“Lamun nak luh Bali cerai, jeg lalungine..”
Ni Nengah Budawati berkata ketus sambil menyetir mobilnya pada akhir lalu. Ia baru saja menemui seorang perempuan lanjut usia tak bisa naik motor. Jadi, perempuan itu harus ditemui di tempat kerjanya, sebuah toko di pusat Ubud.
Selembar surat dirogoh dengan cepat dari dalam tasnya. Budawati tak bisa turun karena posisi mobil menutup kendaraan lain. Tak ada lahan parkir sisa di kepadatan Ubud ini.
Beruntung, kliennya, ibu yang dituntut cerai karena suaminya ingin menikah lagi itu, sudah tiba di samping pintu mobil. Surat kuasa untuk Budawati sebagai pengacaranya pun ditandatangani.
Si Ibu terlihat panik, ia ingin sekali ngobrol dengan Budawati. Barangkali risau dengan persiapan sidangnya esok di Singaraja, Buleleng. Suaminya memasukkan berkas perkara cerai di kabupaten ujung utara Bali itu.
Dalam perjalanan menuju Denpasar, Budawati berkisah beberapa pengalamannya dimintai tolong mendampingi kasus-kasus perceraian yang merisak perempuan. Masalahnya, perempuan kerap tak mendapat bagian harta guna kaya (yang dihasilkan selama pernikahan).
Akibatnya, begitu bercerai ataupun ditinggal suaminya meninggal, dia pun “melalung” atau telanjang pulang ke rumah bajang.
Kisah menjadi janda di pulau dewata ini lebih benderang dibahas di Suka Duka Tana Bali seminggu kemudian. Ini adalah sebuah dialog kolaborasi Taman Baca Kesiman dan BaleBengong tiap bulan.
Malam itu, Jro bercerita lebih detail tentang kasus yang dia alami. Dia tampil berkebaya putih dan kamen batik, rambut putihnya disanggul rapi. Sepotong bunga menyembul.
Karena Janda
Jro Sukasih, perempuan kelahiran 1930an, mewarisi tanah hasil guna kaya setelah suaminya meninggal. Prahara yang menyesakkan jiwanya adalah guna kaya ini hendak dikuasai keponakan laki-lakinya. Hanya karena ia janda.
Menurut hukum adat, keponakannya itu memang akan mewarisi tetapi nanti setelah Bu Jero meninggal. Alasannya, empat anak kandung Jero semuanya perempuan, sudah menikah, dan ikut suami.
Bu Jero tidak mau menyerahkan begitu saja. Maka si ponakan laki-laki itupun menggugat di pengadilan. Menuntut agar Jero menyerahkan sertifikat harta atas nama almarhum suaminya.
Sudah empat tahun Bu Jero dan keluarganya berurusan dengan pengadilan dari tingkat pertama sampai banding untuk mempertahankan haknya.
Hasilnya, kasus ini dimediasi dengan kesepakatan Bu Jero tetap memegang sertifikat tanah dan bisa diperjualbelikan. Putusan yang dianggap di tengah-tengah.
“Tiang sakit, kenyel. Sakit jantung,” ia bicara perlahan.
Tak banyak menjelaskan kasusnya. Terlihat jelas ia sakit hati. Selanjutnya adalah kisah-kisah janda lain, termasuk seorang janda yang distigma bisa ngleak oleh kerabatnya.
Suka Duka di Tana Bali edisi ini bergulir jauh berbagi pengalaman dan kerisauan soal ketakutan menikahi laki-laki Bali, hak anak jika bercerai, dan kasus dimensi adat dan tradisi lainnya.
Rekomendasi
Ada apa dengan adat? Siapa yang bisa mengubahnya?
Saya mengingat pernah menghadiri sebuah rapat besar Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP). Rapat itu memutuskan sejumlah hal, masalah yang dihadapi desa-desa adat, dan dicari solusinya saat Pasamuhan Agung MUDP 2010.
Ketika itu, 15 Oktober 2010 MUDP menyertakan putusan. Salah satunya rekomendasi terkait kedudukan perempuan dalam perkawinan dan pewarisan menurut adat Bali.
Secara sederhana, putusan ini kurang lebih nuansanya suami istri dan saudara laki-laki mempunyai kedudukan sama untuk jamin anak dan cucunya memelihara termasuk kekayaan imaterial seperti pura. Laki-laki dan perempuan memiliki hak sama terhadap hak guna kaya.
Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta guna kaya atau gono-gini. Nah!
Kemudian putusan soal status perkawinan juga memberikan jalan tengah. Di antaranya upacara patiwangi (karena turun kasta/nyerod) tak boleh lagi dilaksanakan karena merugikan perempuan. Jika kedua mempelai ingin punya status kapurusa dan predana yang sama bisa melaksanakan dengan status pada gelahang dengan dasar kesepakatan bersama.
Banjar Kekeran, Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Tabanan adalah salah satu desa yang sangat terbuka dengan model pada gelahang seperti ini.
Misalnya bila bercerai bisa kembali ke rumah dengan status mulih daa/teruna (remaja) dan dapat melakukan swadarma dan haknya seperti biasa.
Sejumlah masalah yang banyak muncul saat ini, salah satunya harta gono gini dianggap harta pusaka. “Saat pembagian hak gunakaya orang tua, menghadap notaris saya ditolak karena kawin ke luar (keluar keluarga besar),” keluh salah seorang perempuan yang ikut Pesamuhan saat itu.
“Saya seperti tak berhak atas harta karena selama perkawinan hasilnya “sampah” (kebutuhan makan) dan suami menghasilkan mutiara (harta tak bergerak),” sebut Budawati yang juga bicara saat itu.
Agresif
Ini putusan yang cukup agresif. Dikutip, dalam Kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan perempuan sangat dimuliakan dan dihormati. “Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang, tak dihormati tak ada upacara suci apa pun yang berpahala.”.
Pengurus dan desa adat pun didorong responsif gender. Tapi ini semulus daun keladi. Misalnya keturunan kapurusa (patrilineal) dikonstruksi sebagai laki-laki padahal maknanya tentang kewajiban.
Konsekuensinya, hanya laki-laki yang dianggap bisa bertanggungjawab secara adat dan agama. Padahal bisa saja status kapurusa ini perempuan kalau statusnya sentana rajeg.
Artinya perempuan juga berhak bertanggungjawab dalam hubungan dengan tempat suci (parahyangan), menyama braya (pawongan), dan lingkungan (palemahan). Kecuali perempuan ninggal kedaton penuh atau menikah dan berganti agama.
Bahwa anak kandung dan angkat baik laki-laki atau perempuan yang belum kawin memiliki kedudukan sama terhadap gunaya orang tuanya. Berhak atas harta gunaya setelah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah atau harta bersama.
Tak sedikit kearifan lokal yang bisa menjadi pertimbangan untuk distribusi waris secara adil ini. Misalnya paras paros atau kebersamaan dalam hak dan kewajiban, prinsip asih, asah, asuh dan sesana manut linggih atau hak sesuai kedudukan yang dimiliki.
Rekomendasi MUDP sudah hampir 10 tahun berlalu namun masih banyak kasus yang tak mempertimbangkan ujarannya. Lalu bagaimana? Ya bicara, ya menyurakannya. [b]