Pandemi meluluhlantakkan industri pariwisata di Bali. Apalagi data Dinas Pariwisata mencatat 53% tenaga kerja di Bali bertumpu pada sektor pariwisata. Sejak tahun 2020, ketika pandemi didengungkan di Bali, sebanyak 83,26% kedatangan wisatawan seketika merosot.
A.A. Istri Vera Laksmi Dewi, kepala bidang Sumber Daya Manusia Dinas Pariwisata dalam diskusi publik Tantangan Pekerja Pariwisata Perempuan Bali di Tengah Pandemi menyatakan, sejak tahun itu pula Bali kehilangan penghasilan dari pariwisata sebanyak 9,644 Triliun. “Di Bali kita sangat bergantung pada wisatawan mancanegara, sehingga terasa sekali penurunan penghasilan di sektor destinasi pariwisata,” kata Vera.
Kondisi ini juga diresahkan oleh Made Sujana, Ketua bantuan hukum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Bali. Sebagai pekerja ia mengadukan keresahannya pada gubernur bahwa efek pandemi akan menimbulkan gelombang PHK besar-besaran. “Ada sebanyak 70 ribu tenaga kerja yang di-PHK atau dirumahkan akibat pandemi ini, begitu perhitungan saya di awal pandemi,” papar Sujana.
Semua lapisan terguncang pandemi ini. Salah satunya pelaku pekerja pariwisata yang berada di Tulamben, Karangasem. Ruang diskusi yang turut mengundang para buruh porter pengangkut barang turis dan alat selam Sekar Baruna Tulamben menuturkan kabarnya ketika pandemi melumpuhkan kehidupan pariwisata di sana. Seperti sebagian daerah di Bali, Tulamben, salah satu dive spot populer di Bali seakan seperti daerah mati.
Tak lagi ada aktivitas wisatawan yang datang untuk menyelam menikmati keindahan bawah laut Tulamben. Para buruh porter yang sebelum pandemi bisa menghasilkan 7-8 juta penghasilan setiap bulan dari jasanya membawa tangki selam, kini bahkan 5 ribu saja sangat sulit didapatkan. Ni Luh Kadek salah satu porter Tulamben menitikkan air mata ketika menuturkan kondisi kehidupannya saat ini.
“Kerja apapun saya mau saat ini, tapi pekerjaan sudah tidak ada sekarang di sini. Saya selalu berpikir apakah bisa menyediakan makan untuk hari ini dan besok?” ungkapnya. Penghasilan nol, namun pengeluaran terus berjalan. Apalagi sebagai perempuan adat ia harus tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhan upacara adat.
Ni Made Wirani turut menambahkan, apalagi bulan ini upacara adat di daerah Tulamben sangat padat. Sebagai serati (pembuat banten/sesajen) tingkat desa ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk ngayah. “Apalagi sekarang tidak ada wisatawan, saya lebih sering ngayah. Sedangkan anak-anak sekarang mulai sekolah, tidak bisa ngasi bekel buat beli bensin motornya,” cerita Wirani.
Ketika pandemi mengguncang Tulamben, tak banyak yang bisa dilakukan warga Tulamben untuk bangkit beradaptasi. Beralih ke pertanian pun menjadi hal mustahil. Menurut Luh Kadek, karena lahan pertanian tidak ada di pesisir. “Kalaupun ada nelayan, hasil tangkapannya tidak banyak, musim angin tidak bisa melaut,” katanya.
Ada sejumlah pelatihan yang diberikan dari pemerintah untuk mempersiapkan pekerja pariwisata di Tulamben beradaptasi. Misalnya memasak dan membuat kue. Namun, menurut I Nyoman Suastika, Kepala Dusun Tulamben merasa ada genjalan. “Kami sangat antusias menerima masukan dan pelatihan yang diberikan, tapi kami pesimis karena pasca produk baru itu selesai dibuat, lalu produk itu dipasarkan di mana?” keluh Nyoman.
Ia merasa kesulitan untuk menjual hasil produksi warganya. “Mohon dibantu agar kami bisa mengakses ke dinas, kasi kami petunjuk, kami sangat membutuhkan demi keberlangsungan warga di Tulamben,” pinta Nyoman.
Mendengar kondisi ini, Wayan Willyana salah satu peserta diskusi menyayangkan cara koordinasi pemerintah. Sering ia melihat program pemerintah tak terintegerasi. Misalnya memberikan pelatihan pada pekerja pariwisata. Ketika warga berhasil memproduksi produk, kenapa muncul masalah lagi di bagian pemasaran? “Kenapa tidak terintegerasikan dulu di atas sebelum diturunkan ke masyarakat? Bingung lagi memasarkan kemana, harusnya antar pemerintah bisa aturan dan mekanisme yang berkelanjutan sebelum membuat program,” sarannya.
Sebagai pekerja pariwisata non formal para buruh porter ini sulit terdata untuk mendapatkan akses bantuan. Menuju peradaban pariwisata Bali era baru, Vera menjelaskan di tengah usaha pariwisata bangkit ini, dinasnya sudah mempersiapkan pekerja melalui pelatihan. Begitu juga untuk pekerja nonformal. Ada pelatihan dan bantuan. “Tapi kami memang kesulitan untuk mendata para pekerja yang tidak terorganisir ini. Sehingga masih banyak yang belum terjangkau dan terakses fasilitas,” ungkap Vera. Menanggapi permohonan Nyoman, ia mengarahkan agar pekerja di Tulamben menghubungi dinas perdagangan dan dinas industri.
Menurut Nyoman, warga di Tulamben lebih baik diberikan program padat karya. Ada pekerjaan yang dilakukan dan ada dana yang bisa dikelola sebagai upah.
“Ketimbang kami diberikan bantuan Rp300 ribu tapi tidak ada hal yang kami kerjakan, seminggu saja sudah habis. Mending dikasi program dan upahnya ada lalu dikelola,” harap Nyoman.
Ia bercermin pada program padat karya yang diadakan KKP, melalui program rehabiliatsi terumbu karang ICRG di beberapa tempat di Bali. Secara kemampuan warganya sudah ada. Misalnya seperti program penanaman karang. Jika program semacam itu ada di Tulamben, selain bisa menghidupkan kembali roda akivitas masyarakat, program itu juga bisa memperbaiki karang dan lingkungan pantainya. Sayangnya, hingga 200 warganya yang memiliki kemampuan menyelam ikut ICRG di kabupaten lain, program berkelanjutan itu tak juga menjumpai Tulamben.
Salah satu alat vital untuk pekerja menurut Sujana adalah terorganisir. Dengan membentuk organisasi maka akan mempermudah proses mengakses bantuan dan koordinasi. Tergabung dalam serikat pekerja, ia menawarkan SPSI sebagai jembatan untuk mengakses fasilitas pekerja. “Seperti kelayakan upah, ini bisa disepakati apabila hubungan kerja ditingkatkan menjadi formal,” masukannya.
Sujana menegaskan, bahwa setelah pandemi ini ada banyak yang berubah dan harus dipersiapkan untuk menyongsong itu. Salah satunya adalah hilangnya beberapa jenis pekerjaan. “Kita harus mulai melihat peluang-peluang kerja baru apa yang bisa diadaptasi,” tegasnya.