Oleh Yahya Anshori
Lokakarya nasional membahas rancangan peraturan daerah (Perda) HIV/AIDS telah digelar di Kuta Bali pada Mei 2006. Pertemuan ini melahirkan komitmen: Perda HIV/AIDS amat diperlukan untuk menekan tingginya jumlah kasus baru HIV/AIDS di setiap daerah. Di samping memiliki payung hukum yang kuat, implementasi program penanggulangan HIV/AIDS akan dapat diwujudkan karena ditunjang APBD. Namun, kesepakatan nasional yang muncul 15 bulan yang lalu tersebut belum dapat diwujudkan dengan semestinya.
Hanya sedikit daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota Madya) yang sudah berhasil menelorkan perda AIDS. Umumnya, draf rancangan Perda AIDS masih menjadi pembahasan yang alot di DPRD, atau justru masih kandas di biro hukum Pemda setempat. Bagaimana mengatasi kebuntuan pengembangan Perda AIDS ini? Haruskah penyusunan Perda AIDS membutuhkan biaya mahal?, Benarkah Perda AIDS dapat mendukung efektivitas penanggulangan AIDS di daerah?
StigmaPerda AIDS merupakan penjabaran dari deklarasi United Nation General Assembly Special Session on AIDS (UNGASS) yang difasilitasi PBB pada tahun 2001.
Tiga tahun selanjutnya pemerintah RI menindaklanjuti deklarasi UNGASS dalam bentuk kesepakatan sentani (Januari 2004). Di Bali, Kesepakatan Sentani telah dijabarkan menjadi Kesepakatan Sanur, yang ditandatangani oleh gubernur, bupati, wali
Kendati Perda AIDS memilii fungsi strategis, namun dalam proses penggodokannya di DPRD selalu mengundang pro kontra. Pengalaman beberapa kabupaten di
Alasan lain yang mengganjal proses pengesahan perda AIDS karena masih ada prioritas perda-perda lain, termasuk perda tentang perijinan, kependudukan, dan perda pembanguna desa. Karena berbagai alasan itulah, maka proses pengembangan perda AIDS masih menemui hambatan. Untuk itu, bisa dipahami jika baru beberapa daerah saja (Papua, Banten, Jatim, dan
Secara mendasar pro kontra Perda AIDS dan pembahasannya yang alot di DPRD terjadi juga akibat mitos dan stigma (cap buruk) yang menyelimuti persoalan HIV/AIDS. Cap buruk yang menyertai wabah AIDS telah menumbuhkan sikap dan perilaku diskriminasi yang memarginalkan berbagai kelompok sosial yang rentan tertular HIV di masyarakat, khususnya Odha dan keluarganya. Tindakan diskriminasi terhadap korban AIDS (Odha) ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang awam terhadap korban AIDS, tetapi juga oleh sebagian pemuka masyarakat, bahkan oleh petugas kesehatan sendiri – yang seharusnya berkewajiban melakukan tugas pengobatan.
Ada sekelompok masyarakat yang masih alergi terhadap korban AIDS, karena AIDS dikaitkan dengan persoalan moral dan kutukan.
Orang yang terinfeksi HIV juga tidak identik dengan kesalahannya. Ibu rumah tangga baik-baik di rumah, anak-anak tak berdosa, dan siapapun bisa terinfeksi HIV bukan karena kesalahannya. Sikap kontra sebagian anggota legislatif di daerah terhadap perda AIDS secara mendasar terkait dengan stigma dan mitos serta mispersepsi mereka terhadap penyakit yang terus menelan korban ini. Untuk itu, segala bentuk tindakan deskriminatif akibat stigma dan mispersepsi yang berkaitan dengan HIV/AIDS perlu direduksi dan diluruskan. Sikap rasional terhadap masalah AIDS dan perlakuan yang empati terhadap korbannya perlu dikembangkan.
Tak semua anggota legislatif dan eksekutif ”melek AIDS’. Sosialisasi dan advokasi di kalangan stakeholdres terkait perlu dilakukan secara intensif untuk menyamaan persepsi materi Perda AIDS. Sosialisasi dan menyamakan persepsi multipihak ini penting, disamping kesiapan tim ahli yang mendampingi proses pengembangan perda AIDS tersebut.
Tak Harus MahalMasalah lain yang mengganjal kelahiran perda akibat ketakutan akan biaya dalam prose penyusunan Perda AIDS. Proses perumusan Perda AIDS yang melibatkan berbagai ahli, serta kajian hukum, sosial budaya setempat tertentu membutuhkan energi yang tidak sedikit sehingga perda bisa dijadikan wahana untuk memperoleh materi (proyekisasi)?. Jika perda dipandang sebagai ”proyekisasi kebijakan”, pengembangan Perda AIDS bisa sangat mahal. Untuk pemproduk sebuat Perda, acapkali memerlukan banyak persidangan sehingga memakan biaya sampai lebih dari seperempat milyar (Rp. 250 juta). Ironisnya, perda yang alot pembahasannya di DPRD justru perda yang menyangkut kebutuhan rakyat, termasuk Perda AIDS. Lantas pemda setempat menundanya.
Tapi di Bali ”proyekisasi pengembagan Perda AIDS” bisa dihindari berkat adanya niat baik bersama antartaskehoders yang ada. Disamping mereview tata perundang-undangan yang telah ada sebagai pembanding penyusunan Perda AIDS, tim ahli KPA Provinsi Bali berupaya menjalin komunikasi yang intensif dengan pihak legislatif dan eksekutif – sehingga proses penyusunan dan pengesahan Perda Provinsi Bali No. 3/2006 tentang penanggulangan AIDS bisa dilakukan dalam waktu yang relatif cepat, tanpa persiapan anggaran secara khusus. Hanya dalam tempo 6 bulan Perda AIDS yang lahir dari pihak eksekutif tersebut bisa disahkan dalam masa sidang pertama DPRD Bali tahun 2006.
Di Bali, Perda No. 3/2006 berdampak positif bagi langkah penanggulangan AIDS. Disamping sebagai dasar indikator implementasi penanggulangan HIV/AIDS, stakeholders terkait bisa lebih ”didorong” untuk terlibat. Akselerasi pencegahan dan penanggulangan AIDS di daerah pariwisata yang melibatkan unsur masyarakat, tokoh agama, legislatif dan pemerintah daerah dapat digairahkan. Pihak pengelola bar, panti pihat, dan pengelola lokasi prostitusi (mucikari) bisa lebih didekati untuk membantu implementasi program kondom 100% misalnya. Begitu pula klinik, dokter praktik swasta menjadi lebih peduli terhadap persoalan HIV/AIDS. Berkat adanya Perda AIDS, sejumlah perusahaan yang mengirimkan tenaga keluar negeri turut membantu KPA untuk mendorong calon TKI mengikuti konseling dan tes HIV suka rela (VCT).
Perda AIDS mampu membangkitkan semangat kerjasama antarkomponen di masyarakat untuk bersinergi atasi AIDS. Kasus HIV dan AIDS di Indonesa sampai tahun 2007 telah menelan 200000 korban (hasil estimasi) bisa direduksi (
Yahya Anshori, Program Officer Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali
Sudah 34 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang menrbirkan Perda AIDS.
Hasilnya? NOL Besar. Mengapa? Ya, karena perda tidak mengatur pencegahan dengan fakta medis tapi dengan norma, moral dan agama.