Oleh Darma Putra
Pertokoan Suci Plaza yang terletak di sudut perempatan Jl Diponegoro-Hasanudin-Sumatra dulunya adalah pasar senggol, pompa bensin, dan terminal. Anehnya, selang satu setengah dekade, ciri senggol itu kembali muncul walau dalam ukuran kecil.
Sebelum berubah wajah menjadi jejeran toko emas dan parkir bawah tanah sejak akhir 1980-an, tempat ini sejak lama menjadi pusat kehidupan malam kota Denpasar. Di Suci-lah istilah nasi jinggo muncul.
Pada siang hari, Suci merupakan terminal untuk angkutan dalam kota dan antar-kota. Untuk angkutan antar-kota, Suci menghubungkan Suci-Sanglah; Sanglah-Suci-Gajah Mada; dan akhirnya juga Suci-Ubung. Tahun 1970-an dan 1980-an, angkutan kota dilayani bemo roda tiga. Sebelum terminal Ubung beroperasi, Suci merupakan salah satu tempat mangkal mini bus yang melayani angkutan ke arah Barat, seperti Tabanan dan Negara.
Terminal Suci yang arenanya relatif sempit juga dilengkapi dengan pompa bensin. Pompa bensin Suci merupakan salah satu pompa yang stragegis letaknya bagi kendaraan angkutan umum dan pribadi. Selain kesibukan lalu-lintas, Suci juga memancarkan kesibukan pasar kecil. Di arena yang sempit numplek pedagang kecil yang menjual sayur, buah, janur, kopi, dan pindang.
Malam hari, senggol Suci merupakan salah satu pasar malam yang ramai. Inilah senggol yang komplit untuk mencari hidangan malam. Ada dagang sate kambing, nasi campur, cap-cay puyung hai, soto ayam, dan kacang ijo. Di sana juga dagang pisang goreng dan martabak. Tak gampang mencari martabak dulu, tapi Suci sudah menyediakan. Yang tak ketinggalan adalah pedagang jamu. Makin malam makin lakulah jamu diuntungkan oleh untaian promosi: kalau begadang minumlah jamu; kalau minum jamu begadanglah!
Keistimewaan Suci yang patut dicatat karena senggol ini merupakan cikal-bakal nasi jinggo. Pedagang nasi bungkus ini nongkrong di sisi utara senggol, pinggir jalan. Di sisi tenggara juga ada, tetapi tak seenak yang jinggo ini. Harganya murah, rasanya sedap, dan kian lezat karena pedagang menyediakan sambel lalah-manis yang pas dengan nasi dan menu ayam atau sapi.
Kalau sekarang nasi jinggo menjadi salah satu identitas kota Denpasar, adanya di mana-mana, dijaga tamu-tamu (wanita muda), dijual malam hari, maka cikal-bakalnya adalah senggol Suci. Cirinya memang sama: nasi bungkus daun pisang, harga merakyat, makan sebungkus pasti tidak cukup. Berkeranjang-keranjang bungkus nasi laku dijual saban malam. Nasinya cepat habis jauh sebelum senggol tutup.
Pasti banyak yang setuju bahwa jinggo Suci jauh lebih enak daripada jinggo sekarang ini. Pengunjung malam bisa makan di sana, banyak juga yang membeli nasi jinggo berbungkus-bungkus untuk dimakan di tempat lain. Pedagang biasanya memberikan sambel secara gratis. Ketika menjadi panitia lomba drama modern se-Bali yang pementasannya dilaksanakan tiap malam di Taman Budaya, Art Centre, tahun 1983, saya menjadikan nasi jinggo Suci sebagai hidangan buat panitia yang semuanya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Unud.
Dibandingkan senggol Lila Bhuwana yang tutup pukul 12.00 malam, opening hour senggol Suci jauh lebih larut, seolah lebih setia menjaga denyut nadi kota. Sejumlah seniman suka nongkrong di tempat ini. Sastrawan Gerson Poyk, dari NTT, ketika tinggal di Bali sering makan sate dan minum bir di Suci tengah malam, begadang bersama penyair Umbu Landu Paranggi dan dramawan dan bintang film AAN Jagatkarana (alm). Kebetulan, kediaman Jagatkarana hanya di seberang jalan, jadi gampang bagi beliau nongkrong. Sering beliau hanya muncul dengan pakaian tidur seperti kaos dan sarung. Seniman topeng Carangsari, I Gusti Ngurah Windia, kalau pulang dari pementasan sesekali juga mampir ke Suci untuk santap dini hari.
Sejalan dengan usaha mempercantik dan mempermodern kota Denpasar, sosok Suci sebagai senggol, pompa bensin, dan terminal lalu digusur. Ini terjadi menjelang akhir tahun 1980-an. Di bekas senggol Suci berdiri Suci Plaza.
Pedagang senggol Suci dipindahkan ke Lapangan Pekambingan, lokasinya di Jl Diponegoro di depan Bali Mall Ramayana (yang waktu itu belum berdiri). Karena letaknya kurang strategis, suasana senggol Pekambingan relatif sepi. Pedagang tetap jualan sampai larut malam, tetapi pengunjung tak seramai Suci.
Tak lama kemudian, lokasi senggol Pekambingan pun digusur lagi karena tempat itu disulap menjadi pertokoan. Para pedagang ada yang pindah ke senggol Kereneng, ada pula yang dipindah ke tepi selatan kuburan Badung, dekat terminat Tegal. Setelah pindah berkali-kali, tamatlah riwayat senggol Suci.
Lokasi senggol Suci diubah menjadi pertokoan bertingkat dan di bawahnya untuk parkir. Seperti pertokoan lain, Suci Plaza pun tak berhasil membuat Denpasar mentereng. Banyak toko tidak laku, belum lagi kualitas bangunannya kurang begitu tinggi, kebocoran atau kemampatan dari air hujan dan kamar mandi tampak di sana-sini. Arena parkir bawah tanah semula tampak ideal, tapi perkembangan jumlah mobil yang begitu cepat, membuat kehadirannya tidak banyak memberikan solusi.
Belakangan di emper depan Suci Plaza muncul dagang makanan dan jamu. Kehadiran dagang makanan ini seolah merupakan reinkarnasi mini atau panggilan tanah Suci untuk menghidupkan pasar malam yang pernah jaya di sini. Dagang makanan ini menunjukkan bahwa kemampuan dan gaya hidup sebagian warga kota Denpasar masih dominan pada model senggol, tampak belum bisa digantikan sepenuhnya oleh style plaza atau mall. [b]
Suci oh…Suci..di mana kau sembunyikan wajahmu kini?
aku pernah bermain ke “Rumah Hantu” di kawasan Suci, saat hari raya Galungan…hehehe, dulu…dulu…dulu sekali
adakah photo terminal suci jaman itu ? saya pengen melihatnya
Jadi terkenang.. salah satu penjual sayur yg dimaksud adalah nenek saya..
Kacang Ijo + ketan nya.. dimana penjual nya ya..
apa yang di Kumbasari kalau malam itu yang jualan sekaramg..?