Seiring berembusnya angin tenggara dari Australia, Silampukau datang ke Bali.
Denpasar menjadi kota ketiga yang dikunjungi Silampukau pada 4 Juli 2015. Sebelumnya band ini menggelar tur rangkaian promo album Dosa, Kota, & Kenangan di Jakarta dan Bandung.
Kelelahan perjalanan yang ditempuh via darat dari Surabaya tidak mempengaruhi kualitas penampilan mereka. Menyusuri jalanan beraspal di pesisir timur pulau Jawa. Menyeberangi selat Bali (kapal mereka menabrak dermaga hingga kendaraan yang mereka bawa terpelanting). Kemudian melanjutkan perjalanan yang berkelok-kelok ke Denpasar.
Semua tak menyurutkan semangat kemandirian mereka guna berkenalan lebih dekat dengan publik Bali.
Pada malam pertama di Bali, Silampukau menyapa publik muda Bali di Fist Hangspot di Renon, salah satu pusat keramaian kota Denpasar. Mereka berbagi panggung dengan HiVi!, band pop yang sedang naik daun.
Malam berikutnya, Silampukau tampil bersama Pygmy Marmoset. Duo folk Bali beranggotakan Zenith Syahrani dan Sanjaya Adi Putra ini tampil lebih dulu menyapa pengunjung di Hari Ini Coffee and Bar. Mereka tampil dengan ceria dan hangat, menyenandungkan lagu-lagu dari album rilisan mereka di 2014, Kabar Dari Hutan.
Silampukau tampil menghibur dengan lagu-lagu dari album Dosa, Kota, & Kenangan. Grup folk Surabaya ini datang menyiarkan kabar dari tanah seberang. Bagaimana merangkai kisah kota dan segala macam penghuninya? Sebuah kota tentu terlalu besar untuk direkam dalam sebuah album. Namun, hal ini tidak menghalangi, tapi malah menunjukkan jenialitas Silampukau dalam menghimpun, merekam, dan mengisahkan kembali cerita-cerita penghuni kota.
Mereka bercerita tentang sebuah kota dari sudut pandang keseharian pelakunya. Dengan lantunan lirik-lirik syahdu, Silampukau menuturkan potret manusia urban dalam metropolis lengkap dengan segala keluh kesahnya.
Gaya tuturan dan pemilihan diksi mereka sedikit-banyak mengingatkan kita kembali pada awal kemunculan musik folk. Semenjak masa lalu semakin menjauh dan masa kini kian tak tergenggam, kehidupan kaum tanpa nama ini menjadi jalinan kisah biasa dari sudut-sudut ruang bernama kota. Dan dari sinilah pengembaraan ini dimulai.
Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
Dan tak terpahami ini
Tik tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik tok jam. Kini ku paham,
waktu sekedar hitungan yang melingkar,
kekal di kehampaan
O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.
Begitulah petikan lirik dari lagu pembuka dalam album mereka. Mengajak kita untuk rehat sekejap dalam kebosanan menjalani rutinitas harian. Alih-alih merenungi nasib yang terkutuk, kita diajak untuk melakukan perjalanan kembali menyusuri pelosok kota melalui mata dan jejak seorang flaneur.
Kisah-kisah pun mulai dituturkan tentang landmark tua, seperti lokasi pelacuran terbesar se-Asia Tenggara yang baru saja dibongkar, Dolly. Kisah tentang suatu tempat hiburan murah yang telah melewati masa jayanya, Taman Hiburan Remaja. Atau kisah senja seorang pemuda yang merenungi kepergian kekasihnya menuju metropolis Eropa. Dan pada jam-jam macet di jalan arteri penghubung utama pusat metropolis dengan kota-kota periferi penunjangnya.
Tema album Dosa, Kota, & Kenangan, tampaknya tidak terbatas pada balada. Kritik juga hadir, diam-diam, tentang pesatnya perubahan kota, di mana anak kecil tak lagi bisa bermain bola sejak tanah lapangnya menjelma gedung, disulap pemilik modal. Siapa sangka lagu tentang bocah kecil yang tak lagi bisa bermain bersama teman-temannya ternyata menyangkut ruang yang semakin terpinggir bagi kaum pekerja kota?
Sebagaimana yang telah sama-sama kita ketahui, kota Denpasar pun tak lepas dari perubahan yang didorong ramainya industri pariwisata. Ekses pembangunan yang tak terkontrol di selatan pulau Bali ini mungkin bisa kita temukan dalam usaha konglomerasi ibukota guna mengubah lanskap pulau ini sepenuhnya dengan rencana reklamasi teluk Benoa. Gemuruh suara penolakan bersanding dengan riuhnya musik di tempat hiburan di sekitaran Kuta dan Sanur.
Tapi bagi sebagian orang, kota seringkali hadir tanpa disadari atau bahkan disebutkan. Kehidupan monoton tampaknya berhasil membuat orang sering lupa untuk merefleksikan sejenak jejak langkah hidupnya. Silampukau hadir menyeruak pada ingatan kita akan kota yang tumbuh dan berubah bersama para penghuninya. Orkes Silampukau menyajikan senandung tentang kota, mengajak pendengarnya berjalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota lengkap dengan segala hiruk pikuknya.
Perantau yang mengadu nasibnya ke kota juga diceritakan kembali. Kaum urban, yang hampir pasti memenuhi pusat kota, dikisahkan kembali. Akan kerinduannya pada kampung halaman. Pada rumah yang menaungi masa kecil yang lampau. Secara ironis, kaum urban ini terdorong untuk menjadi pekerja-pekerja guna menghidupi dirinya yang justru membuatnya semakin menjauh dari rumah.
Duo Silampukau, Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, bukanlah orang baru di skena musik Surabaya. Kisah tentang para musisi indie, barangkali mencakup diri sendiri dan kolega-kolega mereka, juga tampil di album ini. Industri mayor hadir dalam representasinya yang paling kuat, televisi. Cerita jatuh-bangun, doa, harapan, dan cita-cita para musisi berhadapan tidak hanya dengan diri sendiri, tapi juga kerasnya jalur indie hadir dalam nyanyian doa yang sungguh jenaka.
Jika kita perhatikan, penunjuk waktu dalam album ini begitu detil. Pagi hari kita dibangunkan oleh dering alarm. Menjelang sore bocah-bocah bermain bola. Kemudian malam pun tiba:
Gelanggang ganas 5:15, di Ahmad Yani yang beringas. Sinar kuning merkuri: pendar celaka akhir hari. Malam jatuh di Surabaya. Maghrib mengambang lirih dan terabaikan, Tuhan kalah di riuh jalan.
Terang lampu jalanan menandai pergantian hari di mana hingar-bingar jalan raya bertambah celaka dengan kemacetan, menandai sebuah pertarungan yang lain lagi, pertarungan yang niscaya akan selalu ada di tiap jam yang sama, berulang tanpa henti dari hari ke hari.
Meski malam menyiratkan waktu yang lain, di sudut-sudut kota di mana ‘mentari sengaja ditunda’ dan ‘sang juragan’ siap menjajakan komoditas andalannya, orang-orang tua hanya bisa menunggu waktu sebelum menutup usia. Hanya menanti waktu dan merasa ditinggalkan oleh kehidupan.
Lantunan harmoni yang ditampilkan Silampukau mungkin memang merefleksikan perjalanan bermusik dari personelnya. Ruang kota yang memberikan inspirasi ini tidak melahirkan lagu semata, tapi juga lakon kehidupan kota yang lucu lagi menggelitik. Silampukau menyerap cerita-cerita ini seperti pendahulunya, Gombloh, menjadi ramuan padu yang apik dalam materi albumnya.
Lakon kehidupan urban Surabaya, yang semakin sesak oleh pertumbuhan gedung, kemacetan jalanan, dan berbagai aspek kehidupan kota sejalan dengan pertumbuhan Surabaya sebagai sebuah metropolis industri dan perdagangan. Begitu mengakar, tapi tak lupa mengemas dengan lantuan syair nakal dan jenaka.
Mungkin keriuhan ruang perkotaan inilah yang menjadikan komposisi album mereka kali ini begitu ramai. Proses home recording menuju kelahiran album mereka, diisi tak kurang dari 12 personel, dalam ensembel lengkap, memegang beragam instrumen bebunyian. Hasilnya adalah suatu harmoni lekat yang jauh dari membosankan.
Kehadiran Silampukau di Bali kali ini tak lepas dari peran Indra Gunawan (Igun), salah satu pendiri Memoria Record Store, yang mengajak grup folk Surabaya ini ke Bali. Igun, yang setahun belakangan ini sibuk mengelola toko sambil memprakarsai pagelaran musik, menyatakan bahwa skena folk, jika boleh disebut demikian, mulai mewarnai semenjak Dialog Dini Hari berhasil menarik perhatian publik.
Kali ini dia menggagas acara bertajuk Sunday Amigos I, sebuah inisiasi demi mengguratkan warna baru dalam skena indie kepada publik muda di Bali. Jika sebelumnya Igun terlibat dalam berbagai acara-acara yang menampilkan baik band lokal maupun nasional, kali ini pun Igun memprakarsai gelaran yang berhasil menarik atensi publik, yang dibuktikan dengan tak pernah sepinya penonton yang hadir tiap kali pentas Silampukau.
Rangkaian tur promo album mereka selama 3 hari ditutup dengan gigs yang lumayan dadakan di Beer House, Sesetan.
Sepanjang penampilan mereka di Bali, Silampukau hanya tampil bertiga, sekedar berteman gitar dan bass. Meskipun komposisi panggung kali ini tidak selengkap versi album, pesona mereka tidak berkurang, justru kekuatan penampilan Silampukau semakin tampak.
Mungkin saja, pada suatu waktu yang tak begitu jauh, mereka kembali menyambangi kita dengan seluruh kemegahan orkestrasi mereka. Kembali lagi melipur lara para pendengar setianya. [b]
Orkes Silampukau
@silampukau
www.silampukau.com