Meskipun hidup dengan HIV, saya masih mau hidup dan mau hidup lebih baik.
Saya hidup dengan virus HIV dalam tubuh. Saya sudah melakukan tetapi antiretroviral (ARV) di salah satu yayasan kesehatan di Bali dari Februari 2005 hingga 2020 tanpa berhenti.
Sedikit cerita awal bagaimana saya memulai tetapi ARV. Saya seorang pecandu heroin yang mulai menggunakan sejak tahun 1998 di Makassar, Sulawesi Selatan. Kecanduan itu berlanjut hingga saya kuliah di Jakarta tahun 2000 dan jatuh bangun hingga tahun 2019. Pada tahun 2004 saya ke Bali dengan tujuan untuk masuk rehabilitasi.
Saat di dalam rehabilitasi salah satu pelajarannya adalah dampak penggunaan narkoba. Karena menyadari bahwa saya termasuk orang yang berisiko tinggi, akhirnya saya melakukan tes HIV. Hasilnya adalah saya positif HIV.
Setelah melakukan konseling beberapa kali, akhirnya saya melakukan terapi ARV pada Februari 2004 dengan spesifikasi obat Duviral dan Nevirapin. Pada tahun 2017 saya ganti menjadi FDC hingga saat ini, Agustus 2020. Saya tidak pernah berhenti melakukan terapi ARV ini karena masih banyak yang mau saya lakukan dalam hidup.
Saya masih mau hidup sehat.
Pada Juli 2020 stok ARV yang saya minum (FDC) mulai terhambat jalur distribusinya karena terhambatnya jalur perjalanan obat dari pusat ke daerah Bali selama pandemi ini. Saya melakukan terapi ARV dan mengambil obat ini di daerah Denpasar sedangkan posisi saya bekerja di Bangli yang berjarak kurang lebih 60 KM.
Sebelum terjadinya pandemi COVID-19 saya konsultasi dengan dokter dan mengambil obat di Denpasar selama sebulan sekali. Semenjak pandemi ini saya mengambil obat tiap dua minggu sekali.
Awalnya saya merasa keberatan karena terkendala jarak dan waktu yang cukup jauh untuk mengambil obat. Kurang lebih 120 km. Namun, setiap kali konsultasi atau mengambil obat, saya selalu diingatkan tentang mengapa dulu saat pertama kali saya mengambil keputusan untuk melakukan terapi ARV ini.
Saya masih mau hidup dan mau hidup lebih baik. Sehat untuk diri saya dan untuk orang orang yang berada di sekitar saya yang mengasihi dan yang saya kasihi.
Setelah diingatkan dengan alasan tersebut saya kembali mempunyai harapan dan semangat untuk menjalani hidup yang lebih baik. Salah satu caranya adalah dengan hidup sehat. Selain tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab kepada orang-orang di sekitar saya, salah satu penyemangat untuk tetap melakukan terapi ARV ini adalah karena masih banyak yang mau saya lakukan dalam hidup. Dan saya tahu salah satu caranya adalah dengan hidup sehat.
Jadi walaupun terkendala dengan jarak dan keterbatasan obat semenjak pandemi ini, saya tetap patuh melanjutkan terapi ARV saya.
Semoga melalui tulisan saya ini, saya dapat menularkan semangat untuk terus menjalani terapi ARV dengan disiplin bagi setiap orang yang juga memiliki kondisi sama dengan saya dan memiliki kesulitan dalam menjalankan terapinya. Terapi ARV bukan hanya sebuah pengobatan yang dilakukan sebagai rutinitas, tetapi sebagai motivasi untuk menjadi orang yang lebih produktif dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Bagi saya menjadi ODHA bukanlah suatu penyesalan yang pada akhirnya membuat hidup saya menjadi terpuruk dan tidak berguna. Melalui terapi ARV yang saya lakukan, saya memiliki semangat untuk terus berjuang walau dalam keterbatasan, dan menjaga kesehatan badan dan pikiran saya.
Ada satu quote yang saya kutip dari akun Instagram yang saya ikuti dan menginspirasi saya untuk terus berjuang dalam kondisi tersulit sekalipun seperti saat ini. Quote itu berbunyi, “Staying positive doesn’t mean you have to be happy all the time. It means that even on hard days you know that there are better ones coming”.
Saya percaya dengan selalu berpikir, berkata dan berbuat hal yang positif akan membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik ke depannya, sekalipun kita harus melalui banyak tantangan dan perjuangan.
Tuhan memberkati kita semua. Semoga kita semua diberkati kesehatan selalu. [b]
Catatan: Artikel ini merupakan karya terbaik pertama kategori komunitas dalam lomba menulis HIV AIDS Yakeba periode Agustus 2020.