Coba bayangkan satu lagu bisa bercabang menjadi cabang kesenian lain.
Sebuah lingkaran berdiameter hampir 3 meter menampilkan fragmen-fragmen visual berwarna merah. Lingkaran itu letaknya sekitar 2 meter dari permukaan panggung. Aik Krisnayanti dan Ardy Zulkarnae, dua personel Soul & Kith, berada di bawah lingkaran itu.
Seorang laki-laki bertubuh putih bergerak patah, penuh tenaga, menyingkap dirinya di antara hiruk pikuk kabel-kabel yang keluyuran.
Tiga manekin putih menjadi pembatas antara penonton dan penampil. Ketiganya tidak berkaki, tidak bertangan, bahkan satu tidak berkepala. Pada tubuh manekin itu ada fragmen video wajah dengan bercak warna-warni, jari-jari tangan berbalur cat biru, serta kaki-kaki yang menari.
Penonton berdiri terpaku. Sebagian mengarahkan kamera gawai ke panggung. Saya melihat dari kejauhan. Saya bisa dikata penonton lian. Mengambil jarak untuk melihat secara keseluruhan peristiwa tersebut.
Kiranya begitulah Sorrow menjadi adegan pertunjukan kolaborasi antara Jecko – Teater Kalangan dan Band Soul & Kith. Acara yang diselenggarakan Pohon Tua Creatorium (PTC) dalam tajuk The Participles V.02 berlangsung di Rumah Sanur, pada Sabtu (12/9) lalu.
Lagu Sorrow yang menjadi bintang malam itu termaktub dalam mini album Kacamuka yang diluncurkan tahun 2019. Pertunjukan yang saya tonton di Rumah Sanur ini dalam rangka peluncuran video klip mereka. Tidak hanya itu Sorrow pun menjadi sejumlah lukisan yang digarap secara kolektif. Malam itu lukisan-lukisan tersebut dipamerkan di Ruang Maestro, di antaranya berjudul Sorrow, Tuan J, Melebur, Wajah dari Ego dan Aku dan aku.
Coba bayangkan satu lagu bisa bercabang menjadi cabang kesenian lain. Jadi pertunjukan, jadi lukisan dan jadi video klip.
Alih wahana semacam ini memang bukan barang baru dalam dunia kesenian. Namun, yang perlu dicatat adalah metode alih wahananya yang tentu mengalami perkembangan sesuai konteks zaman dan pola pikir kolaboratornya. Sebab setiap seniman memiliki endapan emosi, endapan visual, memori trauma yang kualitasnya berbeda sama sekali.
Sebut saja dalam hal ini kasus Jecko mengalih wahanakan musik dan lirik menjadi partitur tubuh untuk bergerak. Sepengetahuan saya Jecko memiliki kamus tubuh seorang pantomime dan modern dance. Tubuhnya mempunyai ketegangan antara tubuh orang Denpasar dan Banyuwangi tempat asalnya.
Jecko adalah seorang perantau. Dia tinggal di Denpasar, tetapi tidak sepenuhnya melaku seperti orang asli Denpasar yang memiliki kebudayaan terus berulang. Kemudian siapa Jecko dalam konteks kebudayaan Denpasar? Bisa jadi ia kaum urban yang tengah mencari kebudayaan dirinya. Dalam hal ini adalah bentuk-bentuk tari yang sesuai dengan tubuhnya.
Ia ikut teater semasa SMA, menekuni modern dance, serta mencoba aliran pernapasan. Kamus-kamus itu tentu berjarak dengan tari-tari tradisi yang berkembang di Denpasar. Namun, itu menjadi modal besar dalam menyikapi ketubuhannya. Jangan–jangan tubuhnya adalah ulak alik Denpasar-Banyuwangi, ketegangan itulah yang menjadi senjata yang perlu diasah untuk menjadi bentuk kultus bagi tubuh Jecko.
Saya sendiri yang biasa melihat Jecko menari dan beberapa kali terlibat dalam satu garapan dengannya, sudah mampu menebak akan seperti apa tariannya. Kendati gerakannya berkembang itu adalah elaborasi dari makna teks yang diterjemahkan secara harafiah. tidak mengalami pengendapan dan kerja berulang dalam waktu yang lama.
Di sinilah letak metode kolaborasi sebenarnya harus digali. Sebab kolaborasi bukan semata-mata kerja dalam hal bentuk, tetapi lebih kepada tukar menukar gagasan sebelum mengamini bentuk yang diyakini bersama. Tukar menukar gagasan ini perlu dalam kerja interdisiplin ilmu karena cara pandangnya kan berbeda. Perbedaan itulah yang akan digodok menjadi satu kesepakatan, atau bahkan bisa jadi tidak sepakat sama sekali.
Menubuhkan Lirik
Jauh sebelum pentas malam itu, saya dengan Agus Wiratama seorang kawan di Teater Kalangan pernah mendiskusikan bagaimana metode menubuhkan lirik. Agus yang pernah mengikuti workshop tubuh butoh bersama Katsura Kan-Jepang di Yogyakarta berpendapat, teks lirik harus mengalami sejumlah layer terlebih dahulu, sebelum menjadi partitur. Layer-layer itu ialah menurunkan teks menjadi narasi, meraba makna serta membuat alur-alur logika geraknya berdasarkan katalogisasi yang dilakukan terus menerus.
Sepulang mengikuti workshop Agus membawa teks tentang kutu-kutu yang disusun Katsura Kan. Teks itulah yang dipakai untuk mensejajarkan pola gerak dalam latihan mereka. Saya sempat membaca teks itu, memang gampang dicerna maksudnya. Kutu-kutu itu awalnya berjumlah sedikit, kemudian menjadi banyak, dan akhirnya menggrayangi seluruh tubuh.
Bagi saya teks itu hanya bagian kecil untuk mencapai tujuan gerak butoh dalam tubuh peserta. Bahwa kembali lagi setiap orang memiliki memori otot berbeda. Kendati teksnya sama, geraknya bisa jadi jauh berbeda. Dengan demikian katalogisasi menjadi bervariasi, dan butoh menjadi berkembang pada setiap tubuh peserta workshop.
Kami mencapai sebuah kesepakatan bahwa lirik atau puisi harus diterjemahkan ke dalam narasi panjang terlebih dahulu, kemudian digunakan sebagai audio untuk bergerak dalam latihan. Cacahan-cacahan gerak itu dicatat kecendrungannya yang kemudian dikatalogisasi menjadi partitur. Tentu proses ini memerlukan waktu cukup panjang.
Lalu bagaimana dengan Jecko dan Soul & Kith?
Saya melihat Jecko masih berjalan linier terhadap lirik Sorrow, menampilkan kesedihan dengan tubuh-tubuh yang mudah diterka. Mereka berjalan beriringan, bergandengan tangan sepanjang pertunjukan. Apakah salah? Tentu tidak. Hal ini sangat subjektif. Namun, saya sebagai penonton yang pernah melihat kolaborasi mereka beberapa kali melihat tubuh Jecko tidak banyak berubah.
Saya sudah melihat mereka berkolaborasi seperti pada launching album Kacamuka di Hari Ini Kopi tahun 2020, kolaborasi pada program Tari(k) Jack Dini Ditu Teater Kalangan, serta yang ketiga Sorrow.
Nah, saya sebagai penonton yang mengikuti wacana mereka, tidak apa kan menuntut lebih? Layaknya penonton sepak bola yang selalu menuntut ini dan itu pada jagoannya yang sedang bertarung di lapangan.
Apalagi wacana Sorrow sangat lekat pada konteks hari ini. Membicarakan tanaman, kematian dalam kontemplasi diri terhadap kehidupan. Wacana itu pun begitu lekat dengan Jecko yang bergelut di bidang tanam menanam. Dia bekerja sebagai penata bunga di salah satu toko bunga Denpasar, serta merambah bisnis tanaman hias bernama semai_bali.
Berikut lirik lagu Sorrow yang saya bicarakan :
Sorrow
I keep your body on my sorrow
I keep your body on my sorrow
I cry, I cry
I saw your body fall down on the ground
I cry, I cry
I saw your leaves, all dry and die
But now it’s too late for you to come back again…
Now it’s too late for you to come back again…
So, I keep your body on my sorrow
I keep your body on my sorrow
I keep your body on my sorrow
I keep your body on my sorrow
It’s all because of humans,
With no brain, with no mind.
It’s all because of humans,
With no feeling, with no heart.
So, I keep your body on my sorrow
And I keep your body on my sorrow
I keep your body on my sorrow
And I keep your body on my sorrow
Sudah bisa ditebak kan lagu ini tentang apa? Bahasanya sederhana. Liriknya tidak berlapis. Semacam metafora yang mesti dicari kemungkinan interpretasinya. Pertanyaannya, seberapa jauh tubuh Jecko dalam menerjemahkan ke dalam bahasa tubuh, malah bisa pula menjadi oposisi dari teks di atas.
Bentuk Kesedihan
Dalam diskusi berbeda Dendy manajer Soul & Kith membenarkan bahwa Sorrow adalah bentuk kesedihan Aik karena tanaman koleksi, yang ia rawat dengan penuh kasih sayang, mati. Menurut cerita Dendy tanaman-tanaman itu ada di rumah yang dulu pernah ditempati Aik. Karena suatu alasan tertentu rumah itu disewakan kepada orang lain. Orang tersebut tidak merawat tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar rumah. Aik berulang kali datang untuk merawatnya hingga akhirnya berujung pada kematian.
Saya pribadi merasa takjub kepada Dendy yang merajut peristiwa malam itu menjadi satu pertunjukan sistematis. Di tangannya fragmen peristiwa yang sebenarnya berdiri sendiri dapat berjalan sedemikian rupa hingga penonton pun tidak mengalami penurunan emosi.
Ibarat dalam sebuah pertunjukan teater realis, sutradara harus pintar-pintar menakar emosi pemainnya. Agar pementasan secara keseluruhan dapat dinikmati oleh penonton baik secara logika ataupun keterlibatan emosi. Contohnya seperti adegan ketika Jecko usai merespon puisi Aik, kemudian Jecko berjalan menuju panggung satunya untuk mengarahkan penonton menonton video klip Sorrow.
Dengan takaran dan permainan lampu yang sedemikian rupa Jecko berjalan perlahan seperti tubuh yang kehabisan tenaga terakhir. Penonton menyibak jalan untuk Jecko, perlahan tubuh penonton pun mengikuti arah Jecko berjalan menuju layar, tempat video klip akan di putar.
Lalu… jreeeeeeng! Video hidup, Jecko melipir keluar panggung, penonton tepuk tangan. Saya pun berdecak, lalu bergumam, “Sial, ini bagus.”
Kenapa teknis menjadi penting? Saya jadi teringat kritikan Gde Yudana usai menonton pementasan Capung Hantu yang saya garap secara kolektif tahun 2018. Waktu itu Bli Gde, begitu saya memanggilnya. menjelaskan panjang bagaimana teknis, hitungan,serta kerja sistematis yang terukur menjadi penting setelah gagasan dan ide rampung.
Gagasan dan ide boleh saja tinggi-tinggi, tetapi jika teknis penyajiannya tidak terukur ya sama saja bohong. Apalagi jika membicarakan seni pertunjukan semua ada hitungan rinci. Tidak boleh kendor. Jika kekendoran terjadi, niscaya pertunjukan akan membosankan, lebih parahnya ditinggal penonton.
Mungkin framing pemikiran Bli Yudana mempengaruhi sistematis kerja saya dalam menilai pertunjukan,
Kembali lagi pada Sorrow dan konteks hari ini, saya dan Dendy membicarakan bagaimana manusia tahun 2020 mengalami penjara sosial semasa pandemi lengkap dengan efek samping yang diakibatkannya. Baginya 2020 hanya berjalan begitu saja, tanpa ada kejutan karya apa-apa. Namun, acara itu menjadi bukti bahwa dirinya tidak pasrah dalam menelisik keadaan yang kian mencekik ini.
“Tahun ini (2020) semua rencana jadi kacau. Mungkin acara ini adalah yang bisa kita garap sebelum tahun ini berakhir. Aku bela-belain ngerjainnya,” kata Dendy.
Saya dan Dendy bertukar cerita tentang tanaman-tanaman yang naik daun semasa pandemi. Selama masa pandemi yang mengharuskan kita diam di rumah, salah satu kegiatan yang paling dominan adalah mengoleksi tanaman. Saban waktu jika memperhatikan instastory banyak kawan-kawan kita yang mengunggah tanamannya dengan kalimat “good morning”, “halo apa kabar kalian hari ini, ayo berjemur”, “Koleksi terbaru di teras”, “Biar kayak orang-orang” dan kalimat lainnya.
Jauh sebelum tanaman ngetop di Instagram, fenomena mendomestifikasi tanaman liar sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Anggap saja semua tanaman hari ini yang kita kenal adalah hidup di hutan. Kemudian manusia masuk ke hutan, melihat satu jenis tanaman indah, lalu mengambilnya merumahkannya, mewadahinya dalam sebuah pot kemudian ditaruh di bagian rumah agar terlihat hijau.
Tidak hanya tumbuhan domestifikasi ini pun terjadi pada hewan. Sebut saja anjing, ular, laba-laba, gecko, serta sebangsa reptil. Domestifikasi alias upaya merumahkan tanaman dan binatang liar itu, hari ini bahkan telah menjadi industri.
Remah Proses
Kendati malam itu berjalan dengan baik dan mendapat tepuk tangan riuh penonton, saya mencatat ada beberapa hal yang sebaiknya dimatangkan pada kolaborasi selanjutnya. Pertama, saya tidak melihat hasil-hasil lukisan dari elaborasi Sorrow hadir dalam panggung pertunjukan. Padahal itu merupakan teks penting yang dapat menguatkan ide dan gagasan kolaboratornya. Sebenarnya lukisan itu bisa dialihwahanakan menjadi video mapping, atau gambar-gambar bergerak yang ditembak ke bidang lingkaran di panggung.
Apakah sebagai visual saja? tentu tidak, itu bisa saja dikatakan sebagai remah proses, pecahan-pecahan teks diluar panggung yang barang tentu mampu menguatkan.
Kemudian saya mencoba menarik simbol-simbol pada video klip yang diluncurkan malam itu dengan pementasannya. Saya baru tahu pada video klip Jecko berperan sebagai petani, tetapi di pementasan Jecko menjadi makhluk putih bebas interpretasi. Simbol-simbol dalam video klip cukup menarik untuk ditelisik seperti alat penyiram bunga, dua pohon kering, seorang yang berpakaian rapi.
Sekali lagi sayang simbol-simbol tersebut tidak ditarik keluar menjadi pementasan. Jika saja itu dilakukan, pementasan dan video klip akan memiliki satu tarikan imajinasi di kepala penonton. Aaaah mungkin ini hanya saya yang berpikir begitu. Kali saja kawan-kawan kolaborator memang ingin pementasan dan video klip tidak bergandengan kemudian menjadi peristiwa berbeda.
Hari sudah larut, usai pertunjukan Jecko dan Soul & Kith ada sejumlah band yang turut andil memeriahkan. Saya ngeloyor ke ruang pameran, melihat sejumlah karya-karya yang masih ada kaitannya dengan lagu Sorrow. Setelah berpikir sejenak saya mendekati Dendy untuk menanyakan satu hal di atas.
“Den, pertunjukan tadi apik, tapi ada satu hal yang mengganjal di kepalaku. Kenapa lukisan-lukisan di dalam tidak ada di konten pertunjukan yaah? Padahal mereka hadir karena Sorrow. Jadinya, lukisan-lukisan seolah terlepas begitu saja. Tidak ada garis merahnya secara bentuk,” kata saya agak berteriak melawan suara musik sedang mengalun di panggung.
“Iya ya. Kenapa ya? Itu masukan untukku. Artinya perkawinan mereka (Jecko dan Soul & Kith belum erat),” ujar Dendy sambil menatap saya.
“Semoga ada kolaborasi selanjutnya,” kata saya dalam hati. [b]
Comments 1