang cenderung terabaikan.
Kini, seakan Bali mendapat perlakuan yang tidak adil. Kenyamanan warga Bali dipertaruhkan atas risiko membludaknya tamu “bule”. Pariwisata yang demikian hebat di Bali menjadi pisau bermata dua.
Kadang juga, perasaan warga lokal harus direndahkan untuk membuat rasa nyaman bagi “bule” yang banyak maunya.
Zaman dulu, saudara saya yang menjadi guide selalu menawarkan cerita bangga atas kedatangan tamu “bule” ke Bali. Bali dikenal seantero dunia. Bali berharap tamu-tamu asing kian gencar dan tak melepaskan Bali sekejap pun.
Bali dipamerkan dengan budaya, adat, ritual, bahkan taksu Bali. Semuanya kini bisa dinikmati dengan mudah asal ada iming-iming komisi. Banyak “bule” sudah pandai megambel, nyuling, menarikan janger, kecak, bersembahyang ke pura, diperciki tirta, melukat, mengenakan bija, yang dulunya begitu sakral dan hanya dilakukan orang Bali.
Tak masalah, ini hanya soal keyakinan. Namun, apakah dengan begitu bebasnya Bali dipamerkan begini, semua hal yang Bali miliki harus ditelanjangi? Inilah nyata yang kadang membutakan mata. Banyak orang ingin menelanjangi Bali dengan alasan agar makin menginternasional dan menjadi satu-satunya destinasi surga.
Surga bagi siapa? Surga bagi “bule” yang banyak meludahi orang lokal? Saya tidak percaya Bali menjadi surga, jika warganya sendiri yang di dalamnya belum bahagia di tengah surga yang banyak digemborkan.
Berulah
Wisatawan asing asal Rusia berulah di Bali. Bule ini dilaporkan telah telah memukuli dan mencekik seorang warga lokal di Jalan Uluwatu, Jimbaran, Kuta Selatan. Berdasarkan informasi yang dihimpun Radar Bali (JPNN Group/fajar), Malyshev tiba-tiba mengamuk tanpa control dan memukuli korban secara tiba-tiba.
Cerita lainnya yang dihimpun Merdeka.com, sekitar pukul 20.50 WITA di Restaurant Apakabar, Jalan Batubolong No. 74, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Badung melakukan aksi pemukulan dan ancaman akan dibunuh terhadap warga lokal Bali, I Wayan Mudipa (35) yang disinyalir “bule” tersebut dalam kondisi mabuk berat.
Kasus terakhir yang menyita perhatian warga Bali yaitu pembunuhan polisi Wayan Sudarsa di pantai Kuta yang dilakukan oleh pasangan kekasih “bule” yang diduga mengalami mabuk berat. Saya turut berduka atas segala yang menimpa para aparat dan warga lokal Bali.
Pemerhati pariwisata dan pemerintah, lihatlah. Apakah anda merasa nyaman melihat warga anda dikeroyok atau melihat aparat hanya mati sia-sia demi “bule” pembuat onar?
Berhentilah mendewakan bule. Berhenti memuja dolar. Banyak hal yang secara tidak disadari membuat Bali merasa nyaman dalam ancaman atas kondisi “bule” yang begitu bebas ini.
Saya bukan antipati terhadap “bule”. Banyak hal, dari segi pemikiran dan motivasi hidup yang bermakna dari “bule”, namun tidak semuanya bisa dengan bebas didewakan.
Pariwisata Bali harus punya filter ketat untuk membuat Bali tetap ajeg dan merawat Bali bukan hanya untuk dipertontonkan, melainkan lebih pada membuat hunian yang nyaman ditinggali warga lokalnya.
Jika budaya, ritual, adat, telah begitu bebas dipamerkan, apa jaminan suatu masa yang panjang Bali masih menarik untuk dinikmati. Kecuali, taksu, Bali tak memiliki apa-apa lagi. [b]