Teks Luh De Suriyani, Foto Wayan Martino
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) wajib mendapat jaminan kesehatan. Namun, hingga kini masih ada yang tak mendapatkan haknya setelah peralihan jaminan daerah ke nasional. Kenapa?
I Kadek Awan, 39 tahun, dari kecil sampai dewasa nyaris selalu tinggal di rumah. Ia tercatat sebagai penduduk Kabupaten Gianyar, tetapi tinggal merantau dan hidup berpindah-pindah di Kota Denpasar, mengikuti keluarganya.
Pernah sesekali, ia keluar rumah tapi kemudian dilaporkan hilang karena Awan tak ingat jalan pulang. Ia mengalami skizofrenia.
Ibu Awan, Ni Wayan Kerti, 50 tahun, beberapa kali tergopoh-gopoh mencari bantuan ketika anak laki-laki terakhirnya itu hilang. Penjual sayur yang biasa disebut Bu Buncing ini menyayangi Awan sampai-sampai mengunci anaknya di dalam rumah.
Keluarga ini hidup dalam pondokan. Bahannya dirakit dari sampah seperti potongan kayu dan spanduk. Sang Bapak I Made Kacir, 60 tahun, bekerja sebagai pemulung. Bersama istrinya, mereka bahu membahu merawat dan menghidupi Awan.
Selama beberapa bulan ini Awan sudah bisa ditinggal orangtuanya bekerja tanpa dikunci. Salah satunya karena sudah mendapat obat dan perawatan di rumah oleh petugas puskesmas, menggunakan akses Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali karena memiliki kartu tanda penduduk (KTP sebagai warga Provinsi Bali.
“Sube dadi ajak ngorte (Sudah bisa diajak ngomong, red),” ujar Kerti dalam bahasa Bali.
Dokter Spesialis Kejiwaan Gusti Rai Putra Wiguna dan perawat Puskesmas Denpasar Utara 3 Komang Parwati beberapa kali berkunjung ke gubuk Awan di lahan milik orang lain, sesama warga Gianyar. Awan tidak bisa datang ke puskesmas karena orangtuanya tak punya kendaraan. Perawatan di rumah adalah salah satu siasat.
Ketika tenggat integrasi JKBM ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) habis akhir tahun 2016 lalu, pelayanan kesehatan sempat terhenti. Keluarga Awan tidak mampu mendaftar dan membayar iuran JKN secara mandiri. Sampai akhir Juni lalu, ia belum mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN.
KIS adalah tanda kepesertaan JKN, diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk seluruh peserta jaminan kesehatan termasuk PBI.
Kepesertaan KIS ada dua kelompok. Pertama, masyarakat yang wajib mendaftar dan membayar iuran, baik membayar sendiri, ataupun berkontribusi bersama pemberi kerjanya. Kedua, masyarakat miskin dan tidak mampu yang didaftarkan pemerintah dan iurannya ditanggung negara.
Tak Bisa Berobat
PBI adalah skema bantuan premi JKN bagi warga miskin dan difabel. Ada PBI dari pemerintah pusat menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Kacir mengatakan beberapa orang telah meminta KTP dan kartu keluarga (KK) untuk pendaftaran sebagai penerima JKN. “Tapi belum dikasih kartunya sampai sekarang,” kata Kacir.
Ia tak tahu jika sekarang sudah tak bisa berobat gratis dengan membawa KTP saja, seperti saat JKBM masih ada. Kacir juga tak paham soal JKN dan bagaimana mendaftarkan diri mendapat KIS. Apalagi keluarga ini tinggal di Denpasar, sementara administasi kependudukan masih terdaftar di Gianyar, kampung halaman mereka.
Mereka jarang pulang kampung berjarak sekitar 50 km dari Denpasar itu karena tidak punya kendaraan dan biaya. Terakhir mereka pulang karena ada saudara meninggal dan mengikuti prosesi ritual pemakaman ngaben.
Kacir pun tak tahu jika warga miskin dan difabel bisa mengakses layanan kesehatan gratis dari negara. Sehingga anaknya tak pernah mendapat pemeriksaan kesehatan menyeluruh selama puluhan tahun, sebaliknya dikurung dalam rumah.
Karena itulah, dokter Rai memilih untuk mengunjungi Robet di rumahnya sebagai bagian dari pengobatan.
Pertemuan Rai dengan keluarga Robet, panggilan akrab Awan karena bantuan seorang warga. Tetangga Robert itu berupaya mencari solusi agar pengobatan Robet tak terhenti. Rai yang akrab dengan sejumlah puskesmas di Denpasar minta ke petugas puskesmas datang mengobati Awan dengan pembiayaan gotong royong dari donatur Rumah Berdaya, komunitas pemberdayaan ODGJ di Denpasar.
Ia mendiagnosis Robet mengalami gangguan psikotik. “Seperti agresif dan kebingungan,” kata Rai.
Ketika pertamakali diobati dengan cara suntik, Robet terus menghindar. Dia lari mengelilingi rumahnya. Tim medis ikut berlari di tanah berlumpur pekarangan rumahnya yang sebagian berisi kotoran ternak.
Akhirnya Rai minta tolong orangtuanya merayu dan memegang erat agar jarum suntik bisa masuk ke pantat.
Pasien ODGJ harus mendapat pengobatan berkelanjutan dan pendampingan psikososial. ~ dr. Gusti Rai Putra Wiguna, SpKJ
Pasien ODGJ seperti Awan, menurutnya, harus mendapat pengobatan berkelanjutan dan pendampingan psikososial. Setelah diobati didorong melakukan kegiatan produktif agar komunikasinya membaik.
“Nah, JKN untuk pengidap ODGJ ini sangat penting agar proses pengobatan terus berjalan,” Rai menambahkan.
Rehabilitasi Sosial
Lebih dari enam bulan mendapat pengobatan, Robet berangsur membaik. Dia mulai bisa menjawab pertanyaan dengan satu dua kata. “Sube bisa nyawab ye jani, nyak nulungin bapakne mersihin rongsokan (Sudah bisa ngomong sekarang. Sudah ngerti dia, sudah bisa bantu bapaknya bersihkan rongsokan),” ujar Kerti, ibunya berseri-seri.
Sebelumnya Robet pasti dikunci saat bapak ibunya bekerja di luar rumah. Sekarang Robet bisa membukakan pintu untuk pengunjung pondokannya. Berat badan Robet pun melonjak.
Tantangan berikutnya adalah rehabilitasi sosial agar makin mudah berinteraksi dan bisa bekerja. Gangguan jiwa bisa diidap siapa saja.
Ada cerita berbeda dari I Ketut Angga Wijaya, 33 tahun. Pria lajang ini bekerja sebagai penulis dan terlibat dalam tim liputan BaleBengong ini. Tujuh tahun lalu ia baru didiagnosis skizofrenia.
“Gejala awalnya tak bisa tidur, halusinasi sering merasa dikejar-kejar seseorang,” ujarnya.
Dalam sehari Angga minum obat dua kali, pagi dan malam. Masing-masing satu jenis pil. Pengobatan awalnya ditanggung Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), lalu ia pindah tinggal ke Denpasar pada 2014. “Ketika itu Jembrana tidak ada psikiater, petugas RSJ Bangli datang ke RSUD Jembrana,” ingatnya.
Karena mahalnya harga obat, keluarganya mendaftarkan Angga sebagai peserta JKN mandiri. Sistem virtual account (VA) dan kewajiban membayar iuran JKN untuk seluruh anggota keluarga membuat pengobatannya terhenti. Ia mengaku tidak mampu lagi membayar iuran untuk empat anggota keluarganya, termasuk dirinya.
Saat mendengar JKBM sudah berakhir pada akhir Desember 2016, Angga memutuskan mengurus Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sebagai pasien disabilitas mental berat, ia memang berhak mendapatkan kartu itu. Angga beruntung, KIS-nya selesai dalam waktu sebulan. “Ada warga yang meninggal, lalu kuotanya dialihkan ke saya,” jelasnya.
Saat masa transisi belum memiliki JKN, untunglah ia tergabung dalam Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bali dan Rumah Berdaya. Komunitas ini memberikan bantuan obat selama tiga bulan.
Belum Terakses
Suryani Institute for Mental Health (SIMH) adalah lembaga sosial yang mengobati dan mendampingi ODGJ di pelosok desa di sejumlah kabupaten di Bali sejak 2008. Fokusnya membebaskan ODGJ yang dipasung seperti diikat, dirantai, dan dikunci.
Cokorda Jaya Lesmana, pengurus SIMH dan psikiater mengatakan banyak sekali masalah dan tantangan untuk mendapat akses JKN bagi pengidap gangguan jiwa berat. Dari pemetaannya, administrasi kependudukan dan kedua, ketidaksiapan petugas di fasilitas kesehatan tahap pertama seperti puskesmas menjadi masalah. “Sebagian ODGJ belum punya KTP, entah keengganan keluarga atau perangkat desa untuk mengurus,” ujar Cok Jaya.
Sementara pendaftaran JKN syarat utamanya adalah pasien memiliki KK terbaru dan seluruh identitas seperti nama dan alamat harus sesuai secara dengan KTP.
Mereka menemukan fakta lain dari sejumlah wawancara dan observasi. Walau sudah punya identitas kependudukan, ODGJ belum tentu terdaftar di desa sebagai penerima bantuan JKN sebagai difabel atau warga miskin. Kalau pun sudah terdaftar, belum tentu dapat KIS sebagai syarat mengakses kesehatan gratis karena masalah ketidaksinkronan data atau belum diverifikasi Dinas Sosial.
Cok Jaya memaparkan masalah di pelayanan kesehatan bagi ODGJ yang sudah punya KIS. “Sejumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tidak bisa melayani dan tidak ada obat kalau ada ODGJ datang,” jelasnya.
Ini terkait sistem JKN berdasar kendali mutu dan biaya faskes. Obat yang tersedia di Faskes pertama yang harus dituju pasien JKN menurutnya biasanya obat kelas 3. Sementara di RSJ diberikan kelas 1.
Jika Faskes pertama seperti klinik atau puskesmas tak bisa melayani, pasien cenderung dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli. Risikonya, pasien kembali harus dirawat di di RSJ walau bisa dirawat di rumah. “Obat beda, gejala kembali muncul dan relapse (kambuh),” katanya.
Kekambuhan bisa dengan mengamuk atau depresi akut seperti upaya bunuh diri. Ini yang menakutkan keluarga.
Rehabilitasi Sosial
Garda depan yakni faskes pertama, menurut Cok Jaya kurang berfungsi dalam konteks pengobatan ODGJ. Peningkatan kapasitas tim medis dan paramedis menangani ODGJ dan perbedaan furmularium obat ini harus ditangani oleh para pihak pelaksana JKN.
Ia menyontohkan perhatian Bangladesh pada ODGJ. Dokter di tiap puskesmas dilatih selama enam bulan untuk menangani pengidap gangguan jiwa. Mereka mendapat ijazah untuk program nasional ini.
Menurutnya ODGJ yang sudah stabil harus dirawat berbasis rumah oleh keluarga. Makin banyak negara sudah mengurangi RSJ karena faskes dasar sudah bisa melayani pasien yang berobat. Sejak 2008 hingga Juni ini, data SIMH mencatat melayani 758 pasien ODGJ berat yang kini homecare.
“Model perawatan hospital based mahal. Di Bali, RSJ Bangli ditambah tempat tidurnya dari 200-an jadi 400-an,” ujar Cok Jaya.
Dokter ahli jiwa ini berharap pemerintah juga menganggarkan dana untuk pengobatan dan perawatan ODGJ berbasis rumah dan sentra rehabilitasi sosial sebagai pemberdayaan diri pasien.
Tiga staf petugas lapangan SIMH yang mendampingi pasien ODGJ berat di sejumlah desa juga menyebut ODGJ harus mendapat prioritas penerima bantuan iuran JKN. “Selain miskin, mereka mengidap gangguan jiwa berat,” kata Wayan Kusuma Adi yang bertugas di Kabupaten Karangasem.
Ada yang belum berhasil mendapat KTP dan KK, sehingga makin sulit mengakses kesehatan. Komang Gede menambahkan, jika SIMH sudah melakukan kerja sama dengan puskesmas, pasien tanpa JKN bisa dilayani tapi obatnya tidak ada. Akhirnya dirujuk ke RSJ. “Lebih dari 70 persen pasien bolak-balik RSJ,” ujarnya.
Ada tiga model pendampingan yang dilakukannya. Pertama bertemu langsung dengan pasien termasuk tak terjadwal. Kedua dengan jadwal di puskesmas. Terakhir memantau atau konsultasi lewat telpon.
Makin Banyak
Makin banyaknya ODGJ yang dirujuk ke RSJ Bangli membuat pemerintah bersiasat. Sebuah surat 17 April 2017 ditujukan ke walikota dan para bupati dari Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Bali tentang Penanganan ODGJ Telantar dan Berat.
Dalam surat edaran yang ditandatangani Cokorda Ngurah Pemayun ini, Sekretaris Daerah Bali, ini memerintahkan kepada pemerintah daerah kabupaten atau kota agar ODGJ yang belum memiliki NIK dibuatkan dengan koordinasi dengan Dinas Sosial dan Catatan Sipil. Ia pun meminta proses dilanjutkan pengurusan KIS sebagai penerima bantuan iuran agar biaya pelayanan di RS Jiwa Bali menjadi tanggungan BPJS Kesehatan.
Selain itu, kabupaten dan kota diminta membuat regulasi untuk menanggung ODGJ yang belum mendapat KIS lantaran JKBM akan terintegrasi dengan JKN sejak Januari 2017.
Menurut dr. Rai beberapa poin patut diapresiasi misalnya ODGJ atau disabilitas mental ditanggung PBI JKN. “Bulan Maret saya pernah protes ke akun Twitter Mensos karena 18 ODGJ telantar luar provinsi yang dirawat dipingpong ke Dukcapil dan Dinsos Kota untuk bikin JKN/KIS,” kata dr. Rai.
Walau di medsos tak dibalas, namun dalam tiga hari ada tim dari pusat ke Bali dan Dinsos Provinsi segera bisa urus dan keluar KIS-nya.
Karena masih banyaknya masalah terutama penanganan ODGJ, JKBM memperpanjang tanggungannya untuk ODGJ rawat inap tanpa JKN sampai Januari 2017, yang harusnya akhir 2016. “Per Februari harus ditanggung keluarga sendiri jika belum punya KIS,” ujar I Dewa Gede Basudewa, Wakil Direktur RSJ Bangli.
Problem muncul saat pasien mengalami hambatan saat mengurus JKN seperti tanpa KK valid atau sudah didaftarkan tapi kartu belum diterima. Pihaknya mengaku melakukan sosialisasi ini selama beberapa bulan sebelumnya agar keluarga pasien siap.
Dampak integrasi JKBM ke JKN menurut Basudewa berdampak pada penanganan ODGJ.
Terlihat ada banyak banner dan pengumuman di RSJ Bangli soal tak ditanggungnya biaya RSJ karena pengalihan JKBM ke JKN. Juga ada informasi bagaimana mengurus JKN melalui PBI atau mandiri alias bayar sendiri. RSJ mengaku menelpon keluarga pasien atau kirim surat untuk mengurus JKN.
Dampak integrasi JKBM ke JKN menurut Basudewa berdampak pada penanganan ODGJ. “Karakter pasien penyakit kronis, sembuhnya lama, dan distigma atau ditolak. Kalau bisa selamanya di RSJ tidak usah pulang,” ujar dokter yang sebelumnya tugas di RSJ Lawang, Jawa Timur ini.
Skema JKN mewajibkan RSJ menilai manajemen risiko agar pasien tak seolah “ngekos” di RSJ. “Kalau JKBM enak semua charge diklaim,” katanya. Sementara cakupan JKN terbatas, misalnya maksimum 180 hari rawat inap.
Persediaan obat di faskes pertama memang berbeda dengan RSJ. Tidak sedikit pasien yang sudah pulang mudah balik. Padahal RSJ harusnya hanya menangani gejala berat. Sementara jika gejala ringan seperti marah, sedih, jengkel cukup diobati di puskesmas. [b]
Comments 5