Semua berawal dari ledakan dari dalam tanah. Bum!!
Layar memerlihatkan ledakan di lokasi tambang. Tanah membubung tinggi lalu meninggalkan debu beterbangan. Kendaraan pengeruk dan truk-truk besar hilir mudik mengangkut hasil ledakan: batu bara.
Dari Kalimantan, puluhan ribu ton batu bara mengalir terutama ke Jawa dan Bali, dua pulau paling rakus mengonsumsi energi. Mereka melewati jalur sungai, laut, sebelum tiba di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan batu bara sebagai sumber energi.
Sepanjang itulah, sumber energi bumi bernama batu bara itu membawa bencana. Dari hulu hingga hilir. Sexy Killers, film dokumenter terbaru rumah produksi WatchDoc dengan apik menarasikan bagaimana sumber energi itu menjadi pembunuh bagi warganya sendiri, terutama kelompok miskin dan pedesaan.
WatchDoc meluncurkan dokumenter sepanjang 88 menit ini pada Jumat (5/4/2019) lalu. Pada hari itu juga, berbagai komunitas di lebih dari 10 kota menggelar nonton bareng: Semarang, Samarinda, Surabaya, Kupang, Makassar, dan seterusnya.
Hampir seminggu berlalu, setidaknya sudah 252 lokasi menggelar nobar dokumenter Sexy Killers. Mereka terutama dari kalangan mahasiswa, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, dan karang taruna.
Komunitas Perpustakaan Jalanan di Denpasar termasuk salah satu lokasi yang menggelar nobar itu pada Sabtu (6/4/2019) malam di Kampus Sudirman Universitas Udayana, Bali. Sekitar 50 penonton hadir di tempat parkir kampus negeri terbesar di Bali itu.
“Setelah nonton film ini saya jadi tahu bagaimana permainan para oligarki dalam industri batu bara di negeri ini,” kata I Made Wipra Prasita, salah satu penonton.
Nobar di Denpasar berlanjut dengan diskusi bertema energi bersih dan terbarukan. Praktisi energi matahari Agung Putradhyana, lebih akrab dipanggil Gung Kayon, hadir sebagai pembicara bersama Aam Wijaya dari Greenpeace Indonesia.
Gung Kayon termasuk narasumber dalam dokumenter Sexy Killers. Adapun Greenpeace Indonesia termasuk produser bersama Jaringan Advokasi Advokasi Tambang (JATAM).
Bagian Terakhir
Sexy Killers merupakan bagian terakhir dari rangkaian dokumenter hasil Ekspedisi Indonesia Biru. Dua jurnalis videografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta, melakukan perjalanan keliling Indonesia pada 2015. Selama sekitar setahun mereka menempuh perjalanan bersepeda motor dari Jakarta ke Bali, Sumba, Papua, Kalimantan, Sulawesi, lalu kembali ke Jawa.
Dari perjalanan itu mereka menghasilkan 12 film dokumenter tentang isu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dua di antaranya adalah Kala Benoa, tentang gerakan Bali tolak reklamasi Teluk Benoa dan (A)simetris, tentang industri kelapa sawit.
Menurut sutradara Dandhy D Laksono bagian inti dari Sexy Killers dikerjakan selama Ekspedisi Indonesia Biru dengan mengambil lokasi Kalimantan Timur. Pengembangan cerita lalu dilakukan di beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi dengan melibatkan videografer lain di daerah-daerah itu.
Sebagaimana dokumenter khas Ekspedisi Indonesia Biru lainnya, Sexy Killers juga menghadirkan sisi lain dari pembangunan infrastrukur yang begitu masif di zaman Joko Widodo – Jusuf Kalla. Di balik banyak pembangunan PLTU Batubara, terdapat korban-korban dari kalangan petani, nelayan, dan kelompok rentan lain.
Sexy Killers menunjukkan para korban “pembunuhan” batu bara itu terentang dari hulu hingga hilir. Dari lokasi penambangan sampai di mana batu bara itu digunakan.
Di lokasi penambangan di Kalimantan Timur, misalnya, petani dari Jawa dan Bali yang melakukan transmigrasi pada zaman Orde Baru, kini harus berhadapan dengan industri penambangan batu bara. Mereka tergusur atau tercemar.
“Dulu sebelum ada bangunan batubara, sawah tidak rusak. Tidak amburadul. Sekarang sejak ada tambang, rakyat kecil malah sengsara. Yang enak, rakyat yang besar. Ongkang-ongkang kaki terima uang. Kalau kita terima apa? Terima imbasnya. Lumpur..” kata salah satu petani.
Lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan, kini juga meminta tumbal. Menurut Sexy Killers, sejak 2011 – 2018, sebanyak 32 orang mati tenggelam di bekas lubang tambang di Kalimantan Timur. Secara nasional dalam kurun waktu 2014-2018 terdapat 115 orang mati.
Banyak Tumbal
Dari lokasi penambangan, pengangkutan batu bara itu terus memakan lebih banyak tumbal ketika diangkut menuju lokasi PLTU di Jawa dan Bali. Di Batang, Jawa Tengah, petani tergusur dan tidak bisa leluasa memasuki sawahnya. Nelayan juga terkepung PLTU sehingga sumber penghidupannya terancam. Terumbu karang hancur karena tumpahan batu bara atau jangkar kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara.
“Nek PLTU berdiri, anakku arep digowo mrindi? Wis ora ono maneh tempat Indonesia, Pak. Gara-gara wong sing pinter kuwi, gununge didol. Segoro arep ditanduri wesi,” seorang nelayan bersuara dengan agak berteriak lalu menepuk dada menahan amarahnya.
Artinya, “Jika ada PLTU, anak kami mau dibawa ke mana? Sudah tidak ada tempat lagi di Indonesia. Gara-gara orang pinter itu, gunung dijual. Laut ditanami besi.”
Di tempat lain, asap PLTU batu bara itu bahkan telah merenggut nyawa warga sekitar, seperti di Palu, Sulawesi Tengah. Sexy Killers menghadirkan getir tangis para korban di balik gemerlap lampu yang dinikmati warga sehari-hari.
Di Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, hadirnya PLTU juga membawa banyak masalah bagi warga setempat. Laporan Greenpeace Indonesia pada April 2018 menyebutkan PLTU Celukan Bawang yang beroperasi sejak 2015 itu menimbulkan empat dampak.
Pertama, ganti rugi tanah yang belum selesai, antara lain karena nilai ganti rugi yang tidak layak dan proses yang tidak transparan. Kedua, hancurnya mata pencaharian, terutama untuk petani dan nelayan tangkap. Ketiga, kerusakan lingkungan di darat dan di laut akibat limbah sisa pembakaran. Keempat, terganggunya kesehatan warga terutama sakit pernapasan yang diperburuk tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan.
Ironisnya, PLTU Celukan Bawang sebenarnya tidak pernah masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di Bali. Menurut RUPTL Nasional, Bali termasuk provinsi dengan rasio elektrifikasi tertinggi di Indonesia, 100 persen, bersama DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Bandingkan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) 70 persen atau Papua, 65 persen.
Saat ini, beban puncak kebutuhan listri Bali mencapai 825 megawatt. Adapun total pasokan listrik sudah melebihi, yaitu 1.248 megawatt.
Ketika pasokan listrik Bali sudah berlebih dan PLTU Celukan Bawang sudah menimbulkan banyak dampak buruk bagi warga setempat, di tempat yang sama justru akan dibangun PLTU tahap II.
Menjelang Pilpres
Toh, Sexy Killers tak semata menghadirkan para korban di lapangan, tetapi juga pat gulipat para pemilik industri penambagan batu bara maupun listrik yang dihasilkannya. Dokumenter ini dengan jeli mengungkap bagaimana perseteruan politik saat ini tak berarti apa-apa ketika melihat mesranya hubungan bisnis para calon di industri batu bara.
Luhut Binsar Panjaitan, Sandiaga Uno, Erick Tohir, Joko Widodo, bahkan Ma’ruf Amien memiliki hubungan dengan makin maraknya bisnis batu bara meskipun membunuh warganya sendiri itu. Tak sekadar narasi, Sexy Killers layak disebut sebagai dokumenter investigasi.
Pengungkapan data-data kepemilikan perusahaan tambang batu bara maupun PLTU itu merupakan hasil kerja kolaborasi. Menurut Dandhy, ada tim riset khusus yang menekuni dokumen seperti akta perusahaan sampai mencocokkannya dengan kondisi lapangan. Setidaknya ada lima produser yang juga periset lapangan dan seorang periset khusus untuk dokumen perusahaan.
“Lalu kami di WatchDoc mensinkronkan ulang semua kepingan, sebelum akhirnya kami konfirmasi lagi kepada tim riset untuk presisinya. Jadi ada tiga tahap pemeriksaan,” ujarnya.
Dandhy melanjutkan mungkin ada saja nanti yang bolong atau kurang akurat, tapi risiko itu sudah diperkecil. “Itu menunjukkan tidak ada iktikad buruk dalam pengungkapan ini semua, kecuali untuk kepentingan dan pengetahuan publik,” tegasnya.
Karena itu pula, WatchDoc memiliki alasan tersendiri kenapa meluncurkan Sexy Killers menjelang Pilpres.
Pertama, ini isu berdekade-dekade yang tidak terlalu dipedulikan banyak pihak. “Siapa yang peduli dengan isu batu bara, energi bersih, reklamasi, penggusuran, kelapa sawit, jika tidak sedang euforia politik?” tanya Dandhy.
“Inilah saat tepat untuk membicarakan kebijakan publik dalam substansi lebih relevan daripada sentimen agama, nasionalisme semu, atau gimmick-gimmick personal, seperti keluarga,” lanjutnya.
Kedua, Dandhy melanjutkan, Ekspedisi Indonesia Biru sudah ada empat tahun lebih awal dari Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. “Ketiga, agar publik tahu siapa sesungguhnya yang mereka pilih dan tidak pilih,” kata Dandhy yang dalam beberapa sikapnya menunjukkan akan golput itu. [b]
Catatan: Versi lain artikel ini terbit di Beritagar.
Makasih mas, sudah membuka lebar2 mata kami. Hanya ada satu kata, lawan!
Saya sih berharap ada video resmi yang tayang di youtube. Sehingga film2 begini layak menjadi tontonan utk seluruh pelosok indonesia
Mas ijin meng-copy dan menyebarkan luas tulisan anda ini ya. Saya masukan credit dan penulisnya.
Soalnya banyak orang yang harus tahu ini