Ada yang menarik di ruang publik COP21 di Le Bourget, Paris.
Anak-anak dengan suka cita memberikan inspirasi kepada tamu. Mereka membuat bunga dari sisa botol plastik, melukis, lalu memberikan kanvas serta warna kepada yang membutuhkannya.
Le Boruget merupakan kawasan di timur laut Paris. Sejak dua minggu lalu, kawasan ini menjadi tuan rumah dari sekitar 40 ribu pengunjung dari berbagai dunia. Selama dua minggu, mereka mendiskusikan berbagai solusi untuk mencegah terus meningkatnya suhu Bumi.
Siswa Green School Bali, sekolah yang mengajarkan dan menerapkan prinsip-prinsip lingkungan berkelanjutan, turut serta dalam agenda tahunan ini.
Siswa, orang tua serta guru mereka mengisi kegiatan pada Pertemuan Parapihak terkait Perubahan Iklim ke-21 (COP21) dan Conference of Youth ke-11 (COY11) di Paris.
Target mereka sederhana, untuk meningkatkan serta berkontribusi terhadap perubahan positif di COP21 & COY11 di bawah Konvensi PBB terkait Perubahan Iklim (UNFCCC).
Selama COP21, mereka mengisi ruang pameran di Green Zone, di mana kelompok masyarakat sipil terlibat selama pelaksanaan COP21.
Mereka membawakan tarian di Paris dan berbagi tentang manajemen sampah yakni zero waste. Lewat lukisan mural, mereka memberikan semagat dan gairah mereka untuk COP21 dan COY 11.
Selain dari Green School Bali, peserta lain dalam kegiatan di Green Zone, wilaya di mana , banyak pula kelompok lain. Organisasi seperti kepanduan dan sekolah, berpartisipasi dalam konferensi pemuda. Mereka melakukan kreasi serta menampilkan inisiatif siswa yang berkelanjutan.
Keterlibatan anak-anak sekolah dalam COP21 menjadi hal menarik. Sebab, mereka juga menjadi kelompok yang terkena dampak.
Menurut data Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF), anak-anak mendapat dampak perubahan iklim. Bencana seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas pada akhirnya juga mengakibatkan anak-anak kekurangan gizi serta menimbulkan penyakit lainnya.
Permasalahan terus berlanjut. Pada November lalu, lebih dari setengah miliar anak-anak hidup di daerah. Sekitar 160 juta di antaranya tinggal di daerah dengan kekeringan parah.
Sebanyak 300 juta anak anak berada di bawah garis kemiskinan, diperkirakan sekarang menjadi bertambah. Sebanyak 530 juta anak-anak hidup di zona rawan banjir. Mereka hidup dengan kurang dari $ 3,10 per hari, sementara mereka tinggal di daerah kekeringan.
Karena itulah, pada akhir November sampai pertengahan Desember tahun ini di Paris, para pelajar untuk menyampaikan aspirasinya pada acara COP21 dan COY11, termasuk dari Green School di Bali. Mereka melakukan berbagai macam kegiatan mendukung penyelamatan Planet ini.
Perhatian mereka tentu saja tidak terpisah dari kondisi di Bali.
Tiga anak dari Green School berkomentar tentang berbagai permasalahan di Bali, dari sektor pertanian yang semakin lama semakin hilang lahannya dikarenakan pembangunan. Sebagian besar dikarenakan sektor pariwisata.
Gabrielle, salah satu, siswa Green school mengatakan bahwa industri wisata dan turis telah memberikan dampak terhadap rusaknya alam Bali. Dia memberikan contoh turis-turis yang datang dan tidak memiliki rasa terhadap pelestarian lingkungan. Mereka mengakibatkan terumbu karang akan semakin habis diinjak.
Gabrielle mengajak semua untuk memperhatikan menyelamatkan masyarakat adat khususnya di Bali dan umumnya di Planet ini.
Melati, siswa lain mengharapkan, selama pertemuan COP21 para pemimpin bisa membawa dunia menjadi lebih baik dan berkelanjutan.
Menurut mereka, permintaan pasar global telah mengakibatkan Bali tak lagi seimbang. Belum lagi sistem pengairan Subak banyak terganggu. Air-air juga telah tercemar. Mereka juga mengeluhkan masalah sampah yang semakin tak terkendali penanganannya.
Mereka juga menyoroti hutan bakau dan reklamasi yang membuat Bali tak lagi alami.
Indonesia juga mengalami kekeringan di sebagian daerahnya. Namun, yang menjadikan mata dunia terbelalak adalah permasalahan kebakaran hutan. “Karena kami berasal dari Bali, maka kami berbicara soal kebakaran yang tiap tahun terjadi agar ini menjadi isu internasional di Paris,” kata Elle.
“Semua orang dewasa tahu bahwa pemanasan global sedang terjadi dan mereka perlu meningatkan kewaspadaan soal isu ini,” lanjutnya.
UNICEF menekankan bahwa perubahan iklim berarti lebih banyak kekeringan, banjir, gelombang panas dan kondisi cuaca buruk lainnya. Selain menyebabkan kematian dan kehancuran, bencana-bencana itu juga memberikan kontribusi pada peningkatan jumlah kematian anak-anak, seperti kekurangan gizi, diare demam berdarah dan malaria.
Gabrielle berharap pemerintah segera menginvestasikan energi terbarukan. “Kami ingin pemerintah kami segera mendengarkan suara rakyat, ketimbang mereka menggunakan pandangan mereka sendiri,” lanjutnya.
“Masyarakat itu lebih penting daripada uang,” ungkapnya.
Pada pertemuan di perundingan dibahas bahwa Indonesia sebagai anggota Negara Climate Vulnerables Forum (CVF) mendesak agar dunia menyepakati ambang batas kenaikan suhu global agar diperkecil dari 2 derajat Celsius menjadi 1,5 derajat Celsius, mengingat Negara kita terdapat pulau-pulau kecil yang akan tenggelam.
Negara anggota CVF, seperti Maladewa, Tanzania, Filipina, Vanuatu, Madagaskar, dan Saint Lusia, yang merupakan negara-negara kepulauan, menekankan batas kenaikan 2 derajat belum bisa menyelamatkan mereka.
Dari Bali diharapkan ada inspirasi kecil yang bisa menginspirasi Dunia. Seperti pada siswa Green School yang coba berbagi dengan semangat belajar serta bekerjanya untuk menyelamatkan Planet ini.
Melati siswa Green School menutup obrolan kami dengan mengatakan bahwa dia ingin Negara Negara tidak menggunakan standar ganda, dari pihak negara maju dan negara berkembang. [b]