Berita agamawan mendukung rencana reklamasi Teluk Benoa membuat saya marah.
Para agamawan ini mengaku dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Sesaat kemudian muncul sanggahan bahwa itu klaim personal bukan dari organisasi PHDI.
Saya sebagai rakyat yang resah terhadap rencana proyek merusak masa depan Bali itu tentu saja kecewa luar biasa. Jujur saja, saya marah dengan pernyataan agamawan pendukung pulau buatan itu di media.
Meskipun ada sanggahan dari orang-orang di dalam organisasi Hindu bentukan negara itu, tidak kemudian bisa melegakan hati saya. Para rakus bergerak kencang ingin menggolkan niatnya, sedangkan PHDI masih lambat sebab belum menemukan kesepakatan bulat sampai saat ini.
Kelambatan menentukan keputusan ini serasa menghina perjuangan rakyat, yang sudah berjuang tiga tahun mengeluarkan energinya untuk aksi di jalanan, meramaikan suara penolakan di sosial media, menggelorakan perlawanan dalam arena konser dan lewat baliho tolak reklamasi.
Sikap elite-elite agamawan yang sibuk berdiskusi di ruang ber-AC sambil membuka-buka lontar dan pustaka agama untuk menentukan apakah proyek ini merusak kesakralan atau tidak, bahkan belum menemukan kesepakatan bulat tentangnya, semakin menegaskan mereka terlalu berada di atas. Tak menginjak bumi. Akibatnya, mereka lambat bersikap menyelamatkan ibu bumi dari cengkaraman para rakus.
Kelambatan ini serasa melecehkan nalar dan pengetahuan rakyat sebagai dasar rakyat bergerak.
Mereka orang-orang suci ini mungkin tak tahu atau tak menangkap makna kesakralan yang diperjuangkan rakyat penolak reklamasi Teluk Benoa. Tak sedikit rakyat yang berjuang menggunakan alasan kesakralan sebagai dasar berpijak menolak proyek ini sebelum PHDI mendiskusikannya. Statemen Teluk Benoa sebagai wilayah sakral berkelindan dengan alasan ilmiah. Dua perspektif ini bercampur baur dalam benak masyrakat.
Tak sedikit celetukan massa muncul seperti menguruk lautan bisa dikutuk para penunggu. Atau kualat bagi yang nekat bersamaan dengan dalil-dalil ilmiah dari hasil penelitian Conservation International yang menyatakan kehadiran pulau buatan bisa merusak kehidupan laut, menyebabkan abrasi serta banjir rob.
Di sini kita bisa melihat kualitas gerakan ini bisa menyatukan yang sakral dan ilmiah untuk bisa bertemu, bukan saling meniadakan.
Konsepsi kesakralan rakyat penolak tak sepenuhnya bersumber dari lontar-lontar namun dari tutur orang tua mereka, atau tutur kakek-nenek mereka yang selalu mengajarkan alam itu memiliki penunggu, entah itu diterjemahkan roh, betara, butha kala, wong gamang, penunggu karang, maupun dewa-dewi.
Tutur-tutur para buyut ini mengajarkan bahwa alam semesta harus dihormati. Jika kita tak hormat akan terjadi petaka karena para penunggunya bisa marah. Sesederhana itu.
Tak perlu buka-buka lontar, sebab sangat logis karena petakanya dapat dirasakan oleh manusia ketika tebing-tebing diubah jadih hotel, sawah berubah jadi villa mewah, ketika hutan ditebang menjadi tembok beton menjulang. Dan banyak yang yakin, petaka lingkungan yang mereka hadapi hari ini bersumber dari marahnya penunggu alam sebab logikanya jika alamnya dirusak maka para penunggunya tentu tak tinggal diam.
PHDI adalah organisasi produk negara modern Indonesia yang kehadirannya masih sangat muda. Bahkan bocah jika dibandingkan dengan tutur-tutur para buyut kepada kita tentang apa sakral dan tidak sakral, apa layak dan tidak layak dalam ranah keyakinan.
Mari kita berpikir terburuk seandainya keputusan PHDI bulat menyatakan reklamasi Teluk Benoa tak merusak kesakaralan wilayah teluk itu, apakah serta merta perspektif rakyat berjuang dengan tulus menjaga kesakralan teluk benoa kemudian salah? Apa hak PHDI menentukan keyakinan umat tentang kesakralan? Kenapa harus diseragamkan makna keyakinan rakyat?
Seandainya ada petikan-petikan lontar digunakan sebagai dalih mengesahkan pengurukan lautan oleh investor apakah itu berarti keputusan orang suci ini menjadi sahih? Jika itu terjadi, apakah keputusan rakyat bergerak yang bersumber dari pengalaman mereka sendiri sebagi korban pembangunan, pengetahuan dari litertatur yang mereka baca, dan terinspirasi dari tutur-tutur para buyut dengan sendirinya tak sahih?
Bagi saya, apa yang kita perjuangkan melawan para rakus dengan keyakinan bahwa proyek itu merusak alam dengan prediksi-prediksi ilmiah kita ataupun dengan keyakinan bahwa penunggu teluk benoa bisa marah adalah sahih. Tak ada yang bisa mendikte keyakinan kita.
Seandainya PHDI menolak reklamasi secara bulat, jujur saya akan senang sebab kekuatan kita bertambah. Namun sulit diterima lapang dada keterlambatannya. Seperti menonton sosok polisi di film india, suasana sudah tegang kacau balau baru turun tangan sebagai sosok penyelamat.
Yup mereka adalah kelompok elite. Barangkali mereka tipikal elite yang selalu mau tergerak ketika sudah banyak yang bergerak. Tak sedikit kisah dalam gerakan perjuangan rakyat, elite turun tangan ketika ada banyak korban dan situasi betul-betul hancur. Itu pun dengan catatan kalau sudah ada buanyaaak orang turun ke jalan.
Para elite itu turun tangan karena tak mau dimusuhi masa, bukan total ingin menjadi penyelamat. Ya, elite kadang hipokrit. Bahasa balinya lipi gadang, dalam bahasa indonesia artinya ular hijau. Lihai menyamar, selalu samar, yang konsisten hanya hasrat laparnya saja dan hasrat menjaga posisi dirinya dari ancaman.
Untuk menenangkan kegusaran, saya merenung agar tak terlalu terkejut. Sebenarnya kerja sama agamawan dan pengusaha sudah berlangsung dalam praktek hidup kita sehari-hari. Lihat ritual-ritual yang dipimpin orang-orang suci itu di saat peresmian hotel atau villa.
Mereka tak peduli sama sekali dampak lingkungannya, tetap saja menggelar doa agar hotel mewah, vila wah, dan tempat pelesiran serba gemerlap yang berdiri di atas penggusuran sawah, penebangan hutan, dan memporakporandakan tebing-tebing itu berjalan dengan selamat. Doa-doa dan ritual sudah menjadi komoditas, dan sepertinya bisnis yang sangat menggiurkan.
Lihat saja rumah orang-orang suci ini, mentereng, dan aksesorisnya serba kinclong di saat persawahan semakin musnah.
Mari jangan terlalu terkejut jika mereka lambat menangkap tanda-tanda zaman, terlambat memberikan bantuan, atau berselingkuh dengan para korporat keparat. Ada atau tidaknya restu orang-orang suci ini, perlawanan tulus rakyat tetap jalan, sudah terbukti membesar tanpa bantuan mereka. Kalau mereka mendukung ya syukur kekuatan kita jadi bertambah, kalau endak ya maju terus pantang mundur. [b]