Mek Sambru baru menata meja. Namun, lima pembeli sudah antre.
Pukul 3 sore Wita. Mek Sambru baru saja tiba di emperan toko. Lokasi warungnya di Jalan Gajah Mada, Kota Amlapura, Karangasem. Wajahnya masih segar, tanda usai mandi.
Bedak putih dan gincu dipulas di wajah dan bibirnya yang keriput. “Nama asli saya Made Resti, nama jeleknya Sambru,” sahutnya tersenyum lebar. Saat ini umurnya sudah 73 tahun.
Dengan cekatan ia mengatur wadah-wadah berisi lauk dan sayuran. Ada belasan nampan seng dan keramik.
Melihat aneka lauk ini ditata, hasrat untuk mencobanya makin tak tertahankan. Dengan pelan tapi tangkas ia menumpuk nampan agar semua lauk kelihatan. Sedikitnya ada 15 lauk dari olahan ikan dan ayam, serta aneka sayuran. Paling banyak urab dan berkuah.
Sekitar 10 menit kemudian, ia sudah membungkus pesanan. Ada dua sumber karbohidrat, nasi dan tipat belayag. Belayag yang paling laris. Daun janur yang melilit ketupat bulat lonjong ini harus dilepaskan baru ditata di atas daun dan kertas nasi bungkus.
Di atas belayag, ditata lauk pilihan pembeli. Khas Karangasem seperti garang asem ayam dan gragasan. Keduanya mirip kare karena sedikit bersantan. Yang membedakan, Garang Asem dari daging ayam sementara Gragasan diolah dari tulangnya.
Lalu ditambah tempe manis, telur berbumbu, tongkol, sayur urab kacang merah dan timun. Ada juga urab sayur paku dan urab kacang panjang. Pembeli bisa memilih.
Rupanya warna warni menggoda air liur. Terlebih disajikan terbuka di atas meja, terlihat semua enak dan ingin mencoba semuanya.
Nenek ini salah satu dagang sekaligus tukang masak popular di Amlapura. Ia hampir 50 tahun berjualan. “Umur saya 73 tahun, mulai berjualan tahun 1967 setelah Gunung Agung meletus, tiang kari bajang,” jelasnya.
Ia tak keberatan ditanya-tanya saat melayani pesanan pembeli.
Pembeli dewasa memanggil dia Mek Sambru. “Memang enak masakannya. Bumbunya meresap. Masih terima pesanan juga,” seru salah seorang pembeli berpakaian PNS.
Sambru memulai harinya dengan bangun dini hari pukul 3 untuk belanja ke pasar. “Saya belanja karena sudah hapal tempat-tempatnya, kalau orang lain tidak tahu,” katanya. Lalu ia istirahat setelah membagi bahan baku. Dilanjutkan keluarga dan pekerja lain yang mengolah sesuai petunjuk Sambru.
Jelang siang, Sambru sudah bersiap. Memakai kamen dan baju kasual. Ia menyukai warna cerah. Rambutnya dipusung agar tak mudah jatuh ke makanan. Bunga sandat atau cempaka menghiasai pusungannya usai bersembahyang.
Beberapa pelanggannya kerap mencandai begini. “Kalau Mek Sambru senyumnya masem pas jualan berarti kalah meceki.”
Main cekian memang menjadi hiburan banyak perempuan tua di Amlapura. Mereka kerap bermain dengan laki-laki. Bisa berjam-jam per hari namun tak melupakan pekerjaan atau kewajiban lain.
Gunung Agung meletus pada 1963 membuat banyak warga kota mengungsi ke daerah lain termasuk Denpasar. “Di sini tidak kena lahar, makanya saya bisa mulai jualan tahun 1967,” urai Sambru menunjuk tempat berjualannya emperan pertokoan, dekat terminal.
Saat itu ia memulai berdagang sebuah meja kecil berkaki pendek dengan jualan nasi dengan sedikit jenis lauk. Tak seperti sekarang yang memenuhi dua meja.
Tapi setelah puluhan tahun masih menyukai gaya sederhana. Berjualan di emperan. Sambru masih kuat berdiri sekitar enam jam, dari pukul 3 sampai 9 malam tiap harinya.
Pembeli yang makan di sana harus berebutan ruang dengan pembeli yang lebih banyak take away. Sambil menikmati suara hujan dan deru kendaraan, dan sepiring menu Sambru seharga Rp 12.500 bonus air putih hangat gratis. [b]