Oleh Luh De Suriyani
Seruan Kolaborasi Bali untuk Climate Change memutuskan gagasan Nyepi atau silent day untuk seluruh dunia pada 21 Maret 2008. Bagaimana wajah bumi apabila gagasan ini berlaku secara global? Planet lain pasti terkejut dengan keheningan bumi yang tiba-tiba. Lalu apakah buangan gas emisi puluhan tahun bakal lebih mudah diuraikan?
Gagasan ini diputuskan sekitar 100 orang perwakilan LSM, instansi pemerintah, universitas, pemimpin adat, dan tokoh masyarakat Bali pada 28 November ini di Wantilan Art Center Denpasar. Alasannya Bali perlu bersikap dengan menunjukkan gagasan teknis dan memajukan kearifan lokal. Ini adalah gagasan yang kontras dengan skema perdagangan karbon yang akan didesakkan oleh pemerintah Indonesia.
Mereka menandai kesepakatan dengan membubuhkan tanda tangan di atas spanduk putih berukuran sekitar 15 meter. Selain itu seruan ini akan dibawa ke UNFCCC oleh 12 perwakilan Kolaborasi Bali untuk Climate Change.
Kolaborasi Bali untuk Climate Change ini digagas Walhi Bali, Bali Organic Asociation (BOA), Yayasan Wisnu, dan PPLH Bali. Mereka beberapa kali membuat focus group discusion bersama sejumlah kelompok masyarakat untuk merancang gagasan kearifan lokal untuk direkomendasikan di UNFCCC nanti.
”Kami sudah mengirimkan draft seruan ini ke Presiden SBY untuk dapat ditambahkan pada pidato pembukaan UNFCCC nanti,” ujar Nyoman Sri Widhiyanthi, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bali.
Hira Jhamtani, salah seorang pembuat draft seruan hening secara global ini skeptis dengan hasil yang akan dicapai dalam perundingan UNFCCC di Nusa Dua nanti. “Negara maju bikin polusi dan kita disuruh membersihkan. Hutan kita malah dijadikan toilet untuk menyerap emisi. Apalagi harga hutan dihargai murah hanya USD 5 per hektar. Inilah yang dikatakan agenda nasional,” ujarnya kecut.
Karena itu ia ingin menandingi agenda nasional yang beraroma uang itu dengan membuat agenda rakyat. Seruan Nyepi atau hening global inilah yang menurutnya mampu berjalan lebih implementatif untuk mengurangi buangan emisi mahluk bumi.
Dalam draft seruan Nyepi untuk Bumi, disebutkan bahwa salah satu warisan kearifan nusantara adalah pandangan hidup Tri Hita Karana sebagai landasan membangun hubungan harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam. ”Bahwa warisan kearifan nusantara dalam memelihara bumi beserta isinya adalah sumber daya bangsa dan dunia dalam menghadapi perubahan iklim,” bunyi salah satu poin seruan itu.
Praktiknya, Nyepi untuk Bumi ini akan dilaksanakan 24 jam oleh seluruh penduduk bumi. Di Bali sendiri, Nyepi dilaksanakan dengan empat peraturan yaitu tidak bepergian ke luar rumah, menjalankan puasa hawa nafsu dan tidak makan, tidak mengadakan kegiatan hiburan, serta tidak menyalakan api (listrik).
Jika dihitung, akibat pelaksanaan Nyepi ini, di Bali pelepasan karbon dari sepeda motor dan avtur pesawat bisa dikurangi sekitar 13.516 ton CO2. Itu baru dari kendaraan roda dua dan pesawat saja.
Hitung-hitungannya adalah, menurut data tahun 2005 di Bali terdapat sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan satu sepeda motor mengkonsumsi empat liter bensin sehari, total bensin yang digunakan 4.032.000 liter. Hasil pembakaran karbonnya adalah 9.676.800 kg CO2. Nah untuk sekitar 80 pesawat yang terbang di Bandara Ngurah Rai dihasilkan 3.840 ton CO2.
Kepala Badan Pengawas Dampak Lingkungan Bali (Bapedalda) Bali Nyoman Sutji pada pertemuan itu mengatakan Nyepi untuk Bumi akan mengorbankan dunia secara ekonomis karena industri tidak hidup. Ia menganggap usulan pemerintah Indonesia yang mendukung Protokol Kyoto sudah cukup sebagi rekomendasi. Namun pendapat ini ditampik sebagian peserta diskusi karena pertimbangannya hanya persoalan ekonomi.
Nyepi untuk Bumi diharapkan dapat dilakukan secara kolektif sebagai satu upaya memberikan ruang kepada alam untuk bernafas, berkontemplasi, dan mendekatkan diri kepada pencipta. Berikan bumi bernafas dengan lega satu hari saja.
Sipp….setuju.dukung WALHI. W-ahananya A-ku juga buat L-obha agar bisa H-idup di I-ndonesia..
Jadi inget dulu, waktu S1 (waktu masih bandel2nya..)
Aku pernah berdebat ama sekelompok mahasiswa UGM (kampusku sendiri, hehe!) di Jalan Kaliurang. Kalo gak salah waktu itu hari bebas asap, atau apalah namanya. Di perempatan MM UGM, setiap pengendara diwajibkan mematikan kendaraannya selama 5 menit. Tapi aku gak mau.
Kata mahasiswa, hal ini untuk kepentingan bumi. Aku bilang, kalau mau menyelamatkan bumi, adakan demo untuk mengupayakan Nyepi dirayakan secara nasional (bukan cuma sebagai libur nasional).
Eh, mereka malah bilang, Nyepi gak ngaruh soalnya cuma sehari. Lah, kalo Nyepi gak ngaruh, gimana dengan cara mereka yang cuma 5 menit?? Itu pun cuma di perempatan jalan tertentu??
Tapi akhirnya untuk menghormati usaha mereka, kumatiin motorku..
Setuju, ayo laksanakan “Silent Day”..
silakan masuk ke worldsilentday.org dan dukung dengan memberikan polling