Wisata ke hutan bakau, naik perahu atau makan seafood dengan pemandangan pantai. Sangat menarik kan?
Tapi apakah tidak tertarik dengan cerita proses di balik semua itu? Karena mungkin kalian bisa mendapatkan keuntungan ganda, pengalaman wisata sekaligus sejarahnya!
Tulisan Pengembangan Ekowisata & Budidaya Kepiting Bakau di spanduk depan jembatan yang saya lalui sebelumnya ternyata punya banyak cerita menarik.
Mari masuk ke jembatan bambu yang tingginya kurang lebih 2 meter dari permukaan air payau. Pemandangan di sisi kanan adalah pembangunan jalan layang sedangkan di kiri adalah hutan bakau (mangrove). Jembatan dari bambu sepanjang 200 meter ini menuju sebuah bale.
Di bale ini setiap 5 menitnya kita akan mendengar “iklan”, begitu kami, para peserta pelatihan jurnalisme warga “menginap bersama, mengungkap cerita”, menyebutnya. Sumber bising “iklan” ini berasal dari pesawat yang take-off atau landing melalui Bandara Internasional Ngurah Rai.
Jika cukup beruntung dan berada di sini lebih pagi, kalian bahkan bisa melihat nelayan berangkat melaut. Tidak salah ketika seseorang menyebut tempat ini sebagai gerbangnya Bali.
Mengungkap Cerita
Cerita di balik hutan bakau tersebut saya dapatkan selama saya mengikuti Kelas Jurnalisme Warga angkatan ke-17.
Sabtu pagi kemarin, saya datang terlambat ke pelatihan ini. Ketika sampai, saya langsung mengambil posisi mencatat ala jurnalis, mendengarkan cerita yang dibagi Agus Diana, Sekretaris Kelompok Nelayan Wanasari. “Sekarang di kelompok nelayan Wanasari, melaut tidak bisa dijadikan mata pencaharian utama, hanya sekadar hobi,” begitu kalimat yang terdengar ketika kali pertama saya duduk di bale.
Karena itulah, nelayan setempat pun berinisiatif membuat ekowisata hutan bakau. Menurut rencana mereka, ekowisata ini nantinya akan jadi salah satu spot edukasi ekowisata di Taman Hutan Rakyat (Tahura) ini.
“Saat keberadaan tol ini semakin meresahkan, lahir Himpunan Nelayan Teluk Benoa untuk menyatukan visi dan misi kita soal pengelolaan lahan ini,” kata Made Sumasa, Ketua Kelompok Nelayan Wanasari. Menurutnyakonsep Ekowisata Wanasari dilahirkan sebagai salah satu solusi dari masyarakat dan untuk masyarakat.
Selain ada hutan bakau, ternyata tempat ini punya jenis kepiting soka dan bibit kepiting terbaik yang bahkan lebih dicari dibanding kepiting dari Papua. “Potensi ini coba dikelola, saat permintaan pasar begitu tinggi dan produk kita dicari banyak orang. Walaupun dalam kondisi sekarang, kami tetap berusaha menjaga harga terbaik,” ujar Agus Diana.
Menarik saat mendengar para nelayan bercerita tentang visinya untuk mengelola 10 hektar lahan dengan 94 anggota yang saat ini tidak lagi bisa menggantungkan hidupnya 100 persen dari penghasilan menjadi nelayan.
Banyak proses adaptasi yang dilaluinya. Dulu saat kebijakan konservasi belum dibuat, mereka mencari batu laut untuk diolah menjadi kapur tulis. Setelah itu mereka lalu jadi nelayan daerah bakau. Saat ini, mereka belajar membangun dan mengelola konsep ekowisata mangrove dan budidaya kepiting bakau.
Wanasari punya pemimpin dan kelompok nelayan tangguh. Mereka selalu mencoba beradaptasi dengan alam, mencari peluang-peluang mata pencaharian baru tanpa harus pergi jauh dari lingkungan hidupnya. Dari tempat indah di dekat metropolitan kota Denpasar ini, semangat tidak mudah putus asa harusnya bisa menjadi inspirasi lebih banyak orang di pinggiran lain, di kota lain. Bahwa harapan itu selalu ada jika kita mau mengumpulkan lebih banyak informasi dan belajar berpikir lebih maju.
Menjadi seperti Kelompok Nelayan yang mempertahankan hutan (mangrove) sebagai sumber rezeki, mereka disebut Wanasari yang berasal dari kata wana (hutan) dan sari (rezeki). [b]