Teks I Nyoman Winata, Foto Vivanews
Kalau saja Metro TV dan TV One tidak menyiarkan siaran langsung awal-awal terjadinya kerusuhan Tanjung Priok 14 April lalu, mungkin kerusuhan lanjutan yang kemudian membunuh tiga orang satpol PP tidak perlu terjadi.
Siang itu saya baru saja sampai di rumah untuk istirahat makan siang. Kebetulan rumah kontrakan saya berada dekat dengan kantor tempat saya bekerja. Sambil makan siang dengan istri, saya menonton berita di Metro TV. Stasiun milik Surya Paloh ini menyiarkan siaran langsung saat awal-awal kerusuhan di Tanjung Priok.
Gambar yang hadir di layar kaca dengan narasi reportase langsung sangatlah dramatik. Pasukan satpol PP sedang terlibat perang hebat dengan warga yang berada di dalam kompleks makam Mbah Priok. Hanya nampak lemparan-lemparan batu yang berterbangan dan pasukan satpol PP yang berusaha keras merangsek ke dalam kompleks makam.
Sampai di sini, gambar yang tampil belum begitu dramatik. Namun tiba-tiba ada segerombolan orang dari satpol PP terlihat menyeret salah satu warga keluar dari kompleks makam dan terlihat digebuki, ditendangi, dipukul. Sangat terlihat nyata warga tersebut berdarah-darah. Reporter lapangan melaporkan dengan suara panik nampak sedikit ketakutan. “Ya pemirsa nampaknya ada warga yang berhasil dibawa keluar oleh petugas. Warga itu dipukuli. Aparat saptpl PP memukuli warga itu yang nampaknya sudah lemah tak berdaya. Terus dipukuli…”.
Gambar lalu menunjukkan warga yang dipukuli itu dibopong dua orang dengan tubuh bersimbah darah lemas. “Ya pemirsa ternyata warga itu masih anak-anak… Sepertinya ia sudah meninggal…dipastikan satu warga telah tewas…” demikian kata-kata yang keluar dari mulut reporter wanita yang melaporkan kejadian secara langsung.
Lalu gambar menampilkan lagi setidak-tidaknya dua orang warga lagi yang dalam keadaan lemah berdarah dan terus ditendang dipukuli, bahkan diacungkan senjata tajam. Laporan langsung si reporter juga penuh dengan kata-kata dramatik. Bagaimana warga yang sudah lemah dipukuli, ditendang dan dibopong sekenanya bahkan diseret, Jelas menggambarkan betapa kasar dan kurang manusiawinya petugas Satpol PP.
Nafsu makan saya dan istri langsung jeblok karena gambar yang tampil berdarah-darah dan penuh kekerasan. Beberapa kali istri saya mengalihkan ke stasiun televisi lain. Namun karena saya penasaran sesekalipula saya kembali menonton saiaran langsung kerusuhan di Metro TV itu. Saya bersyukur karena nampaknya suasana yang ditampilkan mulai mereda. Satpol PP sudah tidak ngotot lagi merangsek kedalam Makam Mbah Priok. Gambar menampilkan satpol PP bergerumul menuju kendaraan yang membawa mereka ketempat itu.
Namun saya mulai risau lagi dan berpikir bahwa kerusuhan itu tak akan berakhir setelah reporter dilapangan mengatakan bahwa “….mereka ditarik mundur bukan untuk berhenti. Tetapi mereka hanya istirahat…”. Ini berarti setelah istirahat, Satpol PP kembali akan menyerbu, kerusuhan akan panjang. Tetapi karena saya harus kembali ke kantor, saya tidak tertatrik lagi untuk menonton siaran langsung dari Mtero TV itu yang juga disiarkan langsung oleh TV One.
Perkiraan saya ternyata benar, kerusuhan dan kekerasan di Tanjung Priok itu berbuntut panjang. Nampaknya warga di sekitar wilayah Koja marah setelah melihat ulah para satpol PP dari siaran langsung di televisi. Gambar-gambar kekerasan lengkap dengan darah-darah yang tidak tersensor menjadi sarana provokasi yang sangat hebat yang memacu cepat amarah Warga.
Terlebih lagi kali ini yang sedang ingin digusur (menurut Pemda DKI di renovasi) adalah makam tokoh yang oleh warga disebut sebagai penyebar agama Islam berpengaruh di pesisir Utara Jakarta. Ini berarti persoalan ini berkaitan dengan soal keyakinan. Jelas soal agama pastilah akan menjadi pemicu paling cepat kemarahan warga.
Akibatnya Satpol PP dan Polisi menjadi sasaran amarah warga. Saya tidak lagi menonton siaran langsung kerusuhan dari televisi ketika sore hari saya tiba di rumah. Hanya sekilas saya menyimak bahwa Satpol PP sedang dalam kondisi terkepung oleh warga yang marah. Bahkan menurut si reporter dari lapangan yang memyiarkan langsung sedang diupayakan evakuasi satpol PP lewat kapal laut milik Pelindo. Situasi nampaknya makin kacau dan korban tewas berjatuhan dari pihak Satpol PP. Sementara dari warga sepertinya tidak ada korban tewas seperti yang disampaikan reporter Metro TV saat siaran langsung pada siang hari di mana Satpol PP nampak memukuli warga.
Sementara itu anak kecil yang belakangan diketahui bernama Alvian yang diduga dan berkali-kali disebutkan telah tewas dari laporan si reporter metro TV ternyata masih hidup dan dirawat di RSCM. Ada sedikit keretakan di bagian kepalanya. Namun dari gambar di televisi nampaknya Alvian baik-baik saja dan segera akan sehat.
Menurut saya siaran langsung kerusuhan di Metro TV dan TV One terutama pada saa-saat awal merupakan bagian yang sangat memprovokasi warga. Amarah pun membuncah dan penyerangan terhadap Satpol PP menjadi demikian masif dan brutal. Isu agama menjadikan keburtalan massa semakin menguat. Siapa yang tidak akan marah menyaksikan bagaimana orang-orang yang mencoba mempertahankan makam tokoh penyebar agama diperlakukan bak binatang oleh Satpol PP?
Ini kekerasan yang dipicu oleh kekerasan lain. Sebuah peristiwa kekerasan yang disiarkan secara vulgar oleh dua staisun televisi nasional menjadi sarana provokasi yang luar biasa efektif. Siaran langsung itu telah membangkitkan amarah warga pada hari itu dan mungkin hingga hari ini terhadap satpol PP. Meskipun jelas korban yang tewas adalah yang dari Satpol PP.
Lalu saya pun berandai-andai, “Kalau saja dua stasiun televisi nasional yakni Metro Tv dan TV one tidak menyiarkan siaran langsung awal-awal terjadinya kerusuhan Tanjung Priok 14 April lalu, mungkin kerusuhan lanjutan (menjelang sore-malam) di Koja yang kemudian membunuh tiga orang satpol PP tidak perlu terjadi.” [b]
*Foto diambil dari Vivanews.
serba susah memang, inilah mungkin salah satu konsekuensi dari kebebasan informasi..