Bali dikenal sebagai pulau surga sehingga banyak wisatawan tertarik ke Bali.
Tak hanya menikmati keindahan alam dan budayanya, para wisatawan juga tertarik untuk berinvestasi di Bali. Belakangan ini Bali mulai dijejali sejumlah mega proyek baik yang sudah di bangun ataupun yang akan dibangun. Namun semua proyek yang dibangun tersebut diduga kuat tanpa memerhitungkan dampak ke depannya bagi lingkungan dan budaya Bali.
Hal tersebut tentunya akan berimbas kepada pariwisata Bali.
Bali sebagai sebuah pulau kecil mempunyai batas daya tampung dan daya dukung. Masifnya perkembangan pembangunan di Bali tidak diimbangi kesadaran untuk menjaga lingkungannya. Mega proyek- mega proyek yang dibangun hanya mementingkan prestise dan keuntungan bagi segelintir pihak.
Menurut penelitian Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali ada tujuh permasalahan lingkungan hidup di Bali, yaitu sampah, penurunan kualitas dan kuantitas air, abrasi pantai, pelanggaran pemanfaatan tata ruang, kerusakan terumbu karang, penurunan keanekaragaman hayati di Bali, hingga luasan kawasan hijau yang masih kurang dari 30%. Sebagian besar permasalahan lingkungan di Bali diakibatkan oleh pesatnya pembangunan pendukung pariwisata.
Hasil tersebut sudah dapat mencerminkan bagaimana pembangunan yang eksploitatif tersebut merusak Bali secara perlahan.
Pembangunan Mega Proyek di Bali sebenarnya sudah mulai semenjak Gubernur Ida Bagus Oka membuka keran Pembangunan Pariwisata selebar-lebarnya. Banyak investor yang tertarik untuk menanamkan sahamnya di Bali, sehingga pembangunan menjadi tak terkontrol.
Tinggal Janji
Pulau Serangan merupakan awal dari sesat pikir pembangunan mega proyek di Bali. Janji investor untuk mengembangkan Pulau Serangan dengan segala rencana proyek yang akan dibangun membuat masyarakat terlena saat itu. Namun, janji tersebut tinggal janji. Dampak yang ditinggalkan dari rencana pengembangan pulau serangan tersebut adalah kerusakan lingkungan parah. Reklamasi besar-besaran yang dilakukan di Pulau Serangan berdampak semakin tingginya abrasi pantai-pantai di Bali khususnya di Denpasar, Gianyar, Klungkung hingga Karangasem.
Selain itu habitan hutan mangrove dan terumbu karang juga rusak.
Sesat pikir pembangunan mega proyek selanjutnya adalah rencana pembangunan Bali International Park (BIP). Mega proyek yang akan dibangun di kawasan Jimbaran tersebut rencananya untuk menunjang kegiatan APEC. BIP akan dibangun dengan memakan lahan lebih dari 200 hektar. Luasnya lahan tersebut digunakan untuk membangun sejumlah wisma presiden, ruang pertemuan hingga akomodasi penginapan.
Sesat pikir dalam pembangunan mega proyek ini adalah pembangunan BIP seakan-akan sangat dibutuhkan karena Bali tidak mempunyai tempat untuk menyelenggarakan kegiatan besar sekelas APEC. Padahal Bali sudah biasa menyelenggarakan kegiatan internasional di kawasan Nusa Dua.
Rencana pembangunan mega proyek ini mendapat penolakan besar-besaran dari LSM dan masyarakat yang peduli dengan lingkungan Bali. Alasannya adalah selain di Bali selatan sudah penuh sesak dengan akomodasi pariwisata juga over capacity. Menurut penelitian Kemenbudpar bersama Universitas Udayana di tahun 2010 wilayah Bali selatan sudah mengalami over capacity akomodasi pariwisata sebanyak 9.800 kamar.
Selain itu, Gubernur Bali Mangku Pastika telah mengeluarkan Moratorium Izin Pembangunan Akomodasi Pariwisata. Di sisi lain prediksi krisis air yang menghantui Bali ditahun 2015 dan masalah sengketa lahan dengan petani di kawasan tempat dibangunnya BIP juga menambah alasan kuat untuk menolak mega proyek ini.
Dari hal tersebut, tentu kita dapat menarik kesimpulan bahwa BIP hanya mendompleng kegiatan APEC yang berlangsung tidak lebih dari seminggu, namun akan menambah beban ekologi bagi Bali dalam waktunya panjang. Memang saat ini BIP tidak jadi dibangun untuk menunjang kegiatan APEC, tetapi rencana pembangunan mega proyek ini masih terus berlanjut. Bahkan sampai saat ini sudah mendapat izin prinsip dari pemerintah Kabupaten Badung.
Prestisius
Jalan di atas laut atau yang lebih dikenal dengan JDP merupakan sesat pikir pembangunan mega proyek selanjutnya. Mega proyek prestius yang merupakan jalan tol pertama di Bali dan tol pertama di Indonesia. Jalan tol ini berada di atas laut menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Pelabuhan Benoa.
Kemacetan di Bali selatan merupakan alasan utama dibangunnya JDP selain sebagai pendukung kegiatan APEC.
Sesat pikir dalam pembangunan JDP bisa kita temui apabila kita tarik lagi ke belakang. Saat tersebut adalah awal Bali selatan secara perlahan mulai macet parah yaitu sekitar tahun 2010. Terjadi banyak perubahan alur lalu lintas di sekitar simpang patung Dewa Ruci (depan mall Bali Galleria). Dulunya kendaraan yang keluar masuk ke mall Bali Galeria menggunakan pintu barat. Tetapi sekitar tahun 2010 diubah, masuk dari pintu utara dan keluar dari pintu barat.
Selain itu kalau tidak salah ingat sebelum patung Dewa Ruci, tepatnya depan pintu masuk utara Bali Galeria dulunya ada jalan yang dipakai memutar kembali ke arah Sanur. Namun, tiba-tiba ditutup, sehingga mau tidak mau apabila kita dari arah Sanur ingin memutar arah ke Sanur harus melewati patung Dewa Ruci terlebih dahulu untuk memutar arah.
Sekarang coba kita bayangkan hal tersebut pada saat jam makan siang, ataupun jam pulang kerja karyawan hotel-hotel di wilayah Bali Selatan yang tinggal di Denpasar. Tentu hal tersebut akan kelihatan krodit dan sangat macet. Hal tersebut juga didukung belum maksimalnya transportasi umum di Bali dan banyaknya masyarakat pengguna jalan yang tidak seimbang dengan kapasitas jalan.
Frustasi
Dengan alasan kemacetan yang dapat dikatakan membuat frustasi masyarakat Bali tersebut, maka pada tahun 2011 pemerintah menawarkan pembangunan Underpass di patung simpang Dewa Ruci dan jalan tol di atas laut. Dalam pembangunannya sendiri JDP tidak dibangun sesuai dengan aturan karena secara nyata telah melanggar dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Mereka melakukan pengurukan dengan limestone secara illegal.
Pengurukan tersebut menyebabkan kawasan yang dikenakan pengurugan airnya menjadi keruh dan banyak pohon mangrove mati. Selain itu nelayan di sekitar JDP juga tidak bisa melaut untuk mencari ikan kembali, lantaran loloan tempat keluar masuknya kapal nelayan sudah diisi dengan tiang pancang.
Sesat pikir pembangunan mega proyek yang paling heboh adalah rencana reklamasi teluk benoa oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) milik pengusaha Tomy Winata. Tidak tanggung-tanggung rencana proyek reklamasi Teluk Benoa ini memakan lahan 838 hektar. Tentu bukan jumlah yang sedikit.
Sesat pikir dalam pembangunan mega proyek ini adalah menjadikan alasan mereklamasi Pulau Pudut yang keadaannya mengkhawatirkan karena abrasi sehingga beberapa masyarakat Tanjung Benoa setuju adanya reklamasi tersebut. Namun, apabila yang direklamasi mencapai 838 hektar, tentu tidak dapat diterima begitu saja mengingat dampak yang akan ditimbulkan. Kita harus ingat reklamasi di Pulau Serangan yang mengakibatkan abrasi besar-besaran di sejumlah pantai di Bali.
Apabila Teluk Benoa kembali direklamasi tentu akan semakin memperparah abrasi pantai di Bali.
Sesat pikir lain dari rencana mega proyek ini adalah menjadikan alasan pulau hasil reklamasi untuk menghalangi tsunami. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin reklamasi yang dilakukan di dalam Teluk Benoa tersebut dapat menghalangi bahaya tsunami? Bukankah justru pulau hasil reklamasi tersebut yang terlindungi dari tsunami karena berada di dalam teluk?
Dalam proses pemberian izinnya juga banyak ditemui cacat hukum. SK Gubenur Bali bernomor : 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali diterbitkan tertanggal 26 Desember 2012. SK diberikan kepada TWBI dengan menggunakan Feasibility Study Unud final sebagai dasar dikeluarkannya SK tersebut. Padahal kajian ini belum final.
Selain itu pemberian izin reklamasi di Teluk Benoa juga bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, karena kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi yang harus dijaga. Sebagai masyarakat Bali tentunya kita harus bertanya, ada apa sebenarnya di balik pemberian izin yang terkesan di sembunyikan oleh Gubernur Bali ini?
Kambing Hitam
Selain mega proyek di atas masih ada lagi sesat pikir dengan menggunakan pariwisata sebagai kambing hitamnya, yaitu pemberian izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai kepada PT. Tirta Rahmat Bahari seluas 102,22 hektar dan juga pembangunan proyek Geothermal di Bedugul.
Sesat pikir dalam pemberian izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai bisa kita lihat bahwa Bali kawasan hijaunya masih kurang dari 30% sehingga semestinya pemerintah menambah kawasan hijau, bukan malah memberikan izin pemanfaatan. Selain itu menjadikan sampah sebagai alasan utama pemberian izin kepada PT. TRB sangat sulit diterima. Apalagi ditambah pemberian izin untuk membangun akomodasi pariwisata di tengah hutan mangrove tentu juga akan mengancam kelestarian hutan mangrove disana.
Kalau memang pemerintah provinsi Bali dalam ini Gubernur Bali ingin menjaga hutan mangrove seharusnya mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta mengelola, bukan malah langsung memberikan kepada investor. Jadikan Tahura tersebut sebagai tempat tujuan wisata, namun jangan sampai ada pembangunan di dalamnya.
Pemberian izin pemanfaatan tahura ini juga banyak kejanggalan yang ditemui, seperti ditutup-tutupinya pemberian izin. Masyarakat di sekitar tahura saja tidak tahu gubernur telah memberikan izin kepada investor. Selain itu dalam izin tersebut juga investor dapat saja menebang pohon di tahura hal tentu ini bukan jawaban kegelisahan dari Gubernur Bali yang memberikan izin kepada investor untuk menjaga tahura. Ditambah lagi adanya rencana pembangunan akomodasi di dalam hutan mangrove menambah alasan sudah seharusnya izin tersebut dicabut.
Proyek Geothermal di Begudul juga menjadi sorotan. Sesat pikir dalam pembangunan Geothermal ini adalah pembangunan proyek Geothermal ini dilakukan di daerah Bedugul yang merupakan daerah resapan air. Selain itu dari hasil penelitian dari UNUD proyek Geothermal tersebut tidak menjanjikan pasokan listrik di Bali aman karena listrik yang dihasilkan kecil.
Pembangunan proyek geothermal ini juga akan membabat ratusan hektar hutan di Bedugul untuk mencari sumber listrik. Hal tersebut tentu saja sangat merugikan masyarakat Bali.
Selain itu patut dicurigai pembangunan geothermal merupakan salah satu cara untuk membuka lahan di daerah Bedugul, agar para investor bisa berinvestasi di sana. Dugaan ini dikuatkan dari lokasi proyek geothermal seakan sangat dipaksakan, dan pemandangan yang didapat juga sangat bagus.
Murni
Hal tersebut di atas hanya gambaran secara umum hasil diskusi kawan-kawan Walhi Bali. Walhi berjuang bukan untuk kepentingan politis atau kepentingan apapun, tetapi murni berjuang demi Bali yang sangat kami cintai. Pembangunan dengan alasan penunjang pariwisata sangat membabi-buta, bahkan aturan yang ada dilabrak.
Sebagai masyarakat Bali harusnya kita bisa kritis dalam melihat hal ini. Bali memang tergantung kepada pariwisata tapi pariwisata juga sangat bergantung kepada lingkungan. Sudah seharusnya kita sadar bersama, bahwa apabila nantinya lingkungan Bali sudah rusak tentu pariwisata Bali yang akan menjadi korbannya.
Selain itu kita juga harus kritis kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Jangan hanya obral izin saja, bahkan yang paling jelek adalah melabrak kebijakan yang telah dibuatnya sendiri. Seperti Gubernur Bali Mangku Pastika yang telah mengeluarkan Moratorium Izin Akomodasi Pariwisata di Bali selatan namun beberapa kali dilabrak seperti dalam pemberian izin pembangunan BIP, Pemanfaatan Tahura kepada PT. TRB dan terakhir pemberian izin reklamasi kepada PT. TWBI.
Untuk masalah kemacetan juga jangan hanya membangun jalan yang diutamakan, tetapi buatlah kebijakan pembatasan kepemilikan kendaraan. Hal ini untuk kebaikan kita bersama. Membangun jalan baru memang dapat mengurangi kemacetan, tetapi hanya dalam waktu tertentu. Contohnya di Jakarta, bahkan sudah ada jalan layang yang bertingkat tetap saja macet. Hal ini karena jumlah kendaraan yang ada terus bertambah.
Di atas juga telah disebutkan permasalahan lingkungan hidup di Bali. Seharusnya pemerintah berusaha untuk mengatasi hal tersebut, bukan malah mengobral izin sehingga menambah rusak lingkungan Bali. Selain itu jargon Clean and Green pemerintah Provinsi Bali seharusnya bukan sekadar jargon tanpa tindakan nyata.
Stop eksploitasi lingkungan Bali dengan alasan pariwisata yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Gubernur dan DPRD sudah sudah seharunya mengajak para Akademisi, LSM dan pemangku kepentingan terkait untuk membuat kajian bersama secara komprehensif tentang daya dukung dan daya tampung Bali. Dengan demikian bisa dibuatkan rencana kedepan demi pariwisata yang berkelanjutan di Bali. Ingat Pariwisata itu adalah api. Jika pariwisata tidak dikendalikan dengan kebijakan tepat, bukan berkah yang akan diterima, melainkan bencana.
Terakhir sebagai renungan kita bersama, apabila pariwisata di Bali sudah tidak lagi menjanjikan karena lingkungannya sudah rusak, para investor dengan mudah akan pergi meninggalkan Bali untuk berinvestasi di tempat lain. Kita sebagai masyarakat Bali lah yang akan menerima akibatnya. Kita harusnya sadar untuk menjaga Bali bersama-sama, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok, tapi untuk kepentingan bersama masyarakat Bali dan tentunya warisan untuk anak cucu kita nantinya.
Ingatlah apa yang dikatakan Mahatma Gandhi. Bumi cukup untuk memenuhi semua kebutuhan makhluk hidup, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir manusia yang serakah. [b]
Kok baru koar-koar sekarang kalau pariwisata Bali sudah kebablasan? Kemana aja 20 tahun ini?
Mikir dulu ah, udah lama otak ini gak dipakai soalnya. Bro, orang Bali bisanya apa sih? Kalau gak ada pariwisata, orang Bali bisa apa? Paling rebutan kekuasaan seperti era kerajaan dan masih hingga sekarang. Etos kerja? Ah lupakan saja, tanpa SDA, Bali akan mati dengan sendirinya. Untung ada penyelamat yang namanya Pariwisata, orang Bali bisa menghasilkan uang dari budaya priyayinya.
Selamat malam,
bersamaan dengan comment ini saya meminta ijin untuk menggunakan foto yang terdapat pada artikel ini untuk saya gunakan di petisi saya di change.org (https://www.change.org/id/petisi/bapak-gubernur-bali-i-made-mangku-pastika-stop-pengalih-fungsian-lahan-hijau-di-bali) dalam rangka seleksi Parlemen Muda Indonesia 2014 sebagai perwakilan dari Bali. Besar harapan saya untuk mendapat ijin dari pemilik gambar ini, terima kasih 🙂
Salam hormat,
Ayu Putu Kartika Devi
sampeyan kalo jadi penguasa serakah juga lah,banyak org bisa ngomong tp gak bisa berbuat…..biasa org yg protes kalo tidak menikmati,kalo menikmati ya diem aja. banyak org bali yg menikmati hasil pariwisata,jadi kaya raya, diem aja tuh…banyak org bali yg jual tanah,beli mobil mewah tp dilain pihak yg gak punya tanah protes2 jangan jual bali. protesnya jgn ke investor bli, protesnya ke org bali sendiri knp dijual? kalo gak ada pariwisata mau makan apa Bali?? inget waktu habis bom bali,bagaimana banyak yg nganggur gara2 pariwisata sepi. pembangunan itu pasti ada efek sampingnya lah,sekarang bagaimana kita menyikapinya saja.