Hari ini, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kembali diadakan.
Festival para penulis dan pembaca buku tiap tahun ini sudah diadakan 12 kalinya di Ubud, Gianyar. Namun, tahun ini dengan sejumlah pembatalan dan pertanyaan.
Seminggu menjelang pelaksanaan Ubud Writers & Readers Festival, panitia membatalkan rencana diskusi, menonton film, dan bedah buku terkait peristiwa 1965. Penyelenggara UWRF mengumumkan pembatalan tersebut melalui website resmi Jumat lalu. Sebagian isinya seperti di bawah ini.
“Pada hari ini, Jumat tanggal 23 Oktober 2015, dengan berat hati Ubud Writers & Readers Festival secara resmi mengumumkan beberapa sesi yang dibatalkan.
Tiga diskusi panel terkait Rekonsiliasi dan Pemulihan, pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer, dan pameran serta peluncuran buku The Act of Living tidak dapat dilaksanakan. Terkait satu dan lain hal, program-program tersebut terpaksa harus dibatalkan.”
Panitia tidak menyampaikan dengan jelas apa alasan pembatalan. Mereka hanya menyebut, “Terkait satu dan lain hal, program-program tersebut terpaksa harus dibatalkan.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut kenapa dan bagaimana cerita di balik pembatalan tersebut.
Jadi, bagaimana cerita sebenarnya?
I Wayan Juniarta, Manajer Program Indonesia UWRF, menceritakan. Tanda-tanda akan mulai ada pembatalan beberapa kegiatan sudah muncul sejak 8 Oktober lalu. Pihak kelurahan dan kepolisian sektor setempat mendatangi kantor UWRF di Ubud, Gianyar. Mereka menanyakan apakah benar akan ada program tentang 1965 di UWRF kali ini.
Tema UWRF tahun ini adalah 17.000 Pulau Kaya Imajinasi. Di dalamnya memang termasuk rencana beberapa program utama tentang rekonsiliasi dan pemulihan pasca-1965. Misalnya, pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer dan pameran serta peluncuran buku The Act of Living tentang ibu-ibu penyintas kekerasan 1965.
Pihak kelurahan dan polsek setempat, yang turut bertanggung jawab memberi rekomendasi izin pelaksanaan UWRF, lalu meminta agar penyelenggara fokus pada tujuan awal UWRF sebagai media promosi pariwisata. Tidak usah ada topik tentang komunisme, Partai Komunis Indonesia (PKI), ataupun peristiwa 1965.
“Jika masih ada diskusi-diskusi tentang 1965, mereka tidak akan memberikan rekomendasi untuk izin,” kata Juniarta.
Sejak 8 Oktober 2o15 itu, mulai ada diskusi intensif antara pihak kepolisian, kelurahan, tentara, dan penyelenggara. Menurut Juniarta, pihak kepolisian menggunakan dasar hukum Ketetapan MPRS No XXV tahun 1966. Tap MPRS yang disahkan pada 5 Juli 1966 ini tentang pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang, serta larangan kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
“Suka tidak suka, aturan itu memang masih ada dan berlaku,” ujar Juniarta.
Aturan tentang larangan diskusi ataupun kegiatan untuk menyebarkan faham komunisme itu dipakai dasar oleh polisi meskipun tidak disebutkan di atas kertas. Jun menambahkan, izin kegiatan memang harus dari Mabes Polri karena UWRF termasuk kegiatan berskala internasional.
Setelah mendapat imbauan pertama itu, Jun menghubungi Janet DeNeefe dan Ketut Suardana. Janet adalah inisiator dan direktur UWRF. Adapun Ketut adalah pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati, penyelenggara even tahunan UWRF. Karena keduanya masih di Jerman untuk hadir dalam Frankfurt Book Fair, mereka belum bisa mengambil keputusan.
Pada Kamis pekan lalu, penyelenggara UWRF mengadakan rapat koordinasi. Selain pihak yayasan, hadir pula Kapolsek Ubud, Lurah Ubud, dan Wakil Komandan Koramil (Wadanramil) Ubud. Selama rapat tersebut, pihak polisi kembali menegaskan imbauan mereka agar penyelenggara festival fokus pada tujuan festival, promosi pariwisata dan budaya.
“Diskusi tentang peristiwa 1965 dianggap tidak berhubungan dengan promosi pariwisata dan budaya sama sekali,” tambah Jun.
Sehari setelah rapat koordinasi di kantor UWRF di Ubud, penyelenggara UWRF kembali diundang rapat lagi di Mapolres Gianyar. Kali ini bersama para anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Fokorpimda) Kabupaten Gianyar. Hadir para pimpinan daerah antara lain Kapolres Gianyar, Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar, dan Kepala Pengadilan Negeri.
Dalam rapat itu, menurut Jun, pihak kepolisian menegaskan lagi imbauan agar UWRF tidak melaksanakan kegiatan terkait komunisme dan 1965. Ketut Suardana sebagai Ketua Yayasan Mudra Saraswati pun menerima imbauan tersebut. Mereka pun sepakat membatalkan beberapa agenda terkait PKI, komunisme, ataupun peristiwa 1965.
“Kami harus memikirkan dampak lebih luas jika kami tidak mendapat izin pelaksanaan Ubud Writers and Readers Festival,” kata Jun. Selain itu, Jun menambahkan, Ketut pun menegaskan bahwa UWRF berada di wilayah Indonesia dan karena itu harus taat pada aturan hukum di Indonesia.
Setelah penyelenggara sepakat membatalkan semua kegiatan terkait 1965, maka izin dari Mabes Polri pun dikeluarkan. Izin terhadap UWRF tersebut memang sebagai kegiatan pelestarian, pengembangan, dan pertukaran lintas budaya internasional.
Izin itu sendiri sudah dikeluarkan di Jakarta pada 20 Oktober 2015 dengan tanda tangan dari Kepala Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri. Namun, surat izin tersebut disertai empat poin catatan. Di antaranya bahwa penanggung jawab wajib mencegah jika terindikasi terjadi penyimpangan dari tujuan kegiatan.
Poin lain adalah bahwa bilamana terjadi penyimpangan, maka kepolisian dan atau keamanan dapat membubarkan kegiatan.
Tidak ada hitam di atas putih bahwa polisi melarang diskusi terkait peristiwa 1965. Kapolres Gianyar AKBP Farman pun mengatakan bahwa tidak ada intervensi dan larangan terhadap UWRF. “Program (1965) dibatalkan oleh panitia, bukan polisi,” kata Farman sebagaimana ditulis BBC.
Jumat siang, pembatalan pun resmi disampaikan kepada pihak sponsor, pembicara, dan publik. Melalui website resmi, penyelenggara UWRF juga membatalkan beberapa agenda diskusi, pemutaran film, dan peluncuran buku terkait peristiwa 1965.
Menurut informasi di website mereka, setidaknya ada tujuh kegiatan terkait peristiwa 1965 yang dibatalkan. Selain pemutaran film The Look of Silence dan peluncuran buku The Act of Living, rencana diskusi tentang proyek musik Prison Songs, lagu-lagu karya penyintas peristiwa 1965 pun dibatalkan.
Roro Sawita, aktivis Komunitas 65 Bali yang mendampingi para penyintas peristiwa 1965, menyesalkan pembatalan tersebut meskipun dia tidak terlalu kaget. “Sudah bisa diduga akan terjadi pembatalan. Ini kan hanya salah satu bagian dari skenario besar membungkam pengungkapan kebenaran peristiwa 1965,” kata alumni Fakultas Sastra Universitas Udayana tersebut.
Dia menyebut contoh pencekalan Tom Iljas di Sumatera dan pelarangan Majalah Lentera di Salatiga membuktikan bahwa pemerintah memang masih alergi terhadap diskusi tentang peristiwa 1965.
Roro direncanakan akan mengisi sesi tentang Prison Songs, proyek rekaman lagu-lagu penyintas 1965. Roro seharusnya berdiskusi bersama Made Mawut dan Nyoman Angga, musisi yang terlibat dalam proyek tersebut pada Jumat, 30 Oktober 2015.
Namun, sesi itu kemudian dibatalkan panitia, seperti juga rencana kegiatan-kegiatan lain di festival buku terbesar di Asia Tenggara ini. [b]
Comments 1