Ada fenomena menarik pasca Reformasi yang muncul di Bali yaitu soal bahasa.
Saya ingin menyebutnya politik (ber)bahasa. Kenapa? Karena fenomena ini bukan semata-mata soal kebahasaan namun ada dimensi politis tersirat dan tersurat di dalamnya.
Fenomena tersebut adalah sebuah proses politik, dalam konteks apa, siapa dan bagaimana bahasa dan aktivitas berbahasa (baru) itu muncul. Terdapat soal relasi kuasa di sana dalam hal apa, bagaimana dan siapa yang mengkonstruksi dan mendefiniskannya.
Kronologisnya kira-kira demikian:
Pertama, dimulai dengan percaya diri berlebihan sebagai wilayah, entitas, etnis, agama dan lain-lain yang spesial, berbeda yang berarti lebih unggul dari yang lain.
Kedua, lama kelamaan kok lain yang konstelasinya, muncul asumsi dieksploitasi, kita cuma dijadikan kayak MSG aja ya.
Ketiga, mulai muncul proses kecemburuan (jealousy). Sudah merasa penting jadi pemanis tapi kok penghargaan gak sepadan, demikan kira-kira isi otaknya
Keempat, mulai ada muncul rasa rendah diri di dalam diri namun keluar munculnya tetap percaya diri berlebihan.
Kelima, kehilangan akal memunculkan jalan pintas dalam wacana dan reaksi. Pokoknya anti-luar. Muncul juga reaksi merasa pintar dan unggul dengan membuat wacana tandingan terhadap wacana dominan yang dicemburui.
Wacana dan praksis yang muncul tersebut sifatnya reaktif dan menduplikasi dari wacana dominan yang coba dilawan.
Keenam, wacana dan praksis tandingan ini kemudian dikonstruksi seolah-olah sudah ada dahulu kala dan mendahului “mereka yang dilawan”. Sudah ada dalam manuskrip dan praksis dahulu kala di Bali.
Nah ini nyalahin yang lain lagi karena dibodohi maka melupakan ajaran leluhur ini. Sekaranglah kesadaran ini muncul dan dikampanyekan besar-besaran seiring kebebasan berbicara dan hak daerah bersuara.
Konteks
Saya masih ingat pertama kali orang-orang di kampung saya kebingungan saat seorang saudara yang tinggal di Denpasar menyapa mereka dengan salam “Om Swastyastu” sambil mencakupkan tangan di dada. Tidak terdengar suara balasan Om Swastyastu kecuali senyum dan nanya apakah semua anggota keluarga pulang kampung atau tidak.
Bagaimana konteks peristiwanya kala itu? Saya tidak ingat persis waktunya tetapi saya ingat saat itu kira-kira di tahun 2002. Bali sedang ikut euforia Reformasi yang beberapa tahun sebelumnya menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan. Kebebasan berpendar dan daerah-daerah berlomba-lomba, sekuat-kuat, kadang serakus-rakusnya mereguknya.
Media juga sedang berlomba menikmati kebebasannya terutama media di daerah. Era media televisi daerah muncul dengan semarak dan seperti hampir kayak jamur di musim hujan. Semangat kedaerahan yang saling berjalin berkelindan dengan etnisitas, agama kemudian berkobar dan sering membawa bara untuk kemudian meninggalkan arang seperti di Ambon, Poso.
Adalah sebuah televisi swasta lokal bernama Bali TV yang banyak mempromosikan semangat kedaerahan itu di Bali sesuai dengan tag line mereka yaitu Matahari dari Bali. Acara-acara bernuansa agama dan adat (Bali) mendominasi siaran Bali TV dengan berbagai variannya.
Kiranya salam Om Swastiastu juga turut dipopulerkan oleh Bali TV ini dalam setiap siarannya ketika memulai acara. Program acara Dharma Wacana di Bali TV kiranya program yang paling penting dalam memperkenalkan istilah-istilah dan wacana Hindu ini ke masyarakat lebih luas.
Persoalan politik bahasa pasca Reformasi ini kurang mendapat perhatian kalangan kampus dan cerdik pandai di Bali. Seringkali dan kiranya masih dominan wacana yang tidak saling tegur sapa atau istilah akademiknya monodisiplin digunakan di kampus dan dikalangan cerdik pandai di Bali dalam melihat sebuah persoalan.
Mereka kiranya tidak terlalu ingin belajar dan memakai pendekatan multidisipliner dalam analisis mereka. Fenomena bahasa misalnya hanya dilihat sebagai persoalan bahasa dengan berbagai aspeknya an sich tanpa melihat bagaimana konteks bahasa itu muncul, perkembangannya dan siapa yang mendefiniskan bahasa tersebut?
Munculnya term-term Hindu baru pasca Reformasi seperti Om Swastiastu, Astungkara, Sampun Memargi Antar misalnya sangat naïf kalau hanya disebut sebagai dampak sebuah perubahan kebahasaan. Alasan bahwa kesadaran baru muncul, bahwa baru sadar bahwa kita punya istilah sendiri yang otentik kenapa meminjam punya orang.
Dengan kata lain argumen ini ingin mengatakan selama ini kita tidak sadar, tidak menghargai punya sendiri atau lebih jauh menuduh dikelabui orang lain (pihak sana). Alasan dan argumen seperti itu selain naïf juga ahistoris. Seperti saya sampaikan di atas cek saja kronologis kemunculannya dan verifikasi dengan penuturnya, apakah mereka familiar atau tidak.
Polemik
Perdebatan di ranah akademik sejak lama sudah muncul polemik antara para akademisi filologi (studi naskah klasik) dengan akademisi antropologi-sosiologi. Yang satu mendasarkan pada teks sementara yang satunya lagi mendasarkan apa yang terjadi di masyarakat. Dalam istilah lain antara yang mendasarkan pada doktrin dengan yang mendasarkan pada apa yang dipahami dan dilakukan secara turun temurun oleh masyarakatnya.
Terkait dengan term-term Hindu baru pasca Reformasi seperti yang disebutkan di atas, kaum filolog akan bilang ahh itu bukan fenomena baru dan bukan menduplikasi semangat “pihak sana”. Itu semua sudah ada disebutkan di naskah-naskah klasik Hindu-Bali, tapi karena dulu dimonopoli oleh sang cerdik pandai, kaum Brahmin makanya tidak dikenal luas masyarakat Hindu-Bali. Kan naskah-naskah klasik Hindu-Bali hanya ada di puri-puri dan griya-griya dan ada tabu-tabu yang dibuat supaya orang kebanyakan tidak mempelajarinya, istilahnya Ajawera atau pamali kira-kira.
Sementara para antropolog-sosiolog akan bilang, kenyataannya itu yang terjadi di masyarakat Hindu Bali kok. Orang-orang tua banyak yang gak kenal apa itu Om Swastiastu, apa itu Puja Tri Sandya, apa itu Astungkara. Nah yang penting kemudian apakah yang tertulis di naskah-naskah itu atau apa yang dipercaya, diyakini dan dilakukan oleh masyarakat Hindu-Bali secara turun temurun.
Terlepas dari siapa yang benar di antara polemik di atas, konteks yang terjadi pasca Reformasi di Bali berkembang semacam sindrom minoritas. Semacam rasa tidak pede sebagai minoritas akibat perlakuan yang tidak adil selama ini oleh negara. Namun menariknya terkesan bukan negara yang diajak ribut tetapi menyalahkan yang lain.
Ada persepsi bahwa yang lain itulah penguasa penuh negara. Misalnya dalam istilah Jawanisasi negara Indonesia selama masa Orde Baru karena Soeharto orang Jawa atau Islamisasi negara Indonesia belakangan ini.
Faktanya banyak kok Jawa yang dibungkam, dihilangkan oleh rezim Soeharto demikian pula muslim yang dibunuh juga tidak kurang di masa Orde Baru. Konflik vertikal yang seharusnya melawan negara dialihkan menjadi konflik horizontal, menyalahkan pihak sipil yang lain.
Tuduhan mengejek dan merendahkan seperti lewat istilah jelema dauh tukad adalah turunannya. Jelema luar (dauh tukad) yang datang naik bus ekonomi diperiksa, diejek, disalahkan tetapi yang datang lewat bandara disenangi. Turunannya maling kelas teri kadang bukan maling tapi dituduh maling karena sudah kena stereotip sebagai maling ditangkap dan dipukuli rame-rame. Sementara maling berdasi yang datang dengan pesawat, yang secara rakus mengeksploitasi Bali dipuja dan disembah.
Sindrom minoritas atau kalau ada yang mau menyebut inferioritas (ber)bahasa terkesan seperti anak-anak yang tidak mau kalah, sedang ribut untuk menunjukan diri paling unggul. Jadi superfisial, di permukaan konflik dan polemiknya dan tidak menyentuh substansi. Mereka (mayoritas) punya salam dalam agama dan dipake dalam kehidupan sehari-hari maka kita juga punya kok.
Sindrom minoritas dalam sikap tidak mau kalah ini seperti istilah Palugada (apa lu mau gw ada). Bahkan lebih otentik, lebih asli dan lebih klasik. Kan Hindu itu dulu agama mayoritas di Nusantara ini kira-kira begitu apologinya. Pokoknya kita lebih dulu punya, lebih asli dan karena secara licik kita dikalahkan (zaman Majapahit) dan dikebiri (zaman Orba).
Padahal, awalnya kita (Bali Hindu) paling pemuja Orba loh. Lihat saja siapa loyalis Orba yang tersisa. Lihat di perusahaan-perusahaan Soeharto dan anak-anaknya siapa yang paling setia di sana.
Jadi sudahkah Anda menggunakan (istilah-istilah) bahasa (Bali) milik sendiri dengan bangga? Begitu kira-kira baliho di dekat lapangan Buyung, jalan Gunung Agung Denpasar yang saya lihat beberapa tahun silam (entah sekarang masih ada atau tidak).
Kalo dilanjutkan akan seperti iklannya Mas Wowo dalam pemilu presiden 2014. Kalau bukan kita (orang Bali Hindu) siapa lagi, kalo bukan sekarang trus kapan lagi akan dipake bahasa Bali (termasuk istilah-istilah Hindu di atas).
Bagaimana dengan Anda? Nggih sampun… Astungkara sampun memargi antar (kota antar provinsi alias AKAP)… kata Nang Lecir. [b]