Pertanyaan di atas mungkin mewakili penggiat gerakan literasi.
Apakah sulit untuk jatuh cinta pada buku? Rasanya tidak sulit ya. Apalagi jika kita sudah menemukan genre buku yang sekiranya kita minati. Tentu akan lebih mudah untuk mencari judul-judul buku yang cocok untuk kita.
Pada awalnya pasti akan sangat sulit untuk menyukai buku. Karena sudah barang tentu kita belum menemukan genre buku yang kita sukai. Tetapi alangkah baiknya jika kita mencoba terlebih dahulu.
Kesalahan anak muda sekarang adalah tidak berani mencoba dengan alasan “zaman sekarang kan sudah ada e-book, jadi lebih praktis”. Namun, apakah itu menjadi solusi tepat saat ini? Rasanya belum.
Mengapa belum? E-Book tentunya tersedia di gadget kita, dan dalam gadget kita tidak hanya ada E-Book saja kan. Banyak aplikasi yang dirasa lebih prioritas dibandingkan dengan E-Book. Misalnya media percakapan (chatting), permainan (game), aplikasi belanja online, dll.
Bisa jadi ketika kita sedang asyik membaca, tiba-tiba pemberitahuan masuk dan itu dari si doi ya pasti kita utamakan balas chat si doi, dong. Karena itu e-Book sepertinya masih belum efektif.
Melihat kondisi itu, saat ini beberapa komunitas kembali menggencarkan gerakan literasi. Mereka prihatin melihat realita bahwa remaja khususnya di Indonesia sangat minim minatnya dalam membaca buku.
Menurut survei UNESCO terkait minat baca Indonesia, sebanyak 99 persen responden tidak suka membaca dan hanya 1 persen suka membaca. Itu artinya dari 100 penduduk hanya 1 orang yang suka membaca. Ini sungguh sebuah ironi.
Bangsa Indonesia sarat akan sejarah baik dari pembangunan bangsa hingga budayanya, tetapi generasi penerusnya tidak suka untuk mempelajari sejarahnya sendiri.
Indonesia Nol
Sastrawan Taufik Ismail pernah melakukan riset tentang kewajiban membaca buku sastra di beberapa negara di kalangan pelajar SMU selama tiga tahun masa studi mereka. Hasil riset menunjukkan pelajar SMU di Jerman wajib membaca 32 buku, di Belanda 30 buku, di Jepang 12 buku, di Singapura dan Malaysia 6 buku, dan di Indonesia nol.
Jelas ini sebuah tragedi.
Sepertinya pemerintah sudah menyadari akan hal itu. Pemerintah pun menunjuk tokoh yang dirasa pantas sebagai Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab. Siapa yang tak mengenal dia? Seorang jurnalis professional dengan gayanya menanyakan para tamunya lugas tanpa basa-basi.
Bahkan menurut mbak Nana sendiri (biar terkesan akrab) cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca, cari buku itu, mari jatuh cinta. Jadi tidaklah sulit jatuh cinta dalam kegiatan membaca buku, kita hanya butuh waktu untuk menemukan bahan bacaan yang kita sukai. Setelah kita dapatkan itu maka akan sangat menyenangkan kegiatan membaca tersebut.
Selain itu menurut mbak Nana membaca ialah upaya merengkuh makna, ikhtiar untuk memahami alam semesta itulah mengapa buku disebut jendela dunia, yang merangsang agar pikiran terus terbuka.
Jadi membaca buku bukanlah kegiatan yang menakutkan. Bahkan dengan terus membaca dapat menjaga pikiran kita untuk terus terbuka dan dapat memfilter segala informasi yang masuk dalam diri kita. Membaca adalah kegiatan yang membuat kita mengetahui segala informasi yang terjadi jauh dari kita.
Maka dari itu jangan pernah takut untuk membaca, karena dengan takut membaca sama saja dengan kita takut untuk menerima realita kehidupan. [b]