Oleh Anton Muhajir
Ngurah Gede Pemecutan melukis menggunakan titik-titik sidik jari. Teknik langka mirip pointilisme. Karyanya dikoleksi pejabat, termasuk Imelda Marcos.
Maksud hati mengajak temannya melukis, ternyata Ngurah Gede Pemecutan dibohongi. Teman itu bukan pelukis seperti dugaannya. Padahal saat itu, 9 April 1967, Ngurah sudah jauh-jauh dari rumahnya di Denpasar ke Kuta naik sepeda gayung. Parahnya lagi ban sepedanya bocor di tengah jalan. Ngurah terpaksa naik mengayuh, turun memompa ban, naik lagi, pompa lagi, begitu terus hingga sampai di Kuta.
Sampai di Kuta, mood untuk melukis itu hilang sudah. Lukisan yang dibuat Ngurah gagal terus. Karena kesal, kuas yang digunakannya dibiarkan saja di pasir. Dia hanya pakai jari-jari tangan mengaduk cat warna di palet. Jari yang penuh cat warna itu dipoleskan dan disentuh-sentuhkan pada kanvas. Ternyata, jadilah lukisan Tari Baris..
Ketika lukisan itu dilihat lebih lama, Ngurah merasa lukisan itu bagus juga. Sentuhan-sentuhan jari yang berhamburan di kanvas menurut Ngurah memberi dampak dan efek warna yang bagus. Eureka! Mantan ilustrator di harian Bintang Timur ini menemukan teknik baru. “Sejak itu saya lebih suka menggunakan teknik sidik jari,” kata pria keluarga Puri Pemecutan ini. Teknik sidik jari ini kemudian digunakan Ngurah hingga saat ini.
Lukisan Tari Baris yang dibuatnya di kanvas 55 cm x 75 cm itu jadi semacam monumen ditemukannya teknik sidik jari oleh bapak dua anak dan dua cucu ini. Ngurah menyebut teknik melukisnya sebagai teknik sidik jari karena dia mengunakan jari yang disentuh-sentuhkan pada kanvas. Sidik jari ini mirip cap jempol atau cap jari kalau bikin paspor.
I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, lahir 4 Juli 1936 di Denpasar, mengaku sudah senang melukis sejak SD. Setelah lulus SMA di Malang, Ngurah berniat masuk Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Karena sakit paru-paru dan harus opname, Ngurah terlambat mendaftar masuk. Namun naluri seni sejak kecil membuatnya terus menekuni seni lukis meski tak pernah mendapat pendidikan formal seni rupa. Kerjanya berganti-ganti. Pernah di pabrik tekstil, perusahaan negara, kurator seni rupa di Art Centre Denpasar, hingga desainer kerajinan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan Bali. Namun tiap ada waktu luang, Gede selalu menyempatkan diri melukis. Tetap dengan teknik sidik jari itu tadi.
Bekerja di bidang seni membuatnya kenal dengan pelukis Wayan Kaya, yang kemudian jadi pembimbingnya dalam melukis. “Beliau yang ngajari saya bagaimana mencampur cat warna dan mengatur kanvas,” kata Ngurah. Latar belakang ini pula yang membuatnya dipercaya mengatur lukisan di Istana Tampak Siring, Gianyar. Ketika ada tamu negara, saat itu zaman Soekarno, Ngurah bertugas memberi penjelasan tentang lukisan-lukisan yang ada di istana tersebut.
Tamu negara itu antara lain Jawahral Nehru, Norodhom Sihanouk, Ferdinand Marcos, dan Ratu Elizabeth. Ada juga presiden Jerman dan Uni Soviet, tapi Ngurah lupa nama mereka. Ditemani Joop Ave, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang saat itu sebagai penerjemah, Ngurah menemani tamu-tamu itu berkeliling melihat lukisan istana di dekat tempat pemandian tersebut. “Senang sekali saya bisa salaman dengan mereka,” kata Ngurah lalu tertawa.
Pada 1967, untuk pertama kali Ngurah ikut pameran bersama. Meski hanya memamerkan satu lukisan berjudul Legong, karya suami Sayu Alit Puspawati ini mendapat perhatian tersendiri karena teknik yang digunakan. Karya Ngurah mulai mendapat perhatian. Salah satunya dari majalah Horizon, terbitan Amerika Serikat pada 1969, yang mengulas karya Ngurah Gede Pemecutan. Majalah itu menyebut bahwa teknik sidik jari memang hal baru dalam dunia seni rupa. Pelan-pelan karya Ngurah pun dipamerkan di berbagai kota antara lain Surabaya, Jakarta, Hongkong, hingga Jerman. Ciri paling khas pada karya Ngurah adalah ribuan titik pada kanvas. Ribuan titik itu kemudian membentuk lukisan tertentu.
Sebelum menyentuh kanvas dengan ribuan titik, Ngurah terlebih dulu mewarnai kanvas sesuai yang diinginkan. “Kalau dibiarkan putih saja akan perlu waktu lama karena jadi dominan putih,” katanya. Setelah mewarnai kanvas, Ngurah membuat sketsa dengan kapur tulis putih. Sketsa kapur ini dilanjutkan sketsa menggunakan titik dengan sentuhan ujung jari yang diberi warna sesuai kemauan. Jika ingin warna pekat, Ngurah menekan keras. Tapi jika hanya warna agak cerah, menyentuhnya agak mengambang.
Ngurah perlu waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu lukisan. Untuk membuat lukisan Puputan Badung yang berukuran 3 m x 1,5 m misalnya, Ngurah perlu waktu 18 bulan. Lukisan ini memang paling besar diantara lukisan lain yang ada di Museum Sidik Jari milik Ngurah di daerah Tanjung Bungkak, Denpasar. Lukisan itu menceritakan pertempuran besar (puputan) antara tentara Belanda dengan rakyat Bali di depan Puri Denpasar pada 1906.
Tema lukisan Ngurah sendiri memang beragam. Tapi sebagian besar berbau tradisi Bali seperti pergi ke pura, gadis Bali, penari, hingga puputan. Ada pula tema hidup sehari-hari seperti petani, pasar, hingga mobil di jalan. “Kalau ada inspirasi datang ya saya melukis. Karena itu bisa apa saja,” katanya. Sekali melukis, Ngurah mengerjakan dua sampai tiga lukisan sekaligus. Alasannya, biar bisa sekaligus mewarnai beberapa kanvas yang punya warna sama.
Saat ini, sudah 624 lukisan yang dibuat Ngurah. Lukisan-lukisan itu disimpan di museum yang dibuka sejak 1993 tersebut. Museum ini satu areal dengan rumah yang ditempatinya sejak 1987. Selain tempat memajang ratusan karya, museum itu juga tempat anak-anak belajar tari atau musik tradisional.
Selain dari Majalah Horizon, pengakuan terhadap teknik sidik jari, sebagai teknik langka ini, datang juga dari kurator kelahiran Jerman Thomas U Freitag. Menurut Thomas, sidik jari sebagai alat melukis memang belum ada yang menggunakan. Aliran yang mirip sidik jari adalah pointilisme, teknik melukis dengan banyak titik. Pada pameran pointilisme se-dunia 1997, tak ada satu pun pelukis menggunakan sidik jari.
Meski demikian, Ngurah tak menyangkal bahwa dia juga terpengaruh pelukis-pelukis besar misalnya Walter Spies dengan corak, gaya, dan temanya serta Rembrandt pada pencahayaan maupun lukisan modern. “Awal melukis saya lebih senang melukis wayang Bima, Arjuna, maupun Rahwana karena pengaruh masa lalu,” akunya.
Dengan teknik dan tema itu, lukisan sidik jari mendapat tempat tersendiri di kalangan penggemar lukisan. Karya Ngurah misalnya dikoleksi mantan menteri ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, mantan presiden bank national Columbia Amerika Serikat Leo M Bernstein, hingga mantan lady first Filipina Imelda Marcos. [+++]
-tulisan ini pernah dimuat ketika masih bekerja untuk majalah GATRA-