Oleh Esa Cahya
Menikmati Bali tidak hanya dengan berhura–hura di kafe atau diskotik.
Tidak juga dengan berjemur di pantai-pantai yang sudah lumrah dilakukan. Namun juga berteman dengan alam dan mengilhami nilai-nilai historis kebudayaan Bali seperti Subak.
Kepenatan akan hiruk pikuk kota, membuat perasaan ingin merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah nilai budaya dalam subak mengundang saya melakukan perjalanan ini. Menuju sebuah desa bernama Jatiluwih yang memang masih tetap setia dengan subaknya. Selain karena indah, subak Jatiluwih merupakan salah satu maskot subak di Bali dan telah memperoleh penghargaan sebagai warisan budaya dunia UNESCO.
Perjalanan menuju sebuah desa di Kabupaten Tabanan ini pun saya lakukan dengan berbagai persiapan. Diawali mengecek kendaraan, membawa tas berisikan dompet dan kamera digital, saya siap menempuh perjalanan sejauh 48 km dari Kota Denpasar. Perjalanan dengan waktu dua jam terasa tak melelahkan.
Di sepanjang perjalanan pun disuguhi dengan pemandangan yang sunyi. Berbeda dengan jalanan di Denpasar yang kini penuh kemacetan.
Perjalanan memang tak semulus yang dibayangkan. Jalanan yang berlubang mengintai ketika melewati Mengwi. Sedikit halangan itu tetap tak menyurutkan niat saya untuk menengok subak Jatiluwih. Bayangan akan keindahan yang melampaui wisata Puncak di Jawa Barat terngiang–ngiang sudah di pikiran.
Ternyata godaan dan tantangan selama perjalanan terlunaskan setelah tiba di Desa Jatiluwih. Decak kagum menggambarkan penglihatan saya.
Mini Utopia
Area persawahan yang luas tertata bagus dengan teraseringnya. Gemercik aliran air dari pegunungan menambah kesegaran. Embusan angin pun mengisyaratkan sosok keelokan sebuah mini utopia. Pemandangan seperti ini tidak kalah dengan pantai di Bali bagian selatan yang sekarang didominasi oleh pariwisata gaya barat.
Langkah demi langkah terlampaui untuk menjawab pemikiran saya akan subak. Pura-pura berdiri tegak menggambarkan rasa syukur subak sebagai karya ciptaan Tuhan. Terdapat bambu yang dirancang untuk mengaliri air di setiap kotak persawahan. Air tercurahkan dari genangan danau dan beberapa sungai terdekat.
Pembagian air pun diatur sesuai jauh dekatnya persawahan dengan sumber mata air. Lebih mendahulukan areal persawahan yang jauh, menandakan ada kesetaraan dan keadilan dalam sistem subak. Struktur yang sedemikian rupa bercampur dengan nilai sosial kegotong-royongan masyarakat membentuk harmonisasi yang hampir menyentuh kesempurnaan. Tercipta dari tangan–tangan manusia dari abad ke-14 yang dipertahankan hingga saat ini.
Istirahat setelah menyusuri hamparan persawahan pun saya lakukan dengan duduk sejenak di sebuah balkon rumah makan di ujung subak. Secangkir kopi dan hidangan seporsi sate lilit menemani rehat saya sore itu. Sembari menikmati pemandangan sawah dan nampak lukisan persawahan Jatiluwih terlihat nyata karya maestro Affandi menempel di dinding balkon. Sungguh pemandangan yang menyempurnakan perjalanan saya dalam mempelajari subak.
Perjalanan saya ditutup dengan rasa syukur dan takjub akan subak. Tidak terduga oleh saya sebelumnya jika subak mempunyai nilai yang patut direnungkan. Jatiluwih tidak hanya tempat untuk mencurahkan kebosanan pikiran. Tetapi juga belajar akan nilai kebudayaan yang ada di masyarakat Bali, salah satunya subak.
Subak Jatiluwih mungkin hanya satu dari sekian banyak destinasi pariwisata yang ada di Bali. Sebuah warisan budaya di dunia yang masih setia dengan nilai historis dan budayanya. Jatiluwih hanyalah salah satu cermin daerah wisata di Bali yang masih tetap berjuang mempertahankan kepribadiannya di tengah pesatnya modernisasi pariwisata di Bali. Tentunya tetap dengan spirit harmonisasi alam yang berbeda dan hanya ditemukan di sini. [b]
Sayangnya rute perjalanan kurang disinggung lebih jujur oleh penulis selain hanya mengungkap spot tujuan. Kontradiktif dengan anugerah adi luhung World Heritage-nya. Saya tidak tahu apakah Anda memang mendapatkan rute yang mulus rupawan, ataukah memang nasib sial bagi saya yang melewati rute yang salah. 🙂
Salam dari JTB http://www.ormasjtb.blogspot.com
Terima kasih sudah menginformasikan Jatiluwih
semoga terus bisa bekerjasama ! Terima kasih
Hakekat subak sangatlah luas, tidak sebatas hanya sawah namun 5 elemen “Panca Maha Bhuta” (Air, Tanah/bumi, Api, Angin/udara, Ether) adalah kaitan eratnya subak, sesuai konsep Tri Hita Karana (parahyangan, pawongan, palemahan) .
untuk teman2 Persma Akademika Univ.Udayana ingin mengetahuinya lebih mendalam tentang perjalanan padi-gabah-beras-nasi sekaligus bagaiman hasil pertanian organik (tanpa pestisida), silahkan Umawali (kembali ke uma/sawah), dan mengalami yg alami dalam video berikut ini : http://youtu.be/3lIT6U5cGvA
Umawali (tabanan ricefield festival) / festival perayaan sawah.