Duh, iya e. Jokowi kalah..
Saya menghabiskan 17 April siang di TPS 03, Celukan Bawang dengan Pak Eko, sekretaris kelompok warga Tolak PLTU Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Malam sebelumnya, saya ikut dengannya menonton film Sexy Killers di Taman Kota Singaraja.
Ketika sampai di sana sekitar pukul 12.45 WITA, warga sudah hampir selesai dengan proses pencoblosan. Sambil menunggu rekapitulasi jumlah surat suara dan warga yang menyoblos, saya duduk-duduk di depan rumah Pak Eko. Tembok rumahnya bergambar warna-warni. Jaraknya 50 meter di sebelah timur tempat pemungutan suara (TPS).
Obrolan kami ngalor-ngidul membahas seberapa seksi film Sexy Killers hingga cara menghindari mabuk laut. Dia pernah menggantungkan hidupnya dari hasil melaut.
“Saya tidak bisa berenang, Pak,” jawab saya waktu dia menawari untuk ikut mancing naik jukung.
Penghitungan jumlah suara dimulai pukul 13.45 WITA. Warga kumpul di sekitar TPS samping posko Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Ada yang jongkok di tanah, duduk di kursi plastik, berdiri menyandar tiang TPS.
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) masih kelihatan canggung. “Ini yang bikin gemeteran,” kata salah satu petugas penghitung suara sebelum penghitungan mulai.
“Jokowi!” orang yang lewat kadang-kadang berteriak, disambut tawa orang-orang yang duduk.
“Nomor 02,” petugas mulai menghitung kertas suara untuk pilpres, disusul teriakan ‘yeayy’ oleh semua yang hadir. Begitu pula waktu kertas suara dengan pilihan nomor 01 dibacakan.
Beberapa anak terlihat tegang pun para orang tuanya. Pemuda-pemuda terlihat mondar-mandir menghisap rokok sambil sesekali memeriahkan teriakan ‘yeay’.
Dari total 295 DPT dan 6 DPTb/DPK, 78 persen melakukan pencoblosan. Ada beberapa orang yang harus urung mencoblos karena hadir saat TPS sudah tutup.
Pak Eko memberikan keterangan, penetapan orang-orang yang memilih di TPS 03 ini dilakukan secara acak. Beberapa adalah warga yang tinggal di sebelah timur dusun yang mayoritas Hindu. Namun, banyak juga warga dari dusun di sebelah barat yang mayoritas muslim.
Waktu saya sampai di sana, sambil menunggu proses penghitungan suara, ibu-ibu berkumpul di warung seberang masjid sambil menyiapkan makanan. Ada 104 pemilih laki-laki dan 130 pemilih perempuan yang memberikan suaranya hari itu.
Mayoritas Prabowo
“Kandani kok, Prabowo presidenku (sudah kubilang, Prabowo presidenku),” seloroh seorang anak ke temannya. Teman itu menimpali dengan, “Duh, iya e. Jokowi kalah,” saat hitung-hitung surat suara pilpres usai dilakukan.
Prabowo mendapat 152 suara dan Jokowi 74. Delapan kertas suara lainnya dinyatakan tidak sah. Orang-orang tampak tenang sambil menunggu penghitungan suara untuk legislatif nasional dan daerah.
Baru kali ini saya ada di tempat dengan suara mayoritas untuk Prabowo. Padahal, 90 persen teman saya adalah Jokowi garis keras. Seperti di tempat-tempat lain, tengkar-tengkar di Facebook dan Instagram Stories tidak berlaku di kehidupan bertetangga.
Pak Eko sendiri bercerita bahwa selama masa kampanye, area rumahnya tak pernah gegap gempita oleh polarisasi kubu 01 atau 02. Semua biasa. Dia berpegang teguh pada prinsip “rahasia” dalam pemilu kali ini.
Dengan banyaknya penutur bahasa Jawa dan suguhan teh super manis, saya merasa seperti di rumah. Namun, agenda lain harus dilaksanakan. Sambil pamit pulang, saya mengingatkan beberapa saksi yang hadir di TPS, “jangan lupa makan, masih sampai malam!”
Perjalanan berlanjut ke Bedugul untuk bermalam sebelum kembali ke Ubud. Tempat menginap sebelahan dengan tempat rekap suara di kecamatan. Sayup-sayup, sekitar pukul 11.30 malam, terdengar proses verifikasi masih dilakukan. Pak Eko kasih kabar siang hari, dia melek di kecamatan sampai pukul 5 pagi!
Salam hangat untuk para petugas KPPS dan saksi-saksi yang sudah menjalankan tugas! [b]