Puluhan ibu muda menyusui serentak di Renon akhir April lalu.
Bagi mereka maupun pasangannya, menyusui bersama tak sekadar memberikan asupan bergizi untuk bayi tapi sekaligus perlawanan terhadap mitos, tekanan keluarga, sekaligus pembohongan industri susu formula.
Pagi itu mereka melaksanakan kegiatan SEMBILAN, menyusui bersama di tempat publik untuk merayakan ulang tahun sembilan tahun Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Selama sembilan tahun, komunitas ini menjadi tempat bagi ibu-ibu menyusui untuk saling menguatkan ketika memilih jalan memberikan ASI untuk anaknya.
Kegiatan untuk kampanye ASI eksklusif ini dilakukan serentak pada akhir April lalu di 26 kota di 15 provinsi se-Indonesia. SEMBILAN dilaksanakan di ikon-ikon daerah untuk menonjolkan karakter wilayah. Di antaranya Museum Nasional Jakarta (Jakarta), Sam Poo Kong (Semarang), Halaman Istana Maimoon (Medan), Tugu Adipura (Bandar Lampung), Benteng Vredeburg (Yogyakarta), dan lainnya.
Acara menyusui serentak seperti ini sudah pernah dilakukan di beberapa negara antara lain Malaysia, Chili, Kolombia, Meksiko, Yunani dan banyak lagi. Namun di Indonesia, masih jarang dilakukan.
”Menyusui bayi bisa dilakukan di manapun dan kapan pun, yang terpenting adalah kenyamanan ibu dan memperhatikan etika setempat,” ungkap Mia Sutanto, Ketua AIMI lewat siaran pers.
Selain soal kenyamanan dan etika itu, ada pula isu lain, tekanan keluarga.
Dewa, salah satu suami yang mendampingi istrinya bercerita. Dia harus menjawab pertanyaan keluarga ketika Astari, memutuskan untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif untuk anak-anaknya.
“Saya ditanya mertua dan orang tua apa tidak punya uang untuk beli susu formula,” ingatnya. Menurutnya, orang tua dan mertuanya sudah terpengaruh iklan televisi yang memperlihatkan “kesaktian” susu formula (sufor) membuat anak-anak cerdas. Nyaris semua iklan sufor memperlihatkan anak-anak cerdas, pintar, bahkan jenius jika minum sufor.
Namun, Dewa dan Astari bergeming. Keduanya sudah membekali diri dengan pengetahuan sejak belum punya bayi.
“Saat ikut kelas laktasi saya ajak suami biar dia bisa jawab kalau ada yang ngasi sufor,” seru Astari.
Tantangan terberat menyusui eksklusif adalah pengaruh iklan-iklan sufor ini yang mendominasi televisi. Sementara menyusui di tempat umum di Bali sejauh ini belum pernah ada masalah. “Kedua anak saya pernah disusui di tempat umum,” lanjut Astari.
Toh, kampanye ini tetap tidak mudah. Mereka sempat ditolak ketika akan melaksanakan kegiatan.
IA Oka Yogi Utami, divisi advokasi AIMI Bali mengatakan ia ditolak pengelola Lapangan Puputan Badung Denpasar yang semula akan menjadi lokasi kegiatan SEMBILAN di Bali. “Alasannya itu masih kawasan suci, diminta pindah ke lapangan Bajra Sandhi,” tuturnya.
Beberapa ibu heran karena menyusui toh juga aktivitas yang suci bagi bayi dan anaknya.
Gek Ami, panggilan ibu muda ini dengan cepat mencari tempat pengganti karena sudah puluhan ibu mendaftar untuk turut serta. Jadilah Minggu pagi itu mereka menggelar tikar berisi aneka kudapan dan sesi foto saat menyusi serentak di depan monumen lapangan Bajra Sandhi yang beri izin.
Adisti, wakil ketua AIMI Bali, menyemangati para ibu dan bapak yang terlibat untuk tak canggung menyusui di tempat publik asalkan bayi dan ibunya merasa nyaman. “Produksi ASI akan meningkat jika nyaman. Ibu mendapat dukungan banyak pihak. Tenaga kesehatan dan pemerintah perlu dukung ibu menyusui agar berhasil meningkatkan gizi bayi,” gugahnya.
Dukungan suami sebagai pendamping menyusui melahirkan gerakan AyahASI. Demikian juga di Bali. Kholik Mawardi, pelaku wirausaha produk spa menyebut kegiatan utamanya sharing atau curcol. “Di sharing session para ayah cerita soal pengalamannya atau kendala istrinya menyusui,” tuturnya.
Biar makin seru, ada juga beragam kegiatan lucu sebagai bagian dari kampanye ASI eksklusif ini. Misalnya even AyahASI Run 1 km. Ayah dan anaknya lari bersama sekitar satu kilometer untuk menambah bonding atau kedekatan. Di media sosial kegiatan ini dirangkum dalam hestek #AyahASIonWeekend.
Saat para ibu menyusui, beberapa suami diberikan panggung untuk berkisah bagaimana pengalamannya mendampingi istri. Menurut data observasi AIMI Bali, sekitar 70 persen keberhasilan menyusui karena dukungan dari suami atau pasangan.
Andi bercerita ketika bingung dan gelagapan saat istri menyusui anak pertama. Apalagi saat produksi ASI tinggi dan sering bocor, merembes di pakaian. Menurutnya makan enak dan jalan-jalan bisa jadi mood booster untuk melancarkan ASI.
Upaya AIMI Bali untuk menggempur tekanan sufor tak hanya dengan kelas-kelas laktasi atau pendampingan ibu menyusui. Namun juga di kebijakan rumah sakit dan pemerintah. “Kami membuat MoU dengan rumah sakit agar tak lagi membuat kontrak kerja sama dengan perusahaan sufor dan menyediakan botol dot,” jelas Gek Ami.
Dua rumah sakit di Bali sudah menandatangani MoU ini yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Denpasar dan Kasih Ibu Kedonganan. Namun Kasih Ibu Kedonganan membatalkan sepihak. “Alasannya pergantian manajemen,” lanjutnya.
Kilas Balik
AIMI lahir pada 21 April 2007. Pada saat, anggota mailing-list AsiForBaby menggelar kopi darat. Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan hari lahirnya Kartini, sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia yang memperjuangkan hak-haknya. Sejalan dengan keinginan ibu-ibu menyusui yang ingin memperjuangkan hak mereka.
Salah satu pendiri AIMI Bali ketika didirikan pada 2013, dokter Oka Dharmawan menyebut penjualan sufor sangat marak. “Di beberapa negara untuk dapat susu formula susah sekali harus pakai resep dokter misalnya di Sidney, Australia toko ketat sekali menjual,” jelasnya.
Negara juga mendukung ibu sepenuhnya seperti memberikan konsultan untuk kemudahan pemberian ASI seperti memeras ASI untuk ibu bekerja.
Oka memaparkan kunci pemberian ASI eksklusif, ABC. Yakni Access, pemberian ASI harus sejak dini dalam waktu 24 jam saat lahir. Pemberiannya minimal 140 menit per 24 jam, lalu memperbanyak skin to skin contact ibu dan bayi.
Berikutnya, Breastmilk transfer yakni memperhatikan posisi pelekatan antara mulut bayi dan payudara, meningkatkan keterampilan laktasi, serta dukungan petugas kesehatan. “Pindah ke dokter lain yang lebih mendukung pemberian ASI, cari second opinion,” sergah Oka. Ia mengakui masih ada petugas kesehatan yang lebih merekomendasi susu formula.
Kunci ketiga adalah Comfort. Kenyamanan dan kesuksesan menyusui didapatkan dari dukungan keluarga, teman sebaya, suami, konselor, dan lainnya.
Kantor-kantor pemerintahan juga diminta menyediakan ruang laktasi atau nursing room, yang salah satunya berfungsi untuk memerah air susu ibu saat perempuan bekerja. Sejumlah perusahaan swasta dan bahkan pasar tradisional ada yang menyediakan akses ini.
ASI eksklusif di Bali salah satu terendah di Indonesia. Pada profil Kesehatan Provinsi Bali 2010 dan 2011, disebutkan pemberian ASI eksklusif pada bayi umur
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bali disebutkan diperlukan verifikasi terhadap lonjakan laporan puskesmas ke Dinas Kesehatan menjadi sekitar 60-70 persen pada tahun 2012.
Data Bappenas dalam Rancangan Program Jangka Panjang Kesehatan menyebut kesehatan ibu dan anak membaik namun belum signifikan dan kesenjangan masih cukup lebar. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih cukup tinggi. Disparitas masih lebar, persalinan di fasilitas kesehatan tertinggi berada di DIY (99 persen) dan terendah berada di Maluku (25,2 persen). Cakupan Imunisasi dasar lengkap tertinggi berada di DIY (83,1 persen) dan terendah berada di Papua (29,2 persen).
Permasalahan kekurangan gizi, terutama badan pendek (stunting) dan kurus dialami oleh 12,1 persen balita. Sementara ibu hamil di Indonesia juga mengalami anemia (37,1 persen).
Laporan Depkes menyebut capaian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Padahal ASI mengandung gizi tinggi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan bayi. Badan Kesehatan Dunia, WHO, merekomendasikan bayi mendapat ASI eksklusif selama enam bulan. Namun, disebutkan tidak semua perempuan mempunyai kesempatan untuk memberikan ASI ekslkusif kepada bayi mereka dikarenakan bekerja.
Ibu bekerja selama waktu kerja delapan jam. Ini berdampak ibu tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyusui anaknya. Keadaan tersebut diperparah dengan minimnya kesempatan untuk memerah ASI di tempat kerja, tidak tersedianya ruang ASI, serta kurangnya pengetahuan ibu bekerja tentang manajemen laktasi.
Berdasarkan survei BPS tahun 2013, Jumlah angkatan kerja wanita terus meningkat setiap tahunnya. Saat ini dari 114 juta jiwa (94 persen), 38 persen di antaranya adalah pekerja perempuan (43,3 juta jiwa) yang 25 juta di antaranya berada pada usia reproduktif (BPS, Februari 2013).
Secara fisiologis kelompok pekerja perempuan mengalami siklus haid, hamil dan menyusui yang memerlukan fasilitasi agar pekerjaan tidak terganggu dan kondisi fisik lainnya tidak mengurangi kinerja.
Oleh karena itu, kampanye ASI eksklusif di tempat kerja merupakan terobosan yang dapat meningkatkan cakupan ASI eksklusif nasional. Capaian ASI eksklusif di Indonesia belum mencapai angka yang diharapkan yaitu sebesar 80 persen. Berdasarkan laporan SDKI tahun 2012 pencapaian ASI eksklusif adalah 42 persen.
Adapun menurut laporan dari Dinas Kesehatan provinsi tahun 2013, cakupan pemberian ASI 0-6 bulan hanyalah 54,3 persen (Pusdatin, 2015). Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya pemberian ASI Eksklusif di Indonesia adalah belum semua tempat kerja menyediakan ruang ASI.
Demikian pidato Menteri Kesehatan RI yang dibacakan Direktur Bina Kesehatan Anak dr. Elizabeth Jane Soepardi, M.Epid saat membuka acara peringatan Pekan ASI Sedunia (PAS) 2015 di Jakarta (14/9). Pekan ASI sedunia dilaksanakan setiap tahun pada awal Agustus. Tema global Pekan ASI Sedunia tahun 2015 ini adalah Breastfeeding and Work, Lets make it work sedangkan tema nasional adalah Mari Dukung Menyusui di Tempat Kerja.
Guna mendukung kampanye ASI eksklusif di tempat kerja, dr. Jane menyebutkan peraturan yang mendukung yaitu: UU Kesehatan No. 39/2009 pasal 128, UU Ketenagakerjaan No. 13/2009 pasal 83, Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
Data dari International Labour Organization (ILO) Jakarta tahun 2015 menyebutkan, dari 142 perusahaan yang termasuk dalam daftar Better Work Indonesia (BWI), hanya 85 perusahaan yang memiliki ruang ASI.
Peraturan yang dibuat pemerintah belum terlaksana secara menyeluruh dan merata, sementara itu promosi susu formula dilakukan dengan sangat gencar. Jane menambahkan, faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan rendahnya pemberian ASI eksklusif di Indonesia ialah belum semua Rumah Sakit menerapkan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (LMKM), belum semua bayi memperoleh inisiasi menyusui dini (IMD) dan jumlah konselor menyusui sedikit.
Menyusui adalah hak ibu dan bayi, kecuali jika terjadi kondisi khusus karena alasan medis atau peristiwa yang membuat bayi tak mungkin mendapatkan dari ibunya. [b]