Shaun si kambing lucu menyapa pengunjung pameran COP21.
Duduk di sofa, dia menyambut tiap pengunjung di stan Kota Bristol. Kambing berbulu putih yang cerdik dalam film Shaun The Sheep itu memang menjadi maskot di stan Bristol.
Bristol kota dengan penduduk sekitar 450 ribu orang di bagian barat Inggris. Jaraknya sekitar 2 jam perjalanan dari London.
Selama Konferensi Parapihak terkait Perubahan Iklim ke-21 (COP 21) di Le Bourget, Paris 28 November – 12 Desember 2015, perwakilan Kota Bristol hadir, termasuk Shaun. Mereka memajang informasi tentang bagaimana kota ini dinobatkan sebagai Ibu Kota Hijau (Green Capital) Eropa 2015.
Green Capital merupakan penghargaan terhadap kota-kota yang dianggap sudah menerapkan tata kota berkelanjutan terutama dari sisi lingkungan. Tiap tahun, kota yang mendapatkan predikat ini bisa berganti-ganti. Kota-kota lain yang pernah mendapatkan pencapaian ini antara lain Stockholm, Hamburg, dan Copenhagen.
Saya tertarik untuk tahu lebih banyak karena menurut saya relevan untuk Bali dan khususnya Denpasar. Karena itu, saya mampir stan Bristol untuk ngobrol dengan perwakilan dari kota ini.
Ruang pamer Kota Bristol berada di Green Zone lokasi COP 21. Selain Green Zone, lokasi lain adalah Blue Zone. Bedanya, Green Zone menjadi tempat para wakil masyarakat sipil maupun pemerintah yang ingin memamerkan program dan inovasi mereka terkait perubahan iklim.
Adapun Blue Zone menjadi arena inti COP 21. Kawasan ini tempat berbagai diskusi dan negosiasi terkait perubahan iklim yang dihadiri pejabat-pejabat tingkat tinggi. Hanya mereka yang terdaftar yang bisa masuk.
Green Zone lebih fleksibel. Siapa saja bisa masuk ke sini. Karena itu pula berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan aktivis organisasi non-pemerintah, menggelar aksi di sini.
Jika aktivis menggelar aksi, maka wakil pemerintah memamerkan program dan inovasi. Begitu pula perwakilan Bristol. Mereka menunjukkan kenapa kota mereka layak menjadi Ibu Kota Hijau Eropa 2015.
Paul Davies, Kepala Kantor Bristol di Brussels, Belgia yang menjaga stan mengatakan terpilihnya Bristol sebagai Ibu Kota Hijau Eropa 2015 karena kota ini dianggap berhasil menerapkan dan mempromosikan lingkungan berkelanjutan.
Ada tiga alasan utama. Pertama, kota ini telah mencapai standar tinggi dalam tata kelola lingkungan. Kedua, mereka memiliki ambisi besar dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Ketiga, dengan keberhasilan tersebut mereka bisa menjadi role model atau inspirasi bagi kota lain.
Menurut Davies, status itu dicapai melalui perubahan pesat selama sepuluh tahun terakhir. Mereka memulai dengan adanya semacam Dewan Kota (City Council) yang merencanakan pembangunan kota berwawasan lingkungan. Dalam Dewan Kota ini duduk perwakilan pemerintah dan, yang lebih penting, warga.
“Kami mendengarkan suara-suara warga karena mereka adalah pemilik kota sebenarnya,” kata Davies.
Dari perencanaan, pembangunan kota hijau diaplikasikan bersama para investor yang tak semata mengejar uang tapi juga keberlanjutan lingkungan. Tidak hanya di sektor-sektor klise semacam pengelolaan sampah tapi juga sektor publik lain seperti transportasi ramah lingkungan dan sumber energi berkelanjutan.
Perusahaan-perusahaan besar termasuk British Aerospace, Rolls Royce, dan Hewlett Packard menanamkan investasi di sektor-sektor tersebut termasuk, misalnya, membangun taman-taman kota.
Pemerintah kota memfasilitasi berbagai kelompok untuk terlibat menciptakan kota hijau ini. Ada sektor pendidikan, bisnis, energi, kuliner, transportasi, dan sumber daya alam.
Di sinilah peran Shaun si kambing cerdas itu. Shaun menjadi maskot dalam kampanye kota hijau, termasuk di antaranya melalui permainan online. Salah satunya Sustainable Shaun, permainan online untuk membangun kota ramah lingkungan tidak hanya bagi warga tapi juga bahkan untuk para hewan, termasuk teman-teman Shaun.
Silakan coba permainannya di sini.
Menurut saya, kampanye melalui game online semacam Sustainable Shaun ini bisa menjadi pelajaran menarik, terutama bagi anak-anak. Mereka bisa bermain sekaligus belajar tentang tata kota ramah lingkungan.
Komitmen
Pelajaran dari Shaun dan Bristol itu melengkapi pelajaran dari diskusi lain selama COP21. Salah satunya dalam sesi para gubernur dan wali kota yang berbagi dalam sesi visi kota-kota dunia terkait perubahan iklim.
Dalam sesi tersebut hadir antara lain mantan Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus tokoh utama dalam penanganan perubahan iklim Al Gore, Gubernur California Jerry Brown, Wakil Wali Kota Paris Patrick Klugman, Wali Kota Dhaka Mohammad Sayeed Khokon, dan lain-lain.
Salah satu poin penting dari diskusi tersebut kota-kota di negara berkembang justru yang paling mendapat dampak dari perubahan iklim. Selain karena mitigasi yang terbatas, kota-kota tersebut juga belum beradaptasi dengan baik.
Rose Christiane Ossouka Raponda, Wali Kota Libreville, Gabon di Afrika menyatakan tiap kota menghadapi tantangan perubahan iklim. Karena itu harus mulai menemukan solusi secara kreatif dan modern. “Kami punya teknologi tapi sangat mahal dan susah dilaksanakan. Kami memerlukan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim,” katanya.
Hal serupa dikatakan Wali Kota Dhaka, Mohammad Sayeed Khokon. Dia menyatakan sekitar 20 juta warganya tidak mendapatkan perhatian cukup terkait isu perubahan iklim. “Kami nyaris tidak terlihat dalam isu ini,” kata Khokon seperti mengemis perhatian di antara para pemimpin provinsi dan kota dunia tersebut.
Padahal, jika belajar dari Shaun, inisiatif adaptasi dan mitigasi perubahan iklim itu harus mulai dari warga dan pemimpinnya sendiri. Banyak hal sih bisa dilakukan tanpa harus tergantung pada bantuan.
Saya bayangkan di Denpasar atau Bali mungkin bisa diterapkan hal-hal sederhana untuk mewujudkan kota hijau ini. Transportasi publik ramah lingkungan, pertanian perkotaan (urban farming), pembatasan kendaraan pribadi, hingga pengelolaan sampah warga.
Hal-hal sederhana itu kemudian diikuti upaya-upaya lain dengan modal lebih besar. Misalnya, energi alternatif.
Tapi ya mudah di teori, belum tentu di tingkat aksi. Semua harus mulai dari sendiri. “Kalau mau mengubah lingkungan, maka harus mengurangi ego tiap warga,” kata Jerry.
Nah, itu yang sepertinya mudah tapi amat susah dalam praktiknya. [b]