Oleh Luh De Suriyani
Ratusan pelajar siswa Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Harapan Denpasar merayakan bulan bahasa dengan mengekspresikan kritik dan kebebasannya berpendapat tentang pengajaran bahasa di sekolah lewat 22 buah majalah dinding. Sebagian siswa berpendapat pengajaran bahasa seperti Bahasa Indonesia dan Inggris masih menjemukan dan kurang komunikatif.
”Pelajaran Bahasa Indonesia Nggak Cool”, demikian salah satu judul tulisan siswa dalam majalah dinding (mading) yang dilombakan.
Melly, siswa kelas 2 SMAK Harapan menyatakan hanya 2 dari 30 orang teman yang disurveinya menyukai pengajaran bahasa di kelas. ”Banyak yang bilang pelajaran bahasa lebih banyak teori dibanding praktek, jadinya membosankan,” tulisnya dalam artikel di mading. Selain itu, banyak siswa merasa tidak mendapat manfaat dari pelajaran, terutama bahasa Indonesia karena sudah digunakan dalam keseharian.
Demikian pula hasil survei Valentine, kelas 3 SMAK Harapan. Ia melakukan pooling dengan 80 responden siswa. Hasilnya, 63% mengatakan siswa lebih menyukai menggunakan bahasa gaul dari pada bahasa Indonesia baku. ”Mereka merasa lebih nyaman dan bebas mengutarakan keinginannya,” catat Dewi.
Sementara soal pengajaran Bahasa Inggris juga diamati oleh Dewi Indrawati, kelas 2. Ia menyebut beberapa hambatan pengajaran Bahasa Inggris di kelas antara lain pelajaran lebih ditekankan pada tata bahasa, bukan percakapan. Juga karena kosa kata yang diajarkan tidak terlalu berguna dalam keseharian serta jarangnya guru berbahasa Inggris saat mengajar.
Sebanyak 22 kelas dari kelas 1 sampai 3 di SMAK Harapan mengikuti lomba mading yang dilaksanakan sekolah dalam rangka Bulan Bahasa, bagian peringatan Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober. Selain lomba mading, juga dilaksanakan lomba pidato dan debat soal topik yang sama.
Lomba mading paling banyak menyedot perhatian karena mengeksplorasi seluruh kemampuan siswa dari seni menggambar, membuat kartun, layout, menulis, dan membuat karya sastra. Setiap kelas membuat sebuah mading dengan fokus bahasan ragam bahasa dan globalisasi.
Topik ini dimanfaatkan sebagian siswa untuk menumpahkan pendapatnya soal kecenderungan praktik berbahasa siswa dan bagaiamana pengajarannya.
Ditya, siswa kelas 2 berpendapat bahasa gaul juga saat ini diakui sebagai bahasa perjuangan bagi teman-temannya selain Bahasa Indonesia. ”Bahasa gaul adalah alat perjuangan masa kini untuk menuangkan ide dan inspirasi,” tandasnya.
Semua kritik dan tulisan siswa soal kualitas pengajaran bahasa menurut Kadek Yudiasih, guru pelajaran Bahasa Indonesia membuka ruang untuk kontemplasi untuk guru, siswa dan pemerintah. ”Model komunikasi terus berubah. Anak-anak kini terbiasa menggunakan bahasa singkat ala SMS, ini mempengaruhi keseharian mereka,” ujar perempuan yang telah mengajar di SMAK Harapan selama 16 tahun ini.
Hambatan praktik bahasa diakui salah seorang guru pengajar ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah, Nuratni. ”Kelas jurnalistik sulit mendapatkan ruangan. Saya sampai memindahkan pelatihan ke warung,” keluhnya. Padahal jurnalistik adalah salah satu metode untuk mengaplikasikan wawasan bahasa dengan meindahkannya ke media komunikatif seperti majalah sekolah dan mading seperti ini.
Perayaan bulan bahasa menurut Nuratni juga bukan suatu yang populer, bahkan bagi guru. ”Kami harus menunjukkan prestasi untuk meyakinkan guru-guru lain bahwa kontes seperti ini dapat menggerakkan kreativitas siswa,” tandasnya. [b]
Versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat The Jakarta Post
Masih terbuka lowongan untuk menjadi guru Bahasa Indonesia yang BAIK dan BENAR
Bu yudi tu guru yg bagus kog cara ngajarnya bagus..
cuma ya itu namanya pembelajarn ada yg cepet nrima ada yg lamban..ada yg acuh…ada yg perhatian,,,
oia…SMAK HARAPAN bukan sekolah katolik…
tetapi kristen
SMA KRISTEN HARAPAN dulu widhya pura
Sebagai seorang guru matematika SMA, saya selalu menggunakan bahasa gaul kalo lagi ngajar ketimbang bahasa Indonesia yang baku.
Lebih kena deeeehh…
memang tidak bisa di percaya wkwkwkwkwkwk