Oleh Luh De Suriyani
Hampir 30 tahun ini Men Tunjung membawa kesegaran dari rumah ke rumah. Berbekal dua toples ramuan tradisional ia menyusuri jalan-jalan seputaran Denpasar. Peluhnya berbuah wangi kenanga di tubuh pelanggannya.
Sekitar pukul 10 pagi ia bersiap dari rumahnya di kawasan Batubulan, Gianyar, menuju sejumlah tempat tinggal pelanggan jasa kecantikannya. Men Tunjung sendiri tak menunjukkan citra sebagai seorang ahli kecantikan. Tubuhnya terbalut kamen (sarung tradisional Bali), baju kebaya lusuh plus sehelai handuk yang kadang terlilit di kepalanya.
Ia meraba-raba usianya sekitar 70-an tahun. “Sing nawang unduk, pidan kaden lahir,” ujarnya soal tak ada tanda petunjuk kapan ia lahir. Rambutnya setengah memutih. Tapi jangan tanya berapa kilometer ia betah berjalan keliling menjajakan jasa luluran dan pijatnya.
Jl Banteng, Denpasar Utara, adalah salah satu lokasi tempat tinggal sejumlah pelanggannya. Di kawasan ini sekitar empat perempuan ditemuinya minimal sebulan sekali. Salah satunya, Nengah Wati. Perempuan pedagang daging babi di Pasar Badung ini selalu kangen wangi bunga sandat (kenanga) dan cempaka lulur Men Tunjung.
Layaknya spa, Men Tunjung punya tiga jurus untuk menyegarkan pelanggannya. Pertama, tubuh pelanggan dipijat ringan, khususnya sekitar kaki dan tangan. Kemudian dibubuhi minyak zaitun. Minyak dilumuri hampir di semua kulit, sambil terus dipijat ringan.
Minyak ini berfungsi untuk melemaskan kulit yang kaku, agar daki-daki kulit dapat mudah terangkat. Agar daki maksimal terangkat dari kulit, Men Tunjung melumurkan lulur khusus. Lulur inilah yang banyak digandrungi pelanggannya, seperti halnya Nengah Wati.
Lulur daki ini terbuat dari sejumlah rempah seperti kunyit, temulawak, dan kemiri. Semua bahan ditumbuk halus. “Selain daki terangkat, tubuh jadi rileks,” ujar Wati. Bau lulur pun nyaman di hidung, bagai aromaterapi.
Proses pengurutan daki ini cukup lama karena dikerjakan Men Tunjung secara merata di seluruh tubuh. Waktu yang diperlukan sedikitnya satu jam. Secara perlahan, tangan dan kaki diurut sambil ditekan-tekan. Lulur ini dilumurkan berkali-kali ke bagian tubuh yang diurut, untuk memastikan semua daki terangkat. Tangan Men Tunjung sungguh kuat dan terlatih melakukan semua pijatan dan luluran.
Ia tak risih ketika pelanggannya masih muda dan harus mengurut bagian kaki atau pantat. Biasanya, orang Bali, terlebih orang tua punya norma atau pantangan menyentuh bagian yang dianggap kotor seperti kaki dari orang yang lebih muda.
Setelah daki terangkat oleh lulur, Men Tunjung menyudahinya dengan melumurkan lulur wangi untuk menyegarkan kulit. Lulur inilah yang terbuat dari campuran bunga sandat dan cempaka. Kedua bunga ini biasanya dipakai orang Bali untuk membuat canang, sesajen dari janur dan bunga. Bunga-bunga itu juga bernilai ekonomis tinggi karena harumnya yang semerbak dan wanginya lama.
Oleh Men Tunjung, kedua bunga ditumbuk dan ditambahkan bubuk putih. Setelah dicampur sedikit air, lulur akan menempel setelah dioleskan di kulit.
Nengah Wati mengaku sangat nyaman dengan lulur ini. Terlebih sepanjang hari ia bekerja dengan bau daging dan anyir darah yang menyengat di Pasar Badung.
Melihat pelayanan dan metode pelulurannya, Men Tunjung tak kalah ahli dan modernnya dari spa-spa yang ada. “Saya belajar sendiri ketika jadi pembantu,” katanya. Ketika itu, Men Tunjung mengaku disayang majikannya yang seorang bangsawan karena keahliannya memijat dan membuat lulur.
Men Tunjung lahir di Karangasem bagian timur Bali. Ia lahir dan besar di kalangan petani. Dia pun pernah jadi anak angkat seorang muslim di tempat kelahirannya. Ketika remaja dia jadi pembantu di Denpasar, di rumah salah seorang bangsawan. Di sanalah dia untuk pertama kali belajar memijat dan memberi lulur.
Selain memberi pijat dan lulur ala spa, Men Tunjung juga memberi pijatan kesehatan untuk menyembuhkan orang sakit.
Kini, hidup Men Tunjung bergantung pada hasil pijatan dan lulurannya. Dia tidak mau bergantung pada anak-anaknya meski tinggal serumah dengan mereka. “Karena saya masih suka bekerja sendiri dan telanjur cinta dengan pekerjaan ini,” katanya.
Spa tradisional Bali ala Men Tunjung ini makin lama makin banyak penggemar. Men Tunjung sendiri tak memasang tarif khusus. Ia menyerahkan soal biaya pada pelanggannya. Jika dirata-ratakan, per pelanggan memberinya uang Rp 20 ribu. Setiap hari ia melayani sekitar enam pelanggan.
Men Tunjung senang, karena di usia senjanya tak tergantung pada anak, dan sambil bekerja ia bisa jalan-jalan. Peluh dan aroma kenanga tersebar di jalan-jalan yang dilaluinya. [b]
gimana cara menghubungi Men Tunjung Kalo mau minta jasa pelayanan spanya ya? ada yang bisa bantu?
Dengan hormat Ibu Men,saya baru baca dari Anda di jakarta Post! Nanti bulan Nopember suami dan saya mau jalan ke Bali dan minta massage dari Anda kalau bisa dan kalau Anda punya waktu! Mungkin anda bisa kirim alamat ke email saya?? Kami orang Belanda tapi sekarang tinggal di USA dan mau tinggal di Aston Bali Hotel(Benoa)nanti.
Saya tunggu berita,terima kasih banyak!
Hormat kami, Ibu Marja de Buck