Ada sebuah karya yang ilmunya kami bagikan..
Awal Oktober lalu, saya bersama Ibu, komunitas Rumah Berdaya, dan dokter Gusti Rai menuju salah satu posko pengungsian Bencana Gunung Agung di Denpasar. Kami datang dengan segala persiapan matang, yang kami rasa bisa membantu mereka.
Saya masuk untuk melihat-lihat keadaan. Pengungsi tidur di lantai beralaskan terpal. Debu-debu menempel di kedua telapak kaki saya yang basah.
Ada kain memanjang menutupi koridor yang disulap agar layak untuk penampungan sementara. Melindungi mereka dari terik matahari dan riak air andai hujan.
Dada saya menghangat, spontan menyikut lengan Ibu. “Bu, andai kita diposisi mereka, gimana ya, Bu?” bisik saya. Ibu hanya merespon, “Entahlah, mungkin kamu Ibu titipkan sebagai penghuni mandiri.”
“Di mana, Bu?” tanya saya yang tak langsung terjawab.
Kami berpisah untuk melaksanakan hal yang sudah direncanakan secara mendadak sebelumnya. Saya menikmati hawa panas yang langsung membuat keringat bercucuran. Benar-benar di level mandi keringat.
Pak Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya, didampingi dokter Rai mengajak anak-anak mendengarkan cerita. Mereka membawa wayang-wayangan yang dibuat Pak Kadek dan Pak Hindu Pratama, dua anggota Rumah Berdaya.
Bu Sari mengajak para remaja, ibu-bapak untuk kumpul dengan saya dan Pak KoYes. Mempromosikan kreasi daur ulang koran yang kami buat berupa bokor dan dulang.
Awalnya hanya sedikit dari mereka yang mendekat. Tak mengapa, bagik saya itu cukup.
Pak KoYes sibuk mengajarkan mereka cara membuat kreasi koran. Saya hanya memantau, menjawab beberapa pertanyaan mereka. Dari pertanyaan macam, ‘Tidakkah hancur kreasi koran tersebut jika tersiram air?’, ‘Kuatkah jika terbanting?’, hingga pertanyaan ‘Berapa harga jika dipasarkan?’
Pak KoYes dan saya jadi tanpa sadar membentuk grup masing-masing, laki-laki dan perempuan. Saya dengan para remaja perempuan. Makin greget, ketika Bu Sari mengumumkan akan ada hadiah bagi yang bisa menghasilkan karya.
Remaja laki-laki ternyata diam-diam sudah menyelesaikan dulang berukuran super mini, apa ya istilahnya? Haaa, iya, semacam miniatur gitu.
Ibu langsung bersorak, “Pak Dok, sudah ada yang selesai rupanya.” Ucapan itu langsung disambut tawa dari kami semua dan para pengungsi.
Saya sibuk dengan koran-koran. Menyemangati kelompok saya yang juga serius menggarap project ini. Saya menggulung koran dengan semangat. Nah, saking semangatnya, saya sampai tidak menyadari ada yang aneh.
Saya merasa menggulung begitu banyak, tapi yang diselesaikan grupk saya masih belum ada apanya. Hingga Pak Kadek menegur grup remaja lelaki.
“Oey, kok ngambil-ngambil,” lalu Pak Kadek menegakkan bahunya, melihat lebih jelas kearah kumpulnya kelompok laki-laki. “Weh, pantes cepet kelar, di sana, itu tinggal nyolong yang disini.” lanjutnya.
Saya hanya bisa tertawa menanggapi. Tidak menyadari bahwa ada salah seorang diam-diam mengambil koran yang sudah kugulung. Ah, pantas saja.
Ibu mengajari mereka teknik pengeleman dan pengecatan. Kami memberi mereka kepercayaan, bahwa mereka pasti bisa.
Tidak banyak waktu yang kami miliki disana. Kami pun pamit.
Hampir terlupa, Pak Nyoman menyerahkan beberapa sabun batangan untuk cuci tangan hasil karya Rumah Berdaya pada seorang panitia posko.
“Hanya ini?” tanya panitia pos pengungsi.
Mendengar itu, dalam hati saya tergelitik. Apa yang mereka harapkan dari kami yang berasal dari, ya katakanlah Komunitas Gangguan Jiwa? Termasuk saya.
Ya, iya… Kami datang memang hanya membawa sedikit yang kami punya, dan yang kami mampu. Ya, kami tau, kami membawa beberapa kotak susu, bermain wayang, berbagi keceriaan dengan anak-anak dan… lihatlah dengan kedua mata. Ada sebuah karya yang ilmunya kami bagikan, —yang siapa saja bisa membuatnya. Itulah yang kami bekali.
Bantuan berupa makanan dan minuman saya rasa sudah mencukupi. Bahkan terekspos di media sosial beberapa titik posko yang bantuan bahan makanan menumpuk.
Di dalam mobil, saat di perjalanan pulang, kami membahasnya bersama. Bukan berarti kami tersinggung. Agak sedikit mengganjal pada nada ucapan tersebut.
Ah, syukurlah, dokter Rai langsung melegakan hati kami dengan jawaban super yakin serta pembawaan gaya bicaranya yang khas. “Ya. Jawab saja, iya.”
Dokter Rai juga menekankan, bahwa kita semua tidak tahu sampai kapan waktu yang mereka butuhkan untuk mengungsi. Syukur-syukur jika tiga atau enam bulan, katakanlah itu sebentar. Bagaimana jika lama? Bahan pangan menumpuk di awal yang terlalu lama akan basi. Tak selamanya mereka akan meminta. Pun tidak selamanya para donatur selalu ada.
Nah, apa yang bisa atau akan mereka jadikan tumpuan? Seperti komunitas kita, Rumah Berdaya. BERDAYA.
Melalui ilmu kreasi koran yang kita bagikan, ada kemungkinan besar bisa dimanfaatkan. Mungkin sekarang belum rapi hasilnya, tetapi seiring dengan sering dilatih (jam terbang), bukan gak mungkin lagi bisa saja mereka dapat menghasilkan karya yang lebih bagus dari kita.
Dalam hati saya setuju dengan ucapan dokter Rai. Ya, terbukti dari para remaja laki-laki dan dulang miniaturnya itu. Kreatif sekali.
Obrolan ditutup oleh pecah tawa ketika Pak Dok sebagai pengemudi mobil, mengaku gagal fokus lihat spanduk bertuliskan “Press Ban” dengan “Pepes Be (sebutan berbahasa bali dari nama penganan Ikan di bungkus dengan daun pisang yang di masak dengan cara dibakar atau dipanggang).”
Saya langsung rolling eyes. Duh, Pak Dok kan lagi nyetir, gagal fokusnya tolong dikondisikan. [b]
Comments 1