Oleh Anton Muhajir
Selain meningkatkan hasil produksi petani System of Rice Intensification (SRI) juga mengurangi penggunaan air. Demikian dikatakan Jaan Ketelaar, Food and Agriculture (FAO) Regional Office for Asia and the Pacific dalam workshop tentang SRI di Sanur, Denpasar Selasa (12/5). Kegiatan satu hari itu diikuti 20 petani dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Flores, Jawa, dan Bali.
Berdasarkan hasil kunjungan dan diskusi singkatnya dengan petani di Boyolali, Jawa Tengah serta Tabanan dan Gianyar, Bali, Jaan menemukan bahwa hasil produksi petani setempat meningkat setelah menggunakan metode SRI sejak 2001 lalu.
“Peningkatan padi paling rendah sekitar 1,5 ton per hektar. Metode ini juga menghemat benih dan penggunaan air,” katanya.
Menurut Jaan, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mulai mengembangkan metode ini selain Thailand dan Kamboja.
SRI sendiri merupakan metode pertanian padi yang dikembangkan sejak 25 tahun lalu oleh petani di Madagaskar yang kemudian disebarluaskan oleh ilmuwan Cornell Universty. Menurut Jaan SRI adalah sistem pertanian padi yang menekankan pada penggunaan benih yang sangat muda berusia sekitar 10-15 hari, pengaturan jarak tanam sekitar 40 cm x 40 cm, pengairan tanpa harus menggenangi lahan, serta pengunaan bahan organik sebagai pupuk maupun pestisida.
“Dengan metode SRI, produksi meningkat dan ketergantungan petani pada asupan luar juga berkurang,” ujar Jaan.
Di Indonesia, metode ini mulai diperkenalkan pertama kali pada 1999 di Sukamandi, Jawa Barat. Melalui Field Farmers School sebagai bagian dari program nasional integrated pest management (IPM). Setelah itu program ini terus dikembangkan di berbagai daerah oleh pemerintah maupun LSM pertanian.
VECO Indonesia, LSM pertanian berbasis di Bali, adalah salah satu lembaga internasional yang mengenalkan metode ini pada petani antara lain di Flores, Jawa, Sulawesi, Bima, dan Bali. Menurut Hendrikus AM Gego, Field Coordinator VECO Indonesia di Nusa Tenggara Timur, metode ini sekarang diterapkan oleh petani di Manggarai dan Nagekeo.
Sedangkan di Bali, petani yang mengembangkan metode ini ada di Mengesta, Tabanan dan Payangan, Gianyar.
“Produksi padi petani di masing-masing daerah yang menerapkan metode SRI meningkat hingga 78 persen,” kata Hendrikus. Menurut Hendrikus, peningkatan produksi hanyalah salah satu aspek untuk menilai hasil penerapan metode SRI. Aspek lain adalah penggunaan bibit yang turun sampai 20 persen, penggunaan pupuk beralih ke organik dan menurun sampai 50 persen penggunaan pupuk kimia, dan serta penghematan air hingga 40 persen.
“SRI yang dikombinasikan dengan kearifan lokal akan sangat mudah diadaptasi oleh petani,” kata Hengki.
Enceng Asikin, petani dari Ciamis, Jawa Barat yang juga salah satu pelopor SRI di Indonesia mendukung pernyataan Jaan dan Hendrikus. Menurut Enceng setelah menerapkan metode SRI dia merasa dirinya sudah menjadi petani.
“Sebelumnya kami hanya jadi kepanjangan tangan dari orang lain yang melakukan usaha pertanian,” kata Enceng yang memulai SRI pada 1999 di 240 meter persegi lahannya. Enceng memberikan contoh bahwa sebelum menerapkan metode SRI dia sangat bergantung pada benih, pupuk, dan pestisida yang dijual oleh perusahaan dan didukung pemerintah.
“Sekarang saya tidak perlu membeli dari pihak lain karena saya bisa mengusahakan sendiri,” ujarnya.
Untuk bibit, Enceng menggunakan bibit padi yang dia kembangkan sendiri. Demikian pula dengan pupuk organik yang dia buat dari kotoran ayam. Sedangkan hama tanaman dia tidak perlu hilangkan dengan pestisida karena, menurutnya, alam sudah menyediakan predator bagi hama tersebut.
Penggunaan bahan-bahan lokal, termasuk bibit, untuk mendukung SRI itu juga disarankan oleh Jaan. “Petani seharusnya mulai berinsiatif untuk membuat bak benih lokal,” katanya.
Untuk wilayah NTT, penerapan metode SRI dengan pendekatan organik, akan lebih baik jika diintegrasikan dengan pengembangan ternak, terutama untuk menyediakan bahan organik yang berasal dari kotoran ternak sapi. Kasus di Nagekeo, Flores, kondisi lahan dengan kadar garam yang sangat tinggi ternyata dapat dibantu peningkatan produksinya dengan sistem SRI dan penggunaan pupuk organik yang cukup.
Kami kelompoktani lestari organik telah menerapkan metode sri di desa kami, hambatan yang sangat terasa adalah merubah paradigma & kebiasaan petani akan metode pertanian konvensional (kebiasaan) terutama dengan pola tanam satu-satu.. salam 🙂
Mau tanya, Bapak petani asal mana ya? Menurut Bapak, apa dalam merubah paradigma dan kebiasaan petani tersebut dibutuhkan peran tenaga penyuluh??
SRI metode bertanam padi hemat air dan telah diujicobakan dilahan gambut Kalimantan Tengah dan hasilnya bagus. Penerapanya secara luas memerlukan dukungan semua pihak, karena metode ini sangat merubah kebiasaan petani lokal menanam padi.
Salam kenal dan sukses selalu.