Pesta kembang api di Candi Dasa baru saja usai.
Langit gelap di atas desa tepi pantai salah satu kawasan tetirah di Bali timur itu masih sesekali berpendar oleh kembang api. Terang menyilaukan. Gemerlap. Lalu kembali gelap.
Malam itu warga di sana tak hak hanya menikmati pesta tahun baru dengan menyalakan petasan dan kembang api, tetapi juga hiburan yang nyaris selalu ada di Bali apapun dan di mana pun acaranya: bola adil. Para penaruh mengadu nasib dengan memasang dari ribuan hingga puluhan ribu di kotak-kotak penentu keberuntungan atau sebaliknya, kebuntungan mereka.
Kami pulang di antara suara ledakan yang sesekali masih terdengar. Meninggalkan keriuhan pantai Candi Dasa oleh ribuan orang, dan sebagian turis asing, yang menikmati kemeriahan setahun sekali.
Kami menembus dingin suhu dini hari setelah perayaan tahun baru. Di atas sepeda motor, bersalip-salipan dengan pasangan yang melaju dan berpelukan tengah malam, saya bertanya kepada Ketut, adik sepupu yang tinggal di kampung.
“Terus ngapain setelah ini, Tut? Setelah pesta tahun baru. Setelah kembang api habis dibakar. Setelah tahun berganti angka.”
Ketut yang tahun ini baru akan lulus SD itu menjawab dengan kalimat sederhana, tetapi mengena. “Biasa gen. Tahun baru kan hanya angkanya yang berganti. Setelah ini ya kembali seperti biasa, sekolah sambil bantu meme ngubuh siap ajak sampi..” jawabnya campur dalam bahasa Indonesia dan Bali.
Sepeda motor kami terus melaju. Menyusuri jalan utama Karangasem – Denpasar lalu berbelok masuk jalan kampung yang lebih kecil dan sepi. Kami tenggelam di antara rimbun pohon-pohon kelapa. Beristirahat di rumah tua kami di antara riuhnya pesta tahun baru yang baru saja berlalu.
Sambil telentang sebelum memejamkan mata untuk tidur pertama kali di 2019, saya memikirkan jawaban Ketut. Anak kecil seringkali memberikan kedalaman dalam kesederhanaan.
Tahun baru memang sebuah ilusi yang terjadi berulang kali. Tiap kali angka terakhir tahun berganti, saat itu pula dunia merayakannya dengan gegap gempita. Adakah perayaan tahunan yang dirayakan dengan begitu meriah secara bersamaan oleh umat manusia selain tahun baru?
Ketika tahun berganti, saat itu pula setiap orang menyampaikan doa yang nyaris selalu sama dari masa ke masa. “Selamat tahun baru. Semoga tahun ini membawa lebih banyak kesejahteraan dan kesehatan..” Harapan dan doa sama yang terus diulang berkali-kali.
Ucapan selamat salin tempel (copy paste) ini kembar identik dengan ucapan-ucapan selamat hari raya agama apapun. Lalu dia disebar ke berbagai saluran pesan instan semacam WhatsApp atau media sosial Facebook. Saking seringnya, ucapan dan doa semacam ini pun makin terasa sekadar basa-basi.
Toh, meskipun sama dan terus diulang, doa serupa tetap saja kita sampaikan kepada orang lain maupun dirapalkan untuk diri sendiri. Bukankah doa memang tidak pernah basi berapa kali pun kita mengucapkannya?
Namun, doa pada saat tahun baru sangat berbeda dengan doa ala kaum agamawan. Jika doa-doa dalam ritual agama dilakukan secara lirih dalam hening, jika perlu tidak boleh ada suara-suara lain selain para pengucapnya, doa pada saat tahun baru justru dirayakan dalam gegap gempita. Mungkin dikirimkan sambil meniup terompet. Atau diteruskan ketika tangan lain menyalakan kembang api. Atau mungkin pengirimnya sendiri tak sadar apa yang dia baca dan teruskan lewat gawainya.
Toh, meskipun basa-basi, ucapan selamat dan doa tahun baru tetap perlu disampaikan. Begitu pula dengan perayaan tahun baru. Betapapun khayalinya pergantian tahun, kita tetap memerlukannya sebagai pelarian ataupun pengingat.
Sebagai pelarian, tahun baru selalu memberikan harapan. Seolah-olah begitu berganti tahun, kita seolah langsung berubah begitu saja sebagaimana angka terakhir pada tahun, dari 8 menjadi 9 pada tahun ini.
Sebagai pengingat, tahun baru selalu menjadi momentum untuk refleksi. Melihat kembali setahun yang sudah berlalu sembari membuat sekian resolusi. Beberapa orang dengan satire menuliskan resolusinya: menyelesaikan resolusi tahun lalu yang belum selesai. Guyon yang mengingatkan bahwa memang tak ada yang benar-benar baru pada saat tahun baru. Hanya angka yang berganti, seperti omongan Ketut.
Setelah berlalu sehari dua hari, orang akan kembali sadar bahwa pergantian tahun tidak berarti langsung mengubah nasib mereka layaknya para pemain bola adil di Candi Dasa. [b]
Catatan: Esai ini juga dimuat di Tribune Bali Minggu, 6 Januari 2018.