Pembatasan tak membungkam suara solidaritas Efek Rumah Kaca.
Kami bersua rombongan Efek Rumah Kaca (ERK) dalam waktu sempit di pasar ikan Kedonganan. Mereka akan tampil di Soundrenaline, konser megah tahunan yang kali ini diadakan di Garuda Wisnu Kencana.
Soundrenaline selalu mengundang band yang menggunakan potongan liriknya menjadi nama grup pada 2005 ini.
Sebelum dalam formasi ERK, nama-nama yang coba dipakai adalah “Hush” dan “Superego”. Kini formasi resminya adalah Poppie Airil (gitar) yang akhirnya resmi bergabung bersama Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (vokal latar, bass), Akbar Bagus Sudibyo (drum, vocal latar).
Aturan di atas panggung tertulisnya melarang provokasi penonton dengan memakai sesuatu atau menyuarakan isu berunsur politik lokal, nasional, dan internasional. Namun, ERK menunjukkan kualitas dan integritasnya. Menggunakan musik untuk bersuara. Mereka menyiasatinya dengan bicara lingkungan, termasuk soal reklamasi Teluk Benoa.
Dengan segala pembatasan selama pertunjukan, ERK tetap menunjukkan solidaritasnya. Lagu “Udara”, yang lahir untuk menghormati Sang Pejuang Munir, mereka nyanyikan sebagai dukungan pada gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa.
Wawancara ini dilakukan setelah letih berangsur menguap. Setelah Soundrenaline, mereka lanjut “Tiba-Tiba Suddenly Konser” di Jakarta, lalu Cholil dan istrinya Irma Handayani kembali ke Amerika Serikat untuk studi doktoralnya.
Bagaimana respon panitia dan tim ERK atas kejutan “orasi” singkatnya saat memulai “Di Udara”?
Panitia? Sepertinya banyak pihak yang terlibat dalam kepanitiaan Soundrenaline. Kalau yang dimaksud dengan panitia adalah tim keamanan, maka setelah melakukan “orasi”, kami baik-baik saja dan tidak mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan/ancaman dari mereka. Kalau yang dimaksud dengan panitia adalah dari pihak EO, maka kami pun tidak mendapatkan protes dari mereka.
Kalau yang dimaksud dengan panitia adalah tim komunikasi Soundrenaline, sebenarnya tidak ada respon yang berlebihan juga. Namun ketika konferensi pers setelah manggung, ada wartawan yang menanyakan tentang “orasi” itu dan sepertinya tim komunikasi belum mengantisipasi kemungkinan pertanyaan itu sehingga seperti terjadi kebingungan apakah pertanyaan tersebut harus dijawab atau tidak oleh kami, walau akhirnya kami jawab.
Apakah kalian sering bersiasat dalam panggung lain yang membuat syarat tentang larangan bicara politik? Bagaimana ini didiskusikan dalam tim?
Iya sih, sebelumnya kami sudah membuat setlist, lagu “Di Udara” akan kami bawakan sebagai lagu ketiga. Namun karena adanya larangan membicarakan politik, dan kami memang ingin mendedikasikan lagu tersebut untuk ForBALI, maka kami ubah setlistnya, lagu tersebut menjadi lagu ke enam, sehingga apabila diberhentikan, kami sudah cukup puas bermain dan penonton juga sudah mendapatkan waktu yang cukup lama untuk mendengarkan musik kami. :D.
Setelah mengubah setlist, lalu kami informasikan ke semua teman akan kemungkinan pemberhentian aksi panggung kami. Semua telah siap mengambil segala kemungkinan dan konsekuensinya. Lalu, terjadilah.
Ini hal penting dalam mempraktikkan kebebasan berpikir dan bersuara yang diusung dalam lagu ERK?
Penting sih, makanya kami berani ambil risiko. Agak kesal juga, banner yang melarang pengisi acara untuk melakukan beberapa hal ditempatkan di berbagai sudut, seperti pintu masuk ruang tunggu pengisi acara, tempat makan pengisi acara, di depan pintu toilet pengisi acara dll.
Akibatnya, ke manapun kami berada, selama di ruang tunggu pengisi acara, kami sepertinya bisa membaca laranagan itu. Mungkin, “panitia” ingin memastikan bahwa tidak ada alasan untuk tidak mematuhi tata tertib karena sudah diingatkan berulang kali dan peringatannya sudah ditempatkan di berbagai tempat.
Mengamati banyak pembatasan ekspresi akhir-akhir ini di Indonesia?
Sebisa mungkin iya, walau tidak terlalu mendetail tahu persis berbagai isu tersebut.
Apakah ini bisa jadi obrolan tim yang menarik saat berkarya?
Pastinya, karena itu adalah masalah kita semua. Cepat atau lambat akan menghantam banyak orang dari kita.
Lagu “Merdeka” mereka memberi perhatian pada suara-suara warga yang mulai mempertanyakan hak atas sumber daya alamnya?
Iya. Bagaimana eksploitas sumber alam tidak berkontribusi atau menguntungkan bagi wilayah yang dieksplorasi dan tidak mempertimbangkan keberlangsungan ekologi daerah tersebut.
Simak lirik lagu Merdeka:
(Darat laut udara milik siapa.
Hajat hidup dan harkatnya untuk siapa.
Mengais tanah, membentur langit kami bertanya.
Mengering darah memutus cinta banyak saudara.
Kami bertanya.
Di manakah tanah serta mata airnya?
Di manakah rumah serta bahagianya?
Miskin takut dan terjajah karena penjara.
Makmur aman dan sentausa karena negara.
Berpeluh jagung berkeluh kesah kami berharap.
Beribu tahun beranak pinak tanpa terlelap.
Kami bertanya.
Di manakah tanah serta mata airnya. Mendambakan rumah hati lega rasanya.
Kami adalah orang yang merdeka.
Kami hidup dalam kebebasannya.
Damai lahir batinnya)
Peristiwa apa yang memicu Adrian membuat lirik “Merdeka”?
Kami bertukar pikiran, apakah kami sudah “merdeka”? Bagaimana dengan yang pelanggaran HAM yang masih terjadi sampai saat ini di Indonesia? Bukankah kita tidak memerdekakan banyak orang? Hingga, tentang perlakuan pemerintah terhadap Papua, yang terjadi belakangan ini. Dari situ, Adrian menuliskan lirik “merdeka” sesuai dengan karakter penulisan lirik dia.
Ada kolaborasi dengan simpul-simpul gerakan lingkungan mungkin nanti?
Untuk sementara ini belum ada. Kami sedang menyesuaikan diri dengan kepergian Cholil untuk yang kedua kalinya ke US, apa apa saja yang bisa kami lakukan baik dalam hal bermusik ataupun aktivisme.
Bagaimana caranya agar warga bisa mengajak ERK untuk berkolaborasi?
Biasanya dengan mengajukan tawaran kerja sama (bisa melalui email, whatsapp atau telepon) tentang kegiatan apa yang ingin dilakukan. Lalu biasanya kami akan membahas topik tersebut untuk menjajaki apakah kami mampu melakukan itu atau tidak. Nanti akan kami kontak lebih lanjut tentang kebersediaan atau kemampuan kami tersebut. Hanya itu. [b]