Saya tengah berdialog dengan seorang teman dari luar Bali.
Tentang Bali yang katanya indah, Bali yang mendunia, Bali yang dinikmati para pencari surga. Perbincangan kami hangat sekali. Hingga sebuah kalimat terlontar. “Sayang ya, di Bali susah cari makanan halal.”
Ada kebekuan dalam perbincangan ini. Tiba-tiba seluruh fungsi mulut tak menemukan bagaimana caranya mengucapkan sebuah kata, apalagi menilai kesantunan sebuah ucapan.
Kalimat ini cukup mengusik naluri saya. Halal atau haram apakah manusia yang menghakimi? Lantas jika penghakiman itu ada, apakah kami yang menikmati kuliner Babi Guling dikatakan memakan makanan tidak halal? Semacam kanibal misalnya, atau segala konsumsi kami adalah kehinaan.
Saya narasikan satu cerita. Sore di Singaraja Bali tampak berbeda. Suasana seputaran Jalan Ahmad Yani dipenuhi pengunjung yang ingin menikmati hangatnya semangkok bakso. Bakso memang menjadi menu favorit di semua kalangan. Rasanya yang lezat serta harga yang ramah di kantong membuat makanan satu ini tetap menjadi buruan.
Ketika berlibur maupun bepergian ke hunian dan tempat wisata yang baru, menu bakso seolah ramah menyapa para turis mancanegara maupun domestik. Campuran daging kenyal, mie, dan bahan sayuran segar ditambah dengan kuah sedap membuat bakso sulit ditinggalkan.
Pedagang bakso yang kreatif mengombinasikan makanan ini dengan variasi unik. Ditambah pangsit, telor, ketupat, misalnya, membuat pebisnis bakso semakin berkembang.
Meski menjadi makanan primadona, penikmat bakso seolah diminta untuk mewaspadai adanya bakso-bakso yang dijual oleh pedagang “nakal”. Bakso dengan daging tikus, bakso boraks, bakso formalin, bahkan bakso dengan daging babi atau celeng. Jenis bakso ini dihindari penikmat bakso karena dapat merugikan kesehatan konsumen.
Saya kutipkan kembali beberapa fenomena pedagang bakso “nakal” yang sempat terjadi di Indonesia.
Si Lezat yang Kontroversi
Kasus ini terjadi sekitar September 2012 silam. Saat itu warga menerima pesan berantai yang menyebutkan salah satu warung bakso ternama di daerah Banjarmasin menggunakan daging tikus di olahan baksonya.
Kasus lainnya yaitu bakso menggunakan daging ayam tiren pernah terungkap di Bantul, Yogyakarta, sekitar Agustus 2012 lalu. Lagi-lagi karena masalah harga menjadi alasan pedagang bakso nakal memanfaatkan ikan sapu-sapu sebagai bahan bahan dasar membuat bakso dan siomay.
Isu kembali merebak di Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, membuat geger warga terutama para pecinta kucing. Penyebabnya, beredar isu daging kucing dijadikan campuran untuk membuat bakso (kompas.com). Digerebeknya tukang bakso SW (45) di kawasan Tambora, Jakarta Barat membuka mata warga di sekitar lokasi. Ternyata bakso yang dikonsumsi sehari-hari oleh mereka memakai daging celeng (detik.com).
Di tengah riuh permasalahan keharaman daging babi ini, ada pemandangan menakjubkan di sisi jalan Ahmad Yani Singaraja. Ada sebuah kios yang menjual bakso dengan papan nama 100 persen haram. Kios ini menjual bakso babi yang dikatakan sebagai bakso haram oleh komunitas tertentu.
Lalu siapa yang menikmati bakso babi dengan label 100 persen haram ini? Sangat banyak. Tentu warga lokal Singaraja dan Bali pada umumnya yang menganggap bahwa daging babi layak dikonsumsi dengan cara pengolahan yang baik.
Hampir setiap sore, kios ini selalu dipadati pengunjung yang ingin menikmati sensasi bakso haram. Yang menarik lagi ada lukisan di dinding kios menggunakan ikon babi dan ada dialog antara babi.
Terlepas dari motivasi pribadi pemilik kios, saya menganggap itu semua adalah seni dalam marketing. Ini sangat unik. Penikmat bakso seolah tak ambil pusing dengan label haram atau halal. Mereka menikmati bakso sebagai sebuah makanan yang sedap disantap. Dalam imajinasi saya, mungkin inilah suara mahkluk yang bernama “babi” setelah sekian lama tetap menjadi perguncingan.
Perihal siapa halal atau haram?
Kembali pada isu nasional tentang daging babi haram, katanya. Pedagang bakso menggunakan daging babi atau celeng ini paling sering ditemukan dan dianggap sebagai sesuatu yang haram. Pengertian haram dalam KBBI adalah terlarang.
Banyak alasan sebuah komunitas menyebutkan bahwa babi dan segalanya tentang babi bersifat haram. Salah satunya karena tubuh babi sebagai gudangnya Cacing pita (Taenia solium), Cacing spiral (Trichinella spiralis), Cacing tambang (Ancylostoma duodenale), Cacing paru (Paragonimus pulmonaris), Cacing usus (Fasciolopsis buski), Cacing Schistosoma, dan penyakit lainnya.
Namun apakah label haram pada tubuh babi berlaku universal untuk semua orang? Saya rasa tidak.
Indonesia adalah negara yang menghargai perbedaan. Jutaan masyarakat hidup dalam naungan adat, budaya, bahkan agama yang berbeda. Lantas bagi mereka yang mengonsumsi daging babi telak disebut haram? Mungkin banyak orang akan tidak sependapat terlebih bagi sebuah komunitas yang memang menganggap bahwa daging babi dan segalanya tentang babi bisa dikonsumsi dengan cara pengolahan yang baik.
Terlebih lagi kini diberlakukannya undang-undang dan peraturan bahwa setiap UKM yang bergerak di bidang makanan dan minuman wajib mengantongi sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Ini diberlakukan untuk menyongsong hadirnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Hal ini berlaku secara nasional.
Bagaimana dengan Bali? Atau hunian lain yang mayoritas penduduknya mengonsumsi makanan berbahan dasar babi? Bali, sebuah destinasi dunia yang juga terkenal dengan kulinernya akankah setuju dengan keputusan ini?
Bali memiliki jutaan kuliner yang berbahan dasar daging babi, seperti lawar dengan berbagai variasi, siobak, babi guling, bakso krama Bali, dan lainnya tidak akan mendapat sertifikat kehalalan ini. Jika alasan kepemilikan sertifikat halal ini untuk meningkatkan perekonomian dan memancing tamu mancanegara agar tak khawatir dengan makanan yang dikonsumsi di Bali, sepertinya Bali dengan kulinernya telah lebih dahulu mendunia.
Jika demikian, saya ingin bertanya kepada pemangku jabatan tinggi di bidang ini, apakah orang Bali dengan segalanya tentang babi ini dianggap haram? Saya rasa perihal kehalalan ataupun keharaman itu penentunya adalah Tuhan, bukan sertifikat MUI.
Maaf, apabila pendapat saya ini keliru.
Mungkin pembaca dapat menyetujui pendapat saya ketika kembali menonton satu adegan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Ada bagian dalam film yaitu ketika dialog Haji Muluk (Deddy Mizwar) bersama sang istri dan anaknya. Anak Haji Muluk sedang menjawab teka teki silang yang berisi pertanyaan siapakah yang menentukan halal atau haram?
Dari dialog ini, kiranya dapat dipahami bahwa perihal haram atau halal di dunia adalah keegoisan sebuah komunitas semata.
Bali dengan kulinernya tak dapat dihentikan hanya karena sebuah kertas yang disebut sertifikat. Banyak peraturan, banyak hukum, banyak undang-undang berlaku di Indonesia hanya sebatas macan kertas. Sepertinya itu menjadi sebuah keteraturan yang sedang berlaku di negeri ini. Kiranya pemangku kebijakan dapat berlaku bijak tanpa mendiskriminasi sebuah komunitas, termasuk apa yang dimakannya.
Halal atau haram, mari dibijaksanai lagi penyebutan ini. Jika Anda yakin bahwa mengonsumsi babi adalah sebuah hinaan, cukup yakini dan jangan hakimi kami atas keyakinan yang berbeda. [b]
Menurut saya pembahasan seperti ini sudah tidak diperlukan lagi. Sudah jelas diketahui khalayak bahwa definisi halal-haram itu mengacu kepada ajaran agama tertentu. Jadi, yang halal buat agama itu belum tentu halal buat agama lain. Begitu juga sebaliknya. Jadi tidak perlu lagi diperdebatkan perlunya label halal-haram. Karena ini hanya berlaku untuk agama itu, gak berlaku untuk umat agama lain.
Saya ambil satu contoh lain lagi. Ada agama tertentu yang menyebut umat di luar agamanya sebagai domba yang tersesat. Lalu apakah saya – yang bukan umat agama itu – tersinggung dipersamakan dengan domba? Engak tuh, saya santai saja. Sah-sah saja mereka punya predikat untuk kaum di luar lingkaran mereka. Bukan cuma mereka, saya kira semua kaum/suku/kelompok pasti punya sebutan untuk kaum di luar kelompoknya.
Santai saja. Toh haram buat agama itu belum tentu haram buat agama kita. Silakan saja mereka memperlakukan makanan kita sebagai sampah mereka. Tahukah anda bahwa selada digunakan sebagai pakan ternak di Jawa Timur bagian barat, padahal di Jawa Timur bagian timur selada malah disuguhkan di warung makan? Apakah dengan begitu orang di timur tersinggung? Apakah orang di barat menjadi sombong karena pakan ternaknya jadi menu makanan warung di timur? Enggak tuh. Mereka tetap santai dan bahkan saling kawin-mengawin.
Saya seorang muslim, sangat senang dengan berita seperti ini. Fenomena halal-haram dipatahkan oleh masyarakat bali dengan menerapkan sistem dagang berkonsep kejujuran… Setidaknya dengan sikap seperti itu menunjukkan bahwa Toleransi terhadap agama lain terlihat jelas. Kita harus sadar mereka menjual dagangannya hanya untuk mereka yg tidak mengharamkan babi dan memberi petunjuk pada orang yg mengharamkan babi supaya mereka tahu iniloh daging babi… Soal dibeli atau tidak itu urusan masing2 orang…