Pulang, memiliki beragam arti dan pemaknaan bagi masing-masing individu.
Pulang yang secara harfiah berarti kembali ke rumah asal, dapat juga dimaknai lebih dalam sebagai kembali ke mula yang hakiki. Tema itulah yang coba dihadirkan Bentara Budaya Bali.
Sinema Bentara ini, berlangsung Jumat dan Sabtu besok di Bentara Budaya Bali Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No. 88A, Ketewel, Gianyar.
Film-film yang dihadirkan secara langsung maupun tersirat mencerminkan tema “Pulang” dalam artinya yang sederhana maupun simbolis, yaitu sebuah upaya kontemplasi atau mulat sarira.
Sinema-sinema yang ditayangkan berasal dari Indonesia, Perancis dan Jerman. Misalnya Lemantun (Wregas Bhanuteja, 2014), Sebelum Pagi Terulang Kembali (Lasya F. Susatjo, 2014), 8 Femmes (François Ozon, 2002), Selamat Siang Risa (Inne Febriyanti, 2013), Almanya – Willkommen in Deutschland (Yasemin Samdereli, 2009-2011), dan Solino (Fatih Akin, 2002).
Menurut Juwitta Katriana Lasut, penata program Bentara Budaya Bali, Sinema Bentara kali ini terbilang istimewa. Selain menjadi penanda awal tahun, melalui tema “Pulang”, diharapkan dapat membuka ruang peremenungan dan perenungan diri menyongsong tahun 2015.
“Film-film yang diputar kali ini merupakan karya terpilih karya sineas Indonesia maupun mancanegara. Masing-masing dengan keunggulan jalan cerita maupun sinematografinya mampu menghadirkan pemaknaan yang kaya, memiliki daya haru sekaligus juga bernada kritis,“ ungkap Juwitta Lasut.
Memaknai pemutaran film ini, digelar pula sebuah diskusi sinema pada Jumat bersama penggiat dan pemerhati film, I Made Adnyana, S.H. Ia adalah seorang sutradara dan juga dosen Jurnalistik Penyiaran di Alfa Prima dan IKIP PGRI Bali.
Adapun program Sinema Bentara ini merupakan kerjasama Bentara Budaya Bali dengan Pusat Kebudayaan Perancis Alliance Française Denpasar, Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut, Anti Corruption Film Festival (ACFFest), KPK RI dan Udayana Science Club (USC).
“Salah satu film yang akan diputar, yaitu Lemantun, terbilang menarik. Film ini diproduksi secara indie, disutradarai oleh Wregas Bhanuteja. Mengambil fokus cerita yang sederhana, yaitu sebuah lemari, tapi kuasa membawa penonton pada alur cerita yang lebih kompleks, “ tutur Vanesa Martida, koordinator Udayana Science Club (USC).
Pada tahun 2014 lalu, Lemantun turut berkompetisi di ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival 2014, Electoral Risk.
Kontemplasi Melalui Sinema
Kebahagiaan sebuah keluarga hancur berantakan ketika ambisi akan uang dan kekuasaan pelan-pelan menggerogoti kehidupan mereka. Itulah yang coba digambarkan oleh sutradara Lasya F. Susatjo dalam film Sebelum Pagi Terulang Kembali, produksi Cangkir Kopi Production. Film unggulan AntiCorupption Film Festival (ACFFest) 2014 ini telah meraih Piala Dewantara kategori Film Cerita Panjang Bioskop di ajang AFI (Apresiasi Film Indonesia) 2014.
Diceritakan bahwa (Alex Komang) sebagai seorang pejabat pemerintah yang lurus, telah menikah dengan Ratna (Nungki Kusumastuti), seorang dosen filsafat. Kehidupan mereka diwarnai dengan kondisi ketiga anak mereka yang berbeda-beda: Firman (Teuku Rifnu Wikana), anak tertua, baru saja cerai dan masih menganggur. Satria (Fauzi Baadila), anak kedua, adalah kontraktor dengan ambisi besar untuk bisnisnya. Dian (Adinia Wirasti), anak terakhir, baru saja bertunangan dengan Hasan (Ibnu Jamil), anggota DPR yang haus kekuasaan.
Kehidupan mereka mulai terguncang saat Satria dibujuk Hasan untuk meminta “jatah” proyek pembangunan pelabuhan dari ayahnya. Proyek tersebut berhasil dimenangkan Satria, yang harus dibayar dengan jatuhnya reputasi Yan sebagai pejabat yang lurus. Keluarga ini pun harus tertatih-tatih membangun kembali keutuhan mereka sebagai sebuah keluarga.
Dalam sudut pandang yang agak berbeda, Selamat Siang Risa, disutradarai Inne Febriyanti, mencoba menegaskan bahwa kemiskinan tidak selamanya menjadi alasan bagi seseorang untuk melakukan korupsi atau kejahatan.
Tora Sudiro, seorang kepala keluarga yang hidup dari gaji pas-pasan, menolak melakukan praktik korupsi meski dengan godaaan rupiah yang menggiurkan. Prinsip hidup tersebut pun menurun dan menjadi laku kepribadian sang anak, Risa. Film ini merupakan salah satu dari Kompilasi Film Pendek Kita VS Korupsi (KvsK) pada tahun 2013.
Dua sinema tersebut tentulah membawa kita untuk merenung ulang tentang makna kebahagiaan dan nilai-nilai penting dalam keluarga.
“Pertanyaan-pertanyaan seputar rumah dan keluarga memang kerap kali mengganggu pikiran kita, namun melalui sinema segalanya seolah coba diuraikan dengan lebih runut, membawa kita ke wilayah permenungan yang mempribadi, “ ungkap Vanesa Martida.
Kemudian, pada masa yang sama sekali jauh berbeda, yaitu sekitar tahun 1950-an, di kediaman sebuah keluarga yang sedang bersiap-siap untuk natal, sebuah insiden terjadi saat seluruh anggota keluarga berkumpul, yakni kematian ayahnya yang tiba-tiba. Pelaku pembunuhan tersebut dicurigai merupakan salah satu dari delapan wanita yang berada di kediaman tersebut.
Film Perancis berjudul 8 Femmes ini disutradarai oleh François Ozon dan dirilis tahun 2002 silam.
Film ini telah meraih Golden Bear pada 52nd Berlin International Film Festival. Semua pemeran wanita film ini mendapatkan penghargaan Silver Bear. Film ini dinominasikan untuk duabelas kategori pada César Awards, termasuk kategori Best Film. Pada European Film Awards tahun 2002, film ini dinominasikan untuk 6 kategori pengghargaan termasuk Best Film and Best Director; dan memenangkan kategori Best Actress untuk kedelapan pemain perempuan dalam film tersebut.
Lalu, bagaimana sebuah keluarga memaknai tanah kelahiran atau kampung halaman? Juga persinggungan antar etnis yang hadir dalam kisahan keluarga pluralis.
Film Almanya – Willkommen in Deutschland (Almanya – Selamat Datang di Jerman), menceritakan tentang Hüseyin Yilmaz pada tahun 1964 yang datang ke Jerman dari Turki. Belakangan ia juga memboyong istri dan anak-anaknya. Kini cucunya menceritakan kisah keluarga mereka dengan penuh kehangatan dan humor – sementara seluruh klan sedang dalam perjalanan untuk berlibur di tempat asal-usul mereka.
Film yang disutradarai oleh Yasemin Samdereli ini mencoba menyiratkan bahwa di mana sebenarnya letak kampung halaman itu adalah pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh masing-masing anggota keluarga.
Tetapi, tahukah kita dari mana sesungguhnya Pizza dan Pasta yang kini dikenal di Jerman berasal?
Film berjudul Solino, karya sutradara Fatih Akin, akan membawa kita ke masa 1946, ketika keluarga Amato dari Apulia, Italia, pertama kali membawa pizza dan pasta tersebut ke daerah Ruhr di Jerman.
Film yang disutaradari oleh Fatih Akin ini menggunakan gambar-gambar yang sarat pesona nostalgia. Fatih Akin menguraikan epos sebuah keluarga yang berlangsung dalam periode 20 tahun. [b]