Musik Rap Sokun keren, tak kalah merdu dari serial sing-off Tiktok Reza Darmawangsa. Namun karya rapper muda dari kawasan Siam Reap, cagar budaya dunia di Kamboja ini direspon dengan penjara.
Dengarkan saja musiknya di sini, tagline-nya The Rapper Khmer Real Hip Hop. Sudah ada 238 ribu yang menjadi pelanggan channel-nya (subscriber). Sokun baru bebas dari penjara pada 3 September 2021, setelah divonis bersalah, satu tahun penjara, dengan tuduhan melakukan penghasutan ke pemerintah pada 22 Desember 2020.
Ia ditangkap petugas keamanan yang menyamar dengan cara memesan jasa Sokun sebagai fotografer. Sokun menjual jasa fotografer wedding sebelum produktif membuat lagu dari belajar sendiri di Youtube. Ia putus sekolah karena miskin dan belajar skill fotografi dan merekam lagu secara otodidak setelah mengenal komputer.
Film ini dibuka dengan testimoni lugas. “Saya selalu mendengarkan lagu anak saya, untuk mengingat, untuk meredakan rindu,” Boun Nai, ibu Sokun mencacah batang pisang untuk pakan ternak. Ia hidup dari membuat pakan dan jual ayam.
Musik beat rap mengalun, membuat kita menggerakkan kepala mengikuti irama. “Di lingkunagan ini tidak ada yang berani melawan orang kaya yang kejam. Itulah cerminan kehidupan di negeri ini…”
Demikian satu kutipan lirik lagu yang membuka film fokumenter bertajuk Not Love Songs ini. Dimulai dengan kehidupan tempat tinggal orangtuanya di Seam Reap. Orangtuanya menunjukkan studio sederhana di kamar anaknya, isinya personal computer. Si bapak terlihat bangga pada anaknya yang menunjukkan bakat musik sejak usia 8 tahun.
Lagu menggugah ini direspon berlebihan sebagai penghasutan akibat regulasi yang dibuat pemerintah setempat. “Siapa yang suruh buat lagu, apa parpol yang didukung?” Itu beberapa pertanyaan interogasi pada Sokun.
Ia ditangkap pada 26 November 2020 bersama satu rekannya sesama musisi Thxera Kampuchea. Namun rekannya memilih minta maaf karena bersalah di pengadilan. Sedangkan Sokun disebut hanya minta keadilan. Pengadilan menolak bandingnya.
Film ini menyebut lebih 150 warga dituntut penghasutan pada 2020. Sutradara film ini, Jackson Brooke dalam testimoni mengatakan tak mudah menemukan anak muda yang berani bersuara. Apalagi keluarganya mendukung dan bersatu menghadapi ketidakdilan.
Sejalan dengan perayaan Internasional Hari Internet Sedunia, EngageMedia pada 30 Oktober 2021 meluncurkan Tech Tales: Films about Digital Rights in the Asia-Pacific, kumpulan delapan film yang mengangkat kisah hak asasi manusia di era digital. Dikutip dari lamannya, film-film tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik dan mengarahkan pandangan kritis pada isu-isu hak digital utama. Mulai dari pengawasan dan penyensoran negara hingga disinformasi dan pelanggaran privasi data, yang saat ini dihadapi banyak negara di kawasan Asia-Pasifik.
Kisah berikutnya dari Indonesia. Judulnya My Clouded Mind (Awan dalam Ingatan). Film pendek yang mengagetkan, menilik judulnya. Penyajian peristiwa dan konflik kekerasan berbasis online yang diramu melalui chatting. Apa pilihan subjek sebagai solusi atas persoalan laten ini? Film ini memberikan alternatifnya.
Dari Thailand, ada film Patanni Calling. Kita di Indonesia juga merasakan bagaimana surveilance dilakukan negara. Namun, di sebuah daerah yang terus berkonflik terkait etnik ini, warga dipaksa registrasi kartu SIM ponsel untuk akses internet dengan cara pindah wajah atau biometrik, selain hanya KTP. Masalahnya kenapa hanya di kawasan Pattani saja?
Pembatasan akses internet di daerah konflik cenderung mempeluas konflik. Tindakan surveilance ini dinilai cukup represif dan menyulitkan resolusi damai. Sampai ada istilah digital rebel bagi warga yang menolak pemindaian wajah itu. Sebuah pembelajaran sangat penting karena di Indonesia juga ada beberapa peristiwa pembatasan internet di Papua.
Film pendek dari Malaysia berjudul The Offensive Internet juga sangat lekat dengan situasi Indonesia. Sebuah regulasi yang mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi dan membungkamnya dengan tuduhan pencemaran nama baik atau penghasutan. Contoh yang disajikan film ini adalah jurnalis dan kartunis yang sampai ditangkap 7 kali.
Sedangkan Film Filipina, Panulukan (Persimpangan) memiliki cara bercerita yang berbeda saking sensitifnya isu yang dikisahkan. Kebijakan tembak mati pengguna narkoba dan buzzer pencitraannya.
Demikian juga film Appa and Invisible Mundu. Salah satu sudut pandang unik untuk menjelaskan cara kerja jebakan pengumpulan data pribadi dari aplikasi-aplikasi atau laman yang kita akses setiap hari.
Jen Ternate dari Engage Media yang hadir dalam sesi diskusi di penayangan oleh Minikino di MASH Denpasar pada 15 Januari 2022, mengatakan serangkaian film ini diproduksi selama pandemi, karena itu tiap sutradara memilih karya yang sangat bervariasi. Selain itu tidak banyak film tentang hak-hak digital di Asia.
Annisa Adjam, sutradara film My Clouded Mind mempelajari banyak hal terkait kekerasan berbasis gender online dalam penggarapan film ini bersama komunitasnya Intimate.
Para sutradara lain film ini adalah Richard Soriano Legaspi (Panulukan), Varun Kurtkoti (The Invisible Mundu), Vijitra Duangdee (Pattani Calling), Yihwen Chen (The Offensive Internet), dan Jackson Brook (Not Love Songs). Film-film ini bisa disimak online.